Cerpen Isbedy Stiawan ZS (Suara Merdeka, 05 Juni 2016)
AKU tak pernah lupa membubuhi garis merah setiap kali menulis namamu. Sehingga aku hafal benar tentang huruf-huruf membentuk, sehingga jika dibaca akan tertuju pada namamu.
Hanya 11 kata. Kemudian namamu tersebut. Di dinding sebelah pintu rumahmu, nama itu kau pasang. Di pintu kamarmu, kulihat juga terpajang namamu. Begitu pula di pintu almari, di tas koper biasa kaubawa bepergian; namamu.
Kau selalu mengingatkan agar aku tak lupa. Tulislah namamu—juga alamat dan nomor kontak—di selembar kertas, kemudian selipkan di kantong dalam koper. Sehingga, jika silap di jalan, tertukar dengan orang lain, ataupun tertinggal misalnya di bandara maupun stasiun, mereka yang baik dan jujur akan menghubungi. Isi koper pun tak ada yang hilang sebarang pun.
“Kecuali koper kita dicuri, nama, alamat, maupun nomor kontak itu tak ada manfaat apa-apa,” ujarmu.
Kau bercerita. Seorang temanmu pernah mengalami kesialan di sebuah bandar udara (bandara) internasional. Satu tas kopernya dari tiga koper yang dia bawa, terbawa oleh penumpang lain. Tak tahu ke mana tujuan orang itu, dan saat kapan dibawa. Teman itu baru sadar kalau koper yang dibawa bukan miliknya, begitu hendak menaiki taksi.
Untunglah di dalam koper dia, ada kertas bertuliskan nama lengkap dengan alamat dan nomor kontak. Sesampai di rumah, ia mendapat telepon. “Maaf, Tuan, tas anda terbawa. Apakah koper saya ada pada Tuan?” ujar suara di seberang. Lembut dan dipastikan adalah perempuan.
“Persisnya tertukar. Kenapa bisa terjadi dan di mana kejadiannya?”
“Ya, Tuan. Mungkin saat pengambilan tas di bagasi. Saya keletihan setelah perjalanan jauh, jadi saya tidak konsentrasi lagi. Begitu ada koper yang mirip warnanya dengan milik saya, langsung saya angkut dan letakkan di roli,” jelas suara dari seberang. “Maafkan saya, Tuan,” kata dia.
Lalu dari seberang, perempuan itu menyebutkan barang-barang yang ada di dalam koper yang tertukar itu. Di antaranya, alat kecantikan perempuan, tujuh celana dalam, ada juga kontrasepsi, kebaya, beberapa kaus tipis, bra, minyak wangi pria, dan pembalut wanita.
“Maaf, Nyonya, saya belum membuka koper itu. Jadi, tak tahu apa saja isinya. Saya tak berani lancang….”
“O tak apa-apa, Tuan. Justru saya menyebut apa saja barang saya di dalam koper itu, untuk memastikan bahwa saya pemiliknya,” jawab suara dari seberang sana. “Saya juga tak berani lancang emngacak-acak isi koper Tuan, selain membuka karena saya kira milik saya. Bersyukur, saya dapatkan nama dan nomor telepon Tuan,” lanjut dia.
“Baiklah, kalau memang diizinkan.”
“Saya izinkan, Tuan. Saya tak keberatan, jika harus di hadapan istri Tuan atau pihak keamanan,” kata seseorang dari seberang.
Temanku itu, ujar kau kemudian sesaat jeda, tak mau menjelaskan statusnya yang saat ini menduda. Dalam pikirannya, untuk apa menebar soal pribadi atau privasi, juga tak ada manfaatnya.
“Akhirnya dibuka kan?” aku menyerobot karena ingin tahu akhir dari ceritamu.
Kau mengangguk. Tas koper milik perempuan, penumpang lain asal Menado itu, tak hanya disebutkan oleh pemiliknya. Sebab beberapa barang lain juga banyak: celana dalam pria, sebuah benda sangat lembut menyerupai “anu”-nya lelaki, juga ditemui di dalam koper perempuan itu.
Tak tahu pasti, dan tak juga dijelaskan apa alasan perempuan itu membawa benda lembut tersebut. Sampai kini hanya pemilik koper itu yang tahu.
