Cerpen A Warits Rovi (Suara Merdeka, 19 Juni 2016)
Masnan tahu betapa acara pernikahan di Madura adalah hal sakral dan bagian dari harga diri. Maka acara yang aman dan lancar adalah impian semua orang yang punya hajat untuk mengadakan pesta pernikahan. Sebab dengan lancarnya pernikahan tuan rumah akan merasakan diri dan keluarganya jaya. Di balik harapan tuan rumah tersebut beraksilah orang-orang berhati bejat yang biasanya sering membuat onar agar acara pernikahan jadi kacau.
Orang-orang bejat akan menggunakan kekuatan sihir untuk mengacaukan suasana pernikahan. Sihir itu akan menyebabkan hujan turun seketika, nasi tidak bisa matang, sound system akan mati tanpa sebab apa pun, lauk daging yang dimasak jadi liat seperti bola karet, para undangan akan terkena diare, mempelai lelaki mengalami impoten dan kadang seorang mempelai akan ketakutan karena melihat pasangannya berubah rupa jadi anjing, serigala atau hewan lain yang menyeramkan.
Masnan menarik napas panjang ketika ingat kekuatan sihir yang sering mengacaukan acara pernikahan di desanya. Ia tak mau kekuatan iblis itu mengusik acara pernikahan putranya nanti.
Ia menatap langit kelam dini hari. Tatapannya tajam, memisau setitik bintang yang berkedip nun jauh di cakrawala, yang posisinya lurus dengan sepasang ranting mangga di halaman rumahnya. Di beranda, di antara barang-barang persiapan pernikahan putranya ia duduk seorang diri, seolah sedang bercakap langsung dengan Tuhan. Memohon agar dalam minggu itu hujan tak turun dan acara pernikahan berjalan lancar.
Ia alih menatap karung-karung berisi palawija, ada sekardus kecap, mi instan, sohun, beras dan barang-barang lain yang memadati beranda rumahnya. Ia berpikir betapa uang puluhan juta yang dikeluarkan untuk pesta pernikahan putranya akan berarti apabila dua hari rangkaian acara pernikahan nanti cuaca cerah, aman dan lancar.
Sepintas ia ingat ladang, sawah, emas dan sapi-sapinya yang dijual untuk dijadikan biaya pesta perniahan putranya. Harta berharga itu tentu tak ingin hilang sia-sia dalam arti ia tak mau melaksanakan pesta pernikahan dengan beragam kendala. Masnan ingin seperti nenek moyangnya yang menghabiskan banyak harta di pesta pernikahan sebagai sedekah, wujud syukur dan doa keselamatan bagi kelangsungan hidup mempelai. Keinginan tersebut hanya akan terlaksana dengan khidmat ketika acara pernikahan putranya tak terusik oleh kekuatan sihir.
Masnan menunduk dan tiga kali menulis lafal Allah ke datar keramik dengan ujung jemarinya yang kasar. Lalu berdoa, menengadah dan sepasang tangkup tangannya gemetar. Keheningan menyelimuti bumi. Tinggal suara daun jatuh menggubah sajak di hamparan gelap.
Keesokan harinya ia langsung menemui Sakbin dan Salama yang beberapa bulan sebelumnya memang sudah diminta untuk menjadi pawang di acara pesta pernikahan putranya. Sakbin dan Salama adalah sepasang suami istri yang memang sering dipercaya banyak orang di desanya untuk mengusir sihir di acara pesta pernikahan.
Sakbin dikenal sebagai pawang hujan dan bisa menangkal sihir yang akan mengacaukan suasana. Sedang Salama adalah tukang masak yang dengan keahliannya, nasi dan lauk akan terasa nikmat serta bebas dari kekuatan sihir. Biasanya sepasang suami-istri itulah yang akan memulai pekerjaan paling awal di acara pesta pernikahan sebelum orang lain bekerja. Sakbin akan memulai dengan menggali lubang tempat ujung cagak terop dipendam dan Salama akan memulai dengan membuat tungku.
Suasana pagi yang cerah membuat beranda rumah Sakbin tampak nyaman. Tiga cangkir kopi hangat yang mengepul asap dan menguar harum tertera di atas meja bertaplak merah bata. Seekor burung kenari bersiul sambil mematuk buah mentimun dalam sangkar bambu.
“Bagaimana persiapan untuk acara pernikahan anak saya nanti, Ki?” Masnan memulai inti percakapan.
“Semuanya sudah kupersiapkan. Hanya tinggal menunggu hari yang tepat untuk memasang sesajen dan hal lain yang berkaitan dengan upacara tangkal sihir,” ucap Sakbin ringan sambil meraih sebuah cangkir, meniup-niup permukaannya yang berasap.
“Saya ingin martabat keluarga saya terjaga.”
“Itu pasti. Semoga Allah bersama kita. Barang-barang tangkal sihir yang sudah kupersiapkan antara lain garam, kain kafan, paku, minyak zaitun, damar kambhang [1], kemenyan, nyiur kuning, cedok kuno dan tiga ruas bambu kuning.”
Masnan hanya tercenung mendengar nama-nama barang tangkal sihir yang disebut Sakbin. Ia hanya bisa menatap Sakbin dengan mata kosong dan membiarkan apa yang tadi didengar melayang dari ingatannya.
“Apa itu cukup, Ki?”
“Masih kurang. Itu hanya 80%.”
“Apa ada yang bisa saya bantu?”
“Iya. Tolong bantu aku carikan seekor kucing jantan berbulu tiga warna atau katak jantan yang tinggal di bawah batu umpak. Maaf, aku terpaksa minta bantuan itu kepadamu karena sudah seminggu berusaha mencari hewan itu ke berbagai tempat tapi sia-sia.”
