Cerpen Agnes Adhani (Radar Madiun, 14 November 2021)
SETIAP memperingati Hari Pahlawan, Ratri menggugat piagam yang dipajang indah di ruang tamu neneknya. Setiap selapan, 35 hari, piagam penghargaan dalam pigura berpelisir emas itu dibersihkan. Ritual selapanan merupakan semacam pemujaan nenek kepada kakek yang telah meninggal sebelum Ratri lahir.
Namun, selalu ada nuansa sedih yang membayang. Ada rahasia terpendam yang kelihatannya tidak ada yang tanggap akan hal itu. Ibu Ratri dan semua saudara ibunya adalah pengagum dan pemuja sang kakek yang diagungkan sebagai pahlawan. Kisah heroik tentang perjuangan kakek yang ikut berperang bersenjatakan bambu runcing selalu diceritakan berulang dengan penuh kebanggaan. Apalagi kakek Ratri meninggal tepat pada 10 November. Bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan.
Di atas dingklik kecil, Mbah Putri duduk dan mengelus pigura piagam dengan air mata berlimpah. Bersimbah air mata diselingi isakan tertahan, Mbah Putri tak sanggup juga menahannya terus-menerus. Digeletakkannya piagam penghargaan itu di lantai.
“Ada apa Mbah, kok piagam penghargaan ini tergeletak di lantai?” tanya Ratri penasaran.
“Oh, tidak sengaja kok,” jawab Mbah Putri tergagap sambil secepatnya mengangkat pigura itu dan dengan sedikit gemetar mengembalikan ke tempat semula. Namun, karena tergesa dan gemetar, akhirnya pigura terjatuh dan kacanya berantakan memenuhi lantai.
“Jangan berbohong Mbah, Ratri sudah mengamati sejak tadi kok,” seru Ratri.
Mbah Putri semakin gemetaran dan berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia mengambil pigura yang kacanya sudah berantakan.
“Aduh!” jerit tertahan Mbah Putri melihat kedua jari tangannya tergores oleh kaca pigura.
Dengan cepat Ratri mendekati Mbah Putri dan mengamati luka yang menggores ibu jari dan kelingkingnya. Dengan pelan Ratri mengambil pigura dari tangan Mbah Putri dan meletakkan kembali ke lantai. Ia menuntun Mbah Putri untuk duduk di kursi ruang tamu.
Dengan cepat Ratri mengambil kotak PPPK di ruang tengah. Dengan telaten ia mengusap luka di tangan Mbah Putri dengan alkohol yang dituang dalam kapas. Ternyata darah tak juga berhenti merembes dari luka tersebut. Ratri mengamati luka di pangkal kelingking. Ternyata ada bekas luka yang lebih parah berupa parut dengan keloid yang menonjol. Selama ini tentu tidak ada orang yang mengamati luka itu, apalagi kelihatannya Mbah Putri selalu berusaha menyembunyikannya.
Ratri memberi obat merah pada luka itu dan membebatnya dengan kain kasa.
***
“Mbah Putri mau bercerita?” desak Ratri yang melihat neneknya hanya termenung berdiam diri. Mbah Putri diam, tergagu, dan membisu.
“Mbah, Ratri sudah dewasa dan bisa dipercaya. Ratri yakin bahwa Mbah Putri menyembunyikan rahasia besar dari masa lalu. Tebakan Ratri benar kan?” ucap Ratri sambil mengamati simbahnya yang mulai berurai air mata.
Mbah Putri mengelus kelingkingnya yang terluka. Juga benjolan keloid bekas luka di luar bebatan kain kasa. Ratri duduk mendekat kepada neneknya. Ia ikut mengelus parut luka yang tampak mengerikan di dekat kulit yang semakin keriput dikikis usia. Tangan lunak yang digenggam Ratri terasa aneh dengan benjolan yang mengeras itu.
“Mbah Putri mau cerita soal luka ini?” desak Ratri dengan lembut. Mbah Putri masih diam.
“Kapan luka ini, Mbah? Pasti sudah lama sekali.” Ratri memancing jawaban sambil mengamati perubahan roman muka neneknya.
“Luka ini karena sabetan pedang seseorang,” akhirnya Mbah Putri membuka kisah.
“Siapa seseorang itu, Mbah?” tanya Ratri tidak sabar.
Mbah Putri terdiam. Ada keraguan untuk mengungkap kisah masa lalu. Ia berusaha dilupakan, namun luka di pangkal kelingkingnya setiap saat kasatmata dan nyerinya tetap terasa. Peristiwa berpuluh tahun lalu itu berusaha disembunyikannya. Namun, kelihatannya ini saat yang tepat untuk mengurangi beban yang menyesak di dada.
