43, Cerma, Jurnal Asia

Diamnya Pak Polisi

0
(0)

Cerma Dwi Wulandari (Jurnal Asia, 04 Agustus 2018)

Diamnya Pak Polisi ilustrasi Istimewa

Diamnya Pak Polisi ilustrasi Istimewa

MENTARI sudah tiba, aku masih saja meletakkan tubuhku di atas kasur. Memainkan jemariku di atas layar handphone. Membiarkan mataku sayup tanpa ingin melihat indahnya mentari pagi. Kakiku terasa kaku, sulit untuk digerakkan.

“Selamat pagi anak kesayangan Mama,” ucap mama sambil mengecup keningku.

“Kamu udah baikan, Nak?” tambah Mama.

Aku hanya tersenyum, tidak berkata apa-apa. Rasanya aku ingin pulang ke runah, menikmati semuanya di sana. Tidak di rumah sakit begini, aromanya tak sedap untuk aku hirup.

“Ma, Ghina belum boleh pulang ya? Bosen, Ma, di sini terus,” sahutku pelan.

“Baru juga tiga hari dirawat, udah sibuk minta pulang. Enggak lihat kondisi lo gimana?” sambar Ghani.

“Udah membaik kok, hanya saja kakiku sulit digerakkan.”

“Lo itu ya dasar anak kecil, udah ah di sini dulu. Lagian kalau di rumah siapa yang mau rawat?”

“Loh percuma dong, aku punya abang.”

Suasana di ruangan kamar 305 begitu ramai dengan celotehan Ghani yang tidak pemah bosan untuk menjagaku. Beribu cara ia lakukan, agar aku sembuh total. Dengan perdebatan yang tiada henti, akhirnya aku pun diajak keluar oleh Ghani ke taman rumah sakit. Menghirup udara segar tanpa ada aroma obat-obatan, melihat orang-orang berlalu lalang seperti pejalan kaki, pejalan sepeda motor dan lain sebagainya.

Aku sangat menikmati sejuknya udara pagi ini. Andai saja, aku bisa menikmati alam ini tepat di balkon rumah pasti jauh lebih menyenangkan. Entah perihal apa yang membuatku harus dirawat terus menerus di rumah sakit ini. Padahal kondisiku sudah membaik, tapi ya begini aku masih belum bisa berjalan. Masih ada kursi roda yang menemaniku pagi ini bersama Ghani.

Baca juga  Athena

“Dek, katanya lo punya doi. Mana doi lo? Udah tiga hari juga di sini, enggak kelihatan batang hidungnya.”

“Sibuk ngampus kali ya bang? Auh ah, aku enggak tahu dia sibuk apaan.”

“Yaelah, gue yang sibuk kerja saja masih bisa luangkan waktu gue buat lo.”

“Dulu, masa abang kuliah juga suka sibuk enggak jelas.” Sahutku sambil memutarkan bola mata pertanda kesal.

“Hahaha.. . Santai, gue senang banget lihat tampang lo yang semrawut gitu.”

Aku diam tak menanggapi celotehan Ghani. Kepalaku rasanya sudah keluar tanduk, telingaku rasanya sudah keluar api dan tanganku rasanya ingin saja menonjok Ghani. Lelaki tampan yang selalu saja membuat mood-ku berantakan.

“Aku pengen masuk, Bang.”

“Tunggu mama bentar, mama mau ke sini. Gue juga udah mau balik ke kantor. Oh iya, lo jangan gak sarapan ya plus obatnya diminun. Gue enggak mau kesayangan gue sakit lagi.”

“Mama ke mana memangnya?”

“Udah ah lo anak kecil banyak tanya,” sambarnya sambil mengacak-acak rambutku.

Sekitar 15 menit kemudian, mama datang bersama dua orang polisi berbadan tegap yang membuatku takut. Aku tak paham, mau apa polisi itu datang menghampiriku dan Ghani. “Apakah mereka ingin memproses kasus tabrak lari yang terjadi padaku? Ah tapi kan kejadiannya sudah tiga hari yang lalu,” batinku.

Aku masih saja bertanya-tanya, ada apa dan kenapa. Hingga akhimya Ghani pamit denganku untuk segera ke kantor. Sedangkan Mama pergi bersama salah satu polisi tersebut. Dan aku ditinggal bersama polisi yang satunya lagi.

“Maaf pak, itu mama saya mau ke mana ya?” tanyaku pelan.