Masnan menarik napas dan sedikit mendanguk. Keningnya berkerut, matanya penuh tanya, lalu ia berkata.
“Iya. Saya akan berusaha mencarinya, ke mana pun itu, yang penting acara pernikahan anak saya nanti lancar.”
“Tapi jangan minta bantuan orang lain, itu berbahaya.” Pinta Sakbin dengan lotot mata yang serius. Masnan mengangguk. Wajahnya semringah seolah ia menemukan jalan terang bagi kelancaran acara pernikahan putranya nanti.
“Terus, urusan Nyi Salama untuk memasak nasi bagaimana? Apa sudah siap pula?”
Sakbin tersenyum, sejenak menyeruput kopi dengan ambung asap memburai wajahnya yang sawo matang.
“Istriku sudah mempersiapkan sekepal tanah makam bajang [2] untuk campuran membuat tungku. Selebihnya itu urusanku. Akulah yang akan akan menyalakan api pertama bagi tungku itu nanti,” tukas Sakbin dengan sepasang mata yang meyakinkan. Masnan mengangguk dan ia mulai bisa membayangkan ratusan undangan datang penuh kegembiraan di bawah cuaca yang cerah dan sepasang mempelai harmonis berpegang tangan di atas pelaminan.
“Dan kau setiap malam harus rutin membaca ayat penangkal hujan, yaitu surat Huud ayat 44 yang fatihahnya ditujukan kepada Nabi Nuh,” pesan Sakbin yang terakhir. Masnan kembali mengangguk sambil minum kopi untuk seruputan penghabisan.
***
Kucing jantan berbulu tiga warna baru ia dapatkan setelah seminggu dicari ke berbagai kampung. Kucing berbulu kuning, hitam dan putih itu merupakan kucing kesayangan anak seorang bidan di kampung Bungduwak. Tentu tak mudah untuk mendapatkan kucing itu, kecuali setelah menebusnya sebesar satu juta rupiah kepada anak si bidan. Uang sebesar itu bagi Masnan tak jadi pertimbangan asalkan acara pernikahan putranya aman dan lancar. Karakter Maduranya tampak; bahwa sebesar apa pun nilai materi tetap harus dikorbankan untuk sebuah kemaslahatan.
Tiga hari sebelum pesta pernikahan berlangsung, Sakbin dan Salama mulai turun lapangan. Sebelum matahari terbit ia sudah menapaki pekarangan rumah Masnan dengan bertelanjang kaki. Mula-mula ia menabur garam bercampur minyak zaitun ke seluruh bagian halaman dan pekarangan. Kemudian ia menyalakan damar kambang dan diletakkan di bawah tempat tidur Masnan lengkap dengan senampan sesesajen dan tiga ruas bambu kuning.
Setelah itu Sakbin menggali lubang di pojok pekarangan bagian barat laut sedalam setengah meter. Kucing berbulu tiga warna dimasukkan ke lubang itu lalu ditutup dengan sirap kayu yang di atasnya ditimbun tanah. Pada timbunan itu terdapat lubang sebesar lengan anak-anak untuk memberi makanan pada kucing itu.
“Hai kucing! Doakan agar tidak hujan. Kalau hujan maka kau tidak akan kukeluarkan dari lubang itu,” ancam Sakbin pada kucing berbulu tiga warna. Masnan mengangguk optimis di sampingnya. Sedang Salama mulai mencampur tanah makam bajang pada olahan tanah bahan tungku. Dan akhirnya lima jam kemudian enam buah anak tungku bejajar. Basah dan ditaburi bunga melati. Lalu Sakbin jongkok sambil membaca mantra dan menyalakan api pertama pada sebatang kayu dan dimasukkan pada mulut tungku paling utara.
“Cepta salera saebu rassa abadhi eber kobassa kalaban karsana Allah, wusss!” mata Sakbin terpejam khusyuk sambil meniup-niup pelan mulut tungku. Api menyala menguar asap yang memburai harum ke udara. Bibir masnan rekah senyum. Lega.
“Dan ramuan ini berikan kepada Ruslan, anakmu. Suruh minum satu jam sebelum bertanding. Hehe,” ucap Sakbin sambil guyon saat menyerahkan sebotol ramuan kejantanan kepada Masnan. Wajah Masnan kian semringah, cerah dan pukau senyumnya mengembang macam kembang.
Selama dua hari dua malam rangkaian pesta pernikahan anaknya, Masnan sangat gembira melayani tamu. Mencicip masakan. Sesekali tak berkedip melihat anak dan menantunya duduk riang di pelaminan berlatar bunga karet jingga dan putih. Lalu Masnan menatap langit, matahari cerah mempesona, seolah tamu kehormatan yang kehadirannya tak sekadar melalui kertas undangan. Ia pun tersenyum. Sebagaimana lazimnya orang Madura, ia merasa bahwa acara pernikahan kuncinya tak terletak pada kemewahan suguhan, namun terletak pada aman dan lancarnya acara. Karena itu sebuah harga diri. (92)
Gapura, 11/06/16
Catatan:
[1] Lentera yang hanya terdiri dari sumbu yang ditegakkan dengan tutup botol, diletakkan di atas lepek berbahan bakar minyak jelantah. Cahayanya dipercaya sebagai pertanda sebuah keadaan.
[2] Makam bayi.
AWarits Rovi, lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media Nasional dan lokal antara lain: Horison, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Indo Pos, dll. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit Hilal Berkabut (2013).
Leave a Reply