“Luka ini akibat sabetan pedang seseorang yang berusaha menyerang kakekmu.”
Dengan pelan Mbah Putri melanjutkan kisah. Ratri dengan sabar menunggu kelanjutannya. Namun, kelihatannya ada ragu untuk melanjutkan cerita. Mbah Putri menghapus air mata dan peluh yang sama-sama menderas. Ratri menyodorkan selampai. Mbah Putri meraup segepok untuk menghapus air mata, peluh, dan ingus yang memenuhi hidungnya.
“Ini soal aib keluarga, aib kakekmu,” pelan Mbah Putri melanjutkan ceritanya.
“Kakekmu menggoda istri seseorang itu, sehingga dicari dan berusaha dibunuhnya,” lanjut Mbah Putri.
Agak lama Ratri menunggu Mbah Putri menata cerita dan rasa sakit. Seperti mengoyak luka yang sudah sembuh dan kembali mengucur darah.
Mbah Putri menuntun Ratri masuk kamarnya. Ia membuka lemari dan mengambil kotak berisi kumpulan foto hitam-putih lama yang sudah memudar.
“Saat itu subuh, kakekmu menggedor pintu dengan terengah-engah. Ketika Mbah Putri membuka pintu, pedang itu sudah hampir menyentuh tengkuk kakekmu. Dengan refleks Mbah Putri menangkis sehingga luka ini tercipta,” jelas Mbah Putri sambil mengelus bekas luka di pangkal kelingking itu.
“Lalu, apa hubungannya dengan piagam penghargaan sebagai pahlawan yang tadi jatuh dan kacanya melukai Mbah Putri?” tanya Ratri ingin tahu.
“Beberapa bulan kemudian seseorang itu bersama 17 tentara asing terbunuh. Ternyata ia berperan sebagai mata-mata musuh. Itulah yang membuat kakekmu dan tujuh orang temannya ditetapkan sebagai pahlawan. Seseorang itu meninggal dan istrinya menjadi janda. Janda itu dijadikan istri simpanan kakekmu,” lanjut Mbah Putri semakin pelan.
“Diduakan itu menyakitkan. Apalagi yang kedua merasa lebih. Lebih muda, lebih cantik, lebih genit, lebih menggoda, lebih mampu melayani suami, merasa lebih dicintai,” kembali air mata membayang di pelupuk mata Mbah Putri.
“Mbah Putri hanya bisa diam dan ngempet,” lanjut Mbah Putri.
“Sudahlah, zaman sudah berubah, perempuan bisa lebih mandiri dan bisa mengaktualisasikan diri. Nasihat Mbah Putri, jadilah perempuan yang sehat, kuat, dan bermartabat. Jangan bergantung kepada suami secara penuh.
Pilih pasangan yang setara, dapat bekerja sama, dan respek terhadap perempuan. Sudah tidak zamannya perempuan harus nrima, pasrah, tunduk, patuh, tanpa reserve kepada suami. Istri harus bisa njaga praja ‘menjaga nama baik suami’. Istri tidak lagi harus awan dadi theklek bengi dadi lemek ‘siang menjadi alas kaki, malam menjadi alas tidur’.
Kau adalah cucu perempuan Mbah Putri satu-satunya, jangan mengalami nasib seperti Mbah Putri, yang bertahun memendam penderitaan yang tidak bisa diungkapkan, menerima nasib sebagai kodrat. Berjuanglah menjadi perempuan yang tidak biasa-biasa saja. Kau harus menjadi bukan perempuan biasa-biasa saja.”
***
Sejak saat itu pigura piagam penghargaan sebagai pahlawan diturunkan dari ruang tamu. Disimpan oleh paman Ratri yang menjadi tentara. Biarlah kebanggaan itu tetap melekat kepada anak cucunya, kecuali Ratri tentunya.
Tepat selapan, 35 hari, dengan berbalut mukena saat salat Subuh, Mbah Putri meninggal dengan senyum mengembang. Beban dunia telah dilepaskan sehingga Mbah Putri bisa mengakhiri peziarahan di dunia dengan lapang dan damai.
Beban hidupnya telah dilepaskan. Pesan agar Ratri menjadi perempuan luar biasa terus mengiang. Ratri pun berjanji akan mewujudkannya. Selamat jalan Mbah Putri yang lebih layak disebut pahlawan. ***
.
.
AGNES ADHANI. Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia UKWMS Kampus Kota Madiun.
.
Dia Bukan Pahlawan. Dia Bukan Pahlawan. Dia Bukan Pahlawan. Dia Bukan Pahlawan.
Leave a Reply