***
BAGIKU nama sangat penting. Karena nama, kita tak silap memanggil seseorang. Misalnya, namaku adalah Joni Makalata, dan aku akan menolak atau tak menoleh kalau ada orang menyebutku Aria. Adam dikenang sebab dia memiliki nama. Hawa disebut-sebut sebagai perempuan pertama menemani Adam dan dikisahkan terbuat dari salah satu tulang belikat lelaki itu, karena diberi nama oleh Tuhan.
“Coba, kalau Tuhan lupa memberi nama, bagaimana kita menyebut ibu-bapak manusia pertama itu?” ujarmu.
Dan, aku pun selalu memberi garis merah setiap nama. Lebih dari puluhan ribu sudah kusimpan dan kutandai. Jutaan nama manusia itu berkelindan dan anehnya tak ada yang kulupa. Meski beberapa tahun tak jumpa.
Itu sebabnya, sejak itu aku pun akan selalu membubuhi namaku di setiap barang milikku. Pelajaran berharga darimu. Meski awalnya kuanggap sepele dan bahkan tidak berefek apapun, namun akan terasa manfaatnya tatkala sedang bepergian. Misalnya, karena sibuk di bagian pengambilan barang di bandara, kita pun bisa segera menandai jika ada nama di atas koper. Atau jika tertukar, begitu orang membuka tas kita dan nama serta nomor kontak akan segera menghubungi kita.
Nama memang penting. Kau tak akan bisa berbuat apa-apa jika lupa dengan namamu sendiri. Apalagi tak punya nama. Bagaimana mungkin akan memiliki kartu identitas seperti KTP, paspor, dan lain-lain? Kau akan menjadi seperti penghuni hutan yang belum masuk dalam sensus.
Tapi masih adakah suatu wilayah belum disensus? Manusia pedalaman saja saat ini sudah terdata sebagai warganegera, kendati mereka tak mendapatkan akte identitas. “Maka manusia perlu identitas. Dan kalau sudah memiliki, jangan sampai lupa menandainya agar tak tertukar atau hilang,” katamu suatu hari lain.
Ke mana aku pergi selalu kuberi garis merah pada namaku. Tak lupa pula kutulis alamat dan nomor kontakku. Seluruh barangku. Sehingga aku tak pernah khawatir jika bepergian akan hilang. Pernah juga kualami tas koperku tertinggal di depan toilet stasiun kereta api. Lalu, petugas keamanan stasiun meneleponku. Aku pun segera kembali ke stasiun untuk mengambil barangku.
Untung tak satu pun barang di dalam tas raib. Petugas cukup melihat nomor kontakku yang kutenpel di belakang koperku. Di dalam tas itu selain pakaian, celana dalam, juga oleh-oleh untuk teman-temanku.
“Silakan periksa dulu Tuan, apa ada yang hilang? Tetapi, yang jelas kami tak berani membuka tas anda sebelum pemiliknya datang,” kata petugas keamanan di stasiun kereta api Kota Delft. Waktu itu malam beranjak dalam gerimis dan dingin musim November.
Aku mengangguk. Ini kota kelima kusinggahi selama 2 bulan di Belanda. Di sini aku akan bermalam selama sepekan. Sebuah perjalanan untuk mengumpulkan data sebuah cerita pendek yang akan kuterbitkan dalam satu buku.
Sengaja oleh-oleh sudah kubeli saat mampir di Amsterdam, tiga hari lalu. Di kota besar itu aku menginap di sebuah hotel khusus para turis backpacker. Di hotel berlantai 5 tanpa lift ini dikunjungi para turis berbagai dunia.
Aku mengambil kamar—satu kamar dihuni 10 orang dengan ranjang bertingkat—di lantai lima, dan kupilih tempat tidur bagian bawah sementara di atasku adalah gadis asal Amerika. Sebelum tidur kami sering mengobrol. Bahkan, kadang menikmati minuman alkohol di bar lantai bawah. Ketika gadis Amerika itu menawarkan lintingan ganja, aku menolak dengan halus: “Sudah lama aku tak lagi ngeganja. Dulu sekali aku malah menanam pohon itu, sebelum negara kami sangat ketat untuk urusan narkoba,” jelasku.
