Puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS (Padang Ekspres, 12 November 2017)

Hanya Burung Belum Mau ke Sarang ilustrasi Padang Ekspres
Hanya Burung Belum Mau ke Sarang
: Himawan Imron dan Muhammad Furqon Jamzuri
kita hanya burungburung namun belum mau ke sarang
selagi masih ada bulan. dan lampulampu jalan tak padam
di bawah payung dan selembar meja
kita menulis setiap percakapan. menghimpun
percakapan dari kitabkitab yang kita baca
— kini sudah pula terbuka dan lembarnya
kian menua — kuning di daundaun yang
kemudian kalian rontokkan agar semakin
ramping
- kita hanya burungburung yang belum
ingin ke sarang. merapikan ranjang dari
anyaman jerami. memimpikan orangorang
yang tak mau pulang. jalanjalan riuh, lelampu
menawarkan cahaya. dunia begitu sempit
tapi kita tak pernah terjepit
lelampu itu, aduhai, lauk dari katakata
yang kita tulis untuk sebuah kitab
KGM, malam 17 Agustus 2017
Takdir di Jalan
: Fajar
kita ditakdir untuk selalu di jalan
meski kita bukan ahasveros
karena kita masih rindu purnama
atau saat bulan sabit. betapa pun
kita harus sakit. menghitung tiap
jejak — juga tumpukan dahak — yang
kita baca sebagai kitab baik-buruk
15 Agustus 2017
Mata Senja
apakah akan kau biarkan pintu kamar itu
tetap tertutup, sedang ia bagai burung
hendak pula mengepak: menyilakan
kau masuk
lalu nikmati dengkur waktu sebelum
terbangun saat fajar
: matahari matahari
hadapkan wajahmu ke mata senja…
2017
Kaukah yang Berlari dan Berteriak?
kaukah yang berlari ke tanah lapang
dan berdiri tegap di depan tiang bendera?
angin sepoi, langit putih menatap
matahari yang mulai cemerlang
anakanak berseragam sekolah
para tua berbalut baju lusuh
topi di kepala — mereka sedang
memandangi masa depankah,
ataukah mengenang silam
penuh mesiu dan bau darah?
siapa bisa lagi mengingat
di tanah lapang depan tiang bendera
kain warnawarni. lelaki di podium
duduk rapi. tak ada bisa membaca
senyum dan tatapannya
hari ini, 17 Agustus, merah putih
pesta. tapi tiada pora. meriah
dalam balutan gagah. tapi siapa
mengira yang lain sudah lupa
warna bendera. tak hafal lagu
yang sering dinyanyikan anakanak
di dalam kelas atau upacara senin pagi
memanggilmanggil nama laut
menghitung bukitbukit garam
yang kian karam. ombak
kembali melempar ke laut lepas
atau sebagai yatim terlantar
di pantai berpasir
lagu itu dinyanyikan lagi
begitu syahdu
sumpah dibacakan ulang
begitu melanglang
ayatayat kemerdekaan
diproklamasikan
begitu ngiang
dan kaukah yang berdiri tegap
tanpa menatap
di dekat tiang bendera
dalam lagu kemerdekaan
“hari ini merdeka,
mungkin esok di penjara!”
Leave a Reply