“Itu bukan urusan kamu, kamu silahkan sarapan. Saya akan menemani kamu sampai mereka tiba ke sini,” jawabnya tegas.

Baca juga  Gaun Merah Sandra

Aku yang mendengar pernyataan itu, langsung menyantap makanan yang sudah diantar oleh suster sekitar lima menit yang lalu. Aku tak menikmati sarapan pagi ini, perihal dua orang polisi tersebut.

Polisi yang memiliki tubuh tegap, hidung mancung, tinggi semampai dan berkulit kuning langsat itu seperti tidak asing di mataku. Aku langsung meminta tolong padanya untuk segera mengambil ponselku di dalam kamar. Aku membandingkan polisi itu dengan Ghali, sahabatku.

Sahabat yang telah lama menghilang, tanpa ada kabar yang jelas. Sahabat yang aku sendiri tak pernah tahu keberadaan dan melanjutkan jenjang pendidikan ke mana. Sahabat yang selalu ada di saat aku jatuh, bangun hingga jatuh lagi. Sahabat yang rela bagi waktunya buat aku seorang.

“Kamu Ghali bukan? Maaf aku enggak kelihatan nama kamu, habisnya kamu ngindar mulu. Tapi, muka dan semuanya mirip banget,” tanyaku.

Polisi itu hanya menyinggungkan senyum simpul di bibir mungilnya, tak berkata sedikit pun. Aku yang melihat dan bertanya padanya merasa menyesal karena hanya direspon dengan senyuman.

“Kamu masih saja ingat, Ghin. Sudah berapa lama ya kita tidak bertemu. Dan sekarang kita bertemu di sini.”

Aku yang mendengar jawabannya hanya diam, menunggu polisi itu berbicara lagi. “Oh iya, Ghin, gimana sekarang aku? Bagus enggak pakai baju seragam gini? Kamu ingat enggak sama janji aku, yang akan selalu ngejaga dan ngelindungi kamu? Aku datang buat kamu. Aku juga bersyukur sama Tuhan, berkat kasus ini aku dapat bertemu dengan kamu langsung.”

“Tenang saja, pelaku tabrak larinya sudah diproses kok. Mama kamu pergi, untuk melihat pelakunya. Dan polisi yang menemani Mama kamu adalah pamanku,” tambahnya lagi.

“Kamu sejak kapan punya cita-cita jadi polisi? Kok aku enggak pemah tahu? Terus, mama aku tahu tentang kamu?”

Baca juga  Perempuan, Tapi Bandel

“Ya, karena kamu enggak mau tahu dan lagi aku ingin jadi polisi, sejak kamu sering patah hati oleh laki-laki yang sering nyakiti kamu. Dan benar, hanya mama kamu saja yang tahu kalau aku melanjutkan pendidikan kepolisian,” sahutnya enteng.

“Apa hubungannya dengan laki-laki yang sering nyakiti aku dengan kamu menjadi polisi?”

“Ya, barangkali aku bisa menangkapnya. Karena sudah membuat pipi chubby kamu berembun,” jawabnya sedikit meledek.

Aku terkesima. Masih tak percaya dengan penjelasannya, masih bingung dan terasa seperti mimpi.

“Kamu masih saja naruh hati sama aku, padahal kita udah lama banget enggak ketemu. Dan aku juga udah sering ganti-ganti pacar. Tapi, kamu masih saja bertahan.” jawabku dengan heran.

“Kamu tahukan, kalau cinta tidak harus memiliki? Aku sih enggak apa-apa kalau sekarang kamunya bersanding dengan yang lain. Tapi, besok atau ke depannya? Barangkali, aku yang akan jadi masa depan kamu. Aku sayang sama kamu, Ghin. Aku punya banyak cara untuk selalu ngebahagiain, ngejagain dan ngelindungi kamu. Mulai dari masa putih abu-abu hingga saat ini. Bukan dengan cara jadiin kamu pacar aku, enakan gini tahu. Kamu enggak pernah ngerasain sakit hati, bahkan cemburuan yang berlebihan padaku. Benar enggak?”

“Bisa ngebuat kamu senang saja aku udah bahagia kali, berasa kamu milik aku seutuhnya. Dengan cara apa? Ya tadi, ngehapus air mata kamu yang selalu jatuh berkali-kali dengan tingkah konyol aku atau cara lainnya.” tambahnya.

 

Dwi Wulandari, penulis adalah mahasiswa semester V jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UMSU.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!