Laura Jennifer hanya mengangguk. Setelah menghisap ganja, ia tenggak jeniver di gelas yang kuletakkan di meja. Kami menikmati alunan lembut musik. Kepalanya selalu merapat di dadaku. Sesekali bibir kami menyatu.
Selama lima hari di Amsterdam, kami tak pernah berpisah. Menyisir Amsterdam bersama. Memasuki Red Light Distick juga berdua. Jika aku tersenyum-senyum aneh, Laura bergeming. Gerimis dan dingin.
Setelah mengubek-ubek kawasan prostitusi yang masuk destinasi pariwisata di Amsterdam itu, kuajak Jennifer kembali ke hotel. Di bar ia menambah selinting ganja.
Ya, soal ganja di Belanda tidak seketat di Indonesia. Di tempat-tempat khusus, seperti shop atau bar, pecandu narkoba boleh menikmati barang itu. Sampai mati pun di sana. Tetapi, kata kawanku asal Indonesia, jangan coba-coba mabuk di keramaian. Polisi segera menggelandang ke penjara. Meski aku masih melihat warga yang mabuk di trotoar; sempoyongan dan berteriak-teriak entah menuju mana?
Pada malam terakhir kami bersama, Jennifer ingin seranjang bersamaku. Alasannya, dia malas naik ke tempat tidurnya. Aku tak bisa menolak. Bahkan, saat ia meminta sesuatu: souvenir yang kubeli di dekat Stasiun Amsterdam. Ia tak sempat membeli, mungkin tak melihat. Sementara Laura sangat menyukainya.
Pada souvenir sepatu kecil terbuat dari besi putih itu sudah kutera namaku dengan garis merah. Namaku tak ia buang.
“Karena nama ini, aku ingin menyimpan kenangan darimu,” katanya setengah berbisik di telingaku. Nafasnya membuatku terbuai.
Laura mengeja namaku dalam lafaz Inggris-Amerika. Kedengarannya agak lucu. Kadang aku tertawa, jika ia memanggilku.
Pagi-pagi sekali Laura meninggalkan hotel. Sebuah kecupan ia daratkan. Aku pun mencium keningnya. Kami berpisah. Aku masih dua hari lagi di Amsterdam. Hari ini aku ingin berkunjung ke rumah penyair Belanda Remco Campert. Aku tahu dari teman di Belanda, Remco tinggal di sebuah jalan dekat Museum Van Gogh, Amsterdam.
Aku mengenal puisi-puisi Remco Campert saat tampil di Erasmus Huis, Jakarta. Ia bersama para penyair Belanda. Namun, hanya Remco yang mengekal di benakku. Sejak itu aku menyukai puisi-puisinya. Saat jumpa setelah 25 tahun lebih, ia tampak sangat tua. Bahkan, dari pemberitaan media di Belanda; Remco pernah terjatuh di rumahnya dan sempat dirawat di rumah sakit.
Beberapa buku puisi dan kumpulan tulisannya ia hadiahi padaku. Khusus kumpulan kolom adalah tulisan-tulisan Remco di media setempat. Ia punya rubric khusus, bicara apa pun.
Laura Jennifer terlupakan sudah. Entah di mana kini gadis Amerika berusia 22 tahun tersebut. Kami tak lagi saling kontak. Mungkin jika ia mengingatku, souvenir yang kubeli akan ditatapnya. Begitu pula, setiap kukenang Laura maka kubuka sisa lipstiknya.
Barangkali, ia akan mengeja namaku yang kuberi garis mewah di bawahnya. Kubayangkan, suaranya terdengar aneh di telingaku saat menyebut namaku. Begitu penting sekali, meski cara pengucapan akan berbeda.
Ah, Laura Jennifer. Namamu juga kuabadikan di sisa lipstikmu. Juga kugarisi warna merah. Garis merah.
“Semoga suatu saat kita bertemu lagi. Saat itu sama-sama menunjukkan barang ini. Mungkin di Bali atau Toba ya?” kata-kata itu terakhir kali kudengar dari bibir Laura. (92)
Bandarlampung, 18 Februari-21 Maret 2016
Leave a Reply