Kiki Sulistyo

Pada Saat Itu Ada Kilat di Langit

2
(2)

Cerpen Kiki Sulistyo (Koran Tempo, 04-05 Juni 2016)

Pada Saat Itu Ada Kilat di Langit ilustrasi Munzir Fadly

Pada Saat Itu Ada Kilat di Langit ilustrasi Munzir Fadly

DIA memelukku.

Pada saat itu ada kilat di langit. Seekor cacing bersembunyi di bawah daun kering. Gorden di jendela kamar dihembus angin. Sudah dua belas jam aku tidak bertemu dengannya. Ada kabar seorang pengamen misterius sering datang ke perumahan-perumahan. Memetik alat musik yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Konon, hanya orang-orang kesepian yang dapat mendengar suara alat musik itu.

Satu jam setelah aku berpisah dengannya, aku memasuki kedai kopi. Memesan kopi Toraja dan pisang krispi dengan sepiring kecil madu. Kedai itu jadi satu dengan hotel, dengan nama yang sama: Hotel Venus. Pada suatu malam aku bermimpi menginap di hotel itu. Bersama seorang perempuan yang tidak pernah kuketahui namanya. Perempuan itu membunuhku di kamar. Setelah mengikat kedua tangan dan kakiku serta menutup mataku. Aku telanjang, dan pada pagi harinya juru kebersihan hotel melihat mayatku.

Aku mendengar peristiwa itu dari seorang sopir taksi yang akan mengantar penumpang. Si penumpang yang tampak linglung meminta sopir taksi mengantarnya ke Hotel Venus. Dan sopir taksi mencoba mengarahkan penumpang itu ke hotel lain dengan mengatakan bahwa Hotel Venus itu berhantu. Penumpang itu tidak mau, dia tetap meminta diantar ke Hotel Venus.

Aku mendengar pembicaraan mereka persis ketika aku keluar dari rumah dan melihat seorang penumpang lain turun dari taksi itu. Karena tertarik dengan percakapan, aku bergerak mendekat dan pura-pura menunggu sesuatu. Ketika penumpang linglung itu naik, ia menatapku sebentar, sebersit cahaya entah dari mana memancar di sekitarnya. Taksi itu melaju ke Hotel Venus.

Aku menghirup aroma kopi Toraja. “Baristanya bagus,” kataku pada diri sendiri. “Ya, makanya aku suka kopi di sini,” kata diriku sendiri.

Baca juga  Aswatama Pulang

Empat jam setelah aku berpisah dengannya, aku sudah di rumah. Rumah yang aku sewa dari seorang pensiunan kerani yang sudah tua dan hampir buta. Ia memberiku harga murah. Sesekali pengamen misterius akan berdiri di depan rumahku. Memainkan alat musik yang tidak pernah ada sebelumnya. Bunyi alat musik itu berubah-ubah. Kadang-kadang terdengar seperti bunyi daging yang tersayat. Kali lain seperti suara pil yang ditelan. Tak jarang juga begitu mengentak sehingga kalau aku memejamkan mata aku seperti berada di sebuah diskotik.

Memang, pertama kali aku bertemu dengan perempuan itu di sebuah diskotik. Pada saat yang sama aku bertemu kawan lamaku yang bekerja sebagai petugas keamanan di sana. Karena sudah lama tidak bertemu, kawanku itu bahagia sekali. Ia, mungkin di luar kesadarannya, bertingkah seperti pemilik diskotik. Ia memanggil seorang pelayan. Pelayan itulah dia, perempuan itu, yang berpisah denganku, dan empat jam kemudian membuat aku berada di rumah, mendengar pengamen misterius memainkan alat musiknya.

Betapa tidak bahagianya aku, ketika enam jam setelah berpisah dengannya, aku melihat di televisi seorang presenter yang mirip sekali dengan perempuan itu. Semuanya mirip, kecuali matanya, hidungnya, bibirnya, rambutnya, alisnya, giginya, bahunya, lehernya, jari-jarinya, betisnya. Aku menangis tersedu-sedu. Burung-burung gereja hinggap di kabel listrik tegangan tinggi. Aku memutuskan untuk naik ke lantai dua, membuka jendela dan membiarkan langit masuk ke dalam ruangan, meninggalkan serpihan-serpihan cahaya yang dingin. Aku berdiri menghadap keluar selama satu jam. Dari lantai dua aku bisa melihat jalanan. Taksi melintas. Disusul taksi yang lain. Tiap taksi mengangkut seorang penumpang. Lalu aku turun, keluar rumah dan berdiri di tepi jalan. Salah satu taksi berhenti di dekatku. Seorang penumpang turun. Tanpa alasan apapun aku naik di taksi itu. “Ke Hotel Venus,” kataku. Sopir taksi bilang, “Hotel Venus? Maaf, kalau saya boleh kasih saran: ke hotel lain saja. Hotel Venus tidak bagus. Ada hantunya. Pernah ada orang dibunuh di sana.”

Baca juga  Sepasang Mata Gagak di Yerusalem

Tapi aku teguh. Sopir taksi itu menyerah. Bagaimana pun juga dia harus membahagiakan penumpang, sebagaimana orang membahagiakan pacar. Taksi kemudian melaju pelan sekali.

Kawan lamaku mentraktir aku minuman. Lalu seakan-akan baru sadar bahwa ia hanya seorang petugas keamanan, ia buru-buru kembali ke tugasnya. Tapi pelayan itu, perempuan itu, tampaknya betah bersamaku. “Sepertinya kita pernah bertemu?” kataku. “Oh ya? Itu cara merayu yang pasaran,” katanya. “Aku tidak merayu,” kataku. “Hahahaha, boleh minta rokok?” katanya. Lalu ia bercerita, di antaranya, kalau pulang ia menumpang taksi. Supaya mudah ia memacari seorang sopir taksi. Tentu saja ia pilih yang masih muda dan masih percaya pada cinta. “Tapi sebenarnya saya tidak suka sama dia. Sering saya bayangkan membunuhnya. Misalnya kalau dia mengajak saya ke hotel. Saya akan mengikatnya di ranjang, menutup matanya dengan kain, sebelum membunuhnya,” katanya sembari mengembuskan asap rokok. “Kamu kejam,” kataku.

Delapan jam setelah aku berpisah dengannya, aku putuskan untuk menginap di Hotel Venus. Tanpa alasan apa pun. Pada saat itu ada kilat di langit.

Asap rokok perempuan itu mengambang di dalam ruangan diskotik, lalu perlahan bergerak keluar melalui celah-celah pintu. Asap rokok itu meninggi, terus meninggi. Seperti ruh orang mati.

Dan aku merasakannya. Ruh orang mati di Hotel Venus.

Kamarnya cukup menarik. Ada ornamen-ornamen kuno di dindingnya. Kamar mandi dengan bak panjang, dan sepasang handuk di gantungan besi. Ruh orang mati itu melepaskan bau-bauan, mirip bau anggur merah. Aku duduk di kursi kayu dan memperhatikan seluruh ruangan. Aku rasakan ruh orang mati mulai menekanku. Tengkuk terasa berat. Begitu juga mataku. Ruangan seperti diselimuti asap dan aku melihat diriku berjalan ke kamar mandi. Bernyanyi-nyanyi kecil. Suara air jatuh ke lantai. Beberapa saat tubuhku terasa segar kembali.

Baca juga  Kapal Perang

Aku ingin pulang, saat perempuan itu pulang. Aku ingin melihat sopir taksi pacarnya itu. Dia tidak berkeberatan. Betapa tidak bahagianya aku ketika melihat ia duduk di kursi depan dan taksi itu melaju. Aku berjalan sendiri. Kulihat kawan lamaku itu berusaha mencariku di antara kerumunan pengunjung yang sudah mabuk semua. Aku tak ingin lagi berbicara dengannya. Aku berniat mencari taksi. Tapi tak ada taksi kosong. Maka aku berjalan, terus berjalan. Pada saat itu aku merasa begitu kesepian. Tak terasa aku sudah berjalan begitu jauh, hingga sampai di rumah, aku rasakan betisku keram.

Aku tertidur sebentar sampai aku rasakan ruh orang mati itu telah menjelma bunyi ketukan. Mataku berat sekali untuk terbuka. Di ambang antara tidur dan jaga, ketukan itu semakin kuat. Saat mataku pada akhirnya terbuka, aku melihat gorden yang juga terbuka dan seorang perempuan mencoba melihat ke dalam.

Hampir dua belas jam setelah aku berpisah dengannya, dia berdiri di depan pintu kamar. “Hai,” katanya. “Apa saya terlambat?” Dia menatapku seolah-olah aku adalah seekor cacing. Aku diam. “Hai, ada apa? Kamu seperti tak nyaman?” Aku masih diam. Ia menutup pintu. “Aku sudah menyiapkan semua yang kamu minta,” katanya lagi sembari berjalan mendekat. Ia mengeluarkan tiga lembar kain hitam dari tasnya. “Ini. Lihat. Aku akan mengikat tangan dan kakimu di ranjang. Kamu suka kan?”

Dia memelukku. (*)

 

 

Kiki Sulistyo lahir di Kota Ampenan, Lombok, 16 Januari 1978. Buku puisinya, Penangkar Bekisar (2015), masuk long list Kusala Sastra Khatulistiwa. Ia mengelola Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Loading

Average rating 2 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!