Cerpen Aris Kurniawan (Suara Merdeka, 07 Agustus 2016)

Putri Raja dan Babi Hutan ilustrasi Putut Wahyu Widodo
Pada minggu pertama bekerja sebagai asisten rumah tangga di negeri jiran, Ramini menemukan lelaki yang pernah datang dalam mimpinya. Ia adalah sopir tetangga majikannya. Berkulit hitam, bertubuh pendek kekar, dan bersorot mata tajam. Namanya Mustafa, lelaki asal Bangaladesh yang memiliki senyum manis. Beberapa detik setelah berkenalan Ramini langsung jatuh cinta dan meyakini bahwa laki-laki ini adalah sosok yang pernah menyelamatkannya pada kehidupan sebelumnya.
Maka tanpa merasa perlu berlama-lama mempertimbangkan, Ramini mengirim pesan kepada Bardi, suaminya, di Purworejo supaya menceraikannya. Jangan berharap dan menunggu kepulangannya karena ia akan menikah dengan lelaki Bangladesh itu. Ramini meminta maaf dan berjanji akan mengirim uang untuk mengurus perceraian mereka secepatnya. Ramini tidak peduli bahwa pesan itu bagai gempa bagi Bardi memerosokkan laki-laki itu ke palung bumi tanpa ampun.
“Nanti kukirim juga uang ganti rugi buat kamu,” kata Ramini. Dia mendengar di sambungan telepon Bardi memaki-maki. Menuduhnya perempuan sundal. Tak setia. Pengkhianat dan sederet tuduhan lainnya. Tetapi Ramini mengabaikannya. Ia sudah terlalu sering mendengar makian semacam itu dari mulut busuk Bardi. Tentu saja Ramini tak menceritakan makian suaminya kepada Mustafa karena lelaki itu memang tidak bertanya.
Mustafa hanya manggut-manggut ketika Ramini menceritakan bahwa ia adalah lelaki yang pernah datang dalam mimpi dan sosok yang menyelamatkan dirinya pada kehidupan sebelumnya, beberapa malam setelah mereka menikah di sela pergumulan mereka yang seakan tiada habisnya. Ramini juga bercerita betapa bertahun-tahun sudah dirinya mencari dan hampir berputus asa. “Kalau aku tidak malu dibilang tidak laku aku nggak akan menikah sebelum ketemu kamu, Mus,” ujarnya manja.
“Jadi kamu pernah bersuami, Ramini?” tanya Mustafa agak terkejut.
“Dia adalah laki-laki tolol dan pemalas yang pernah kujumpai dalam hidupku,” ujar Ramini. Mau tak mau ia terkenang Bardi, lelaki yang sangat ia benci dan ingin dilupakannya sama sekali. Ramini menikah dengan Bardi karena dijodohkan orang tuanya. Ia tak kuasa menolak karena di desa perempuan seusia dia memang sudah pantas untuk menikah. Ramini sama sekali tidak mencintai Bardi. Penyebabnya laki-laki itu tidak hanya tolol dan pemalas, tapi juga kejam. Dia gemar memukul Ramini hanya oleh sebab-sebab yang sepele. Semisal telat membuatkan kopi, kopi buatannya terlalu manis dan sejenisnya.
Ketololan Bardi membuat Ramini makin yakin bahwa ia harus mencari lelaki yang datang dalam mimpinya itu. Dialah kini yang akan menyelamatkan hidupnya. Bardi rupanya tahu perihal mimpi Ramini dan kekasih sebelum kehidupannya yang sekarang. Itulah yang membuat Bardi makin berlaku kejam.
“Jadi kamu masih mengharapkan laki-laki dalam mimpimu itu? Kekasih pada kehidupanmu sebelumnya? Dasar sundal!” kata Bardi sambil menyiramkan air kopi yang baru disuguhkan Ramini. Ia memang dapat berkelit dari air kopi yang masih mengepul itu, tapi tidak dari cengkeraman Bardi pada rambutnya dan gamparan Bardi pada wajahnya. Sesudahnya Bardi mengunci Ramini di dalam kamar dua hari dua malam.
Bardi anak saudagar bawang ternama di desanya yang selalu ingin terlihat perlente. Mungkin karena itulah ia pemalas. Ketika kejayaan orang tuanya meredup perlahan-lahan sifat pemalas Bardi tidak berubah. Mereka terusir dari rumah besar dan pindah ke rumah yang lebih kecil dari sisa hartanya yang habis untuk melunasi hutang-hutang kepada bank dan rentenir. Tak lama kemudian kedua orang tuanya satu persatu menemui ajalnya. Namun itu tak mencegah Bardi untuk terus mabuk-mabukan sampai sisa hartanya benar-benar ludas.
Seiring keuangannya yang makin terpuruk kekejaman Bardi kepada Ramini terus meningkat. Ia makin gemar menempeleng Ramini setiap dilihatnya Ramini melamun yang dikiranya tengah memikirkan laki-laki dalam mimpinya. Berkali-kali Ramini mencoba kabur ke rumah orang tuanya namun berkali-kali pula Bardi berhasil membawanya kembali. Ia tak mau kehilangan Ramini, selain ia memang cantik, Bardi tak ingin kehilangan obyek untuk melampiaskan hasratnya menghajar orang, terutama saat kalah judi. Bardi seperti mendapat kepuasan setiap habis menyiksa Ramini.
Ketika tak ada lagi barang berharga yang bisa dijualnya untuk main judi, dipaksanya Ramini bekerja di gudang bawang yang dulu miliknya. Tetapi itu tentu saja tidak cukup untuk membiayai gaya hidup leha-leha Bardi. Maka Bardi bergembira ketika Ramini berniat berangkat jadi TKW ke luar negeri.
***
“Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang bahwa kamu sudah pernah bersuami?” Mustafa bertanya dengan sorot matanya yang tajam dan terlihat mengerikan.
“Apakah kamu keberatan aku pernah bersuami? Bukankah sekarang aku milikmu seutuhnya?” Suaminya yang tadi merasa tidak senang, kembali merangkul Ramini dan menciumi perempuan itu. Betapa ruginya melepaskan Ramini yang cantik hanya gara-gara perempuan itu pernah menikah dan baru menceritakannya sekarang. Mustafa melihat kondisi fisiknya yang sama sekali tidak menarik: pendek hitam. Hanya sebuah kecelakaan yang membuat ada perempuan secantik Ramini bisa begitu mencintainya.
“Ramini bolehkah aku bertanya bagaimana kamu yakin aku adalah laki-laki yang datang dalam mimpimu dan kekasih pada kehidupan kamu sebelum ini?” tanya Mustafa, pertanyaan yang kemudian ia sesali sendiri karena hal itu terdengar seperti ‘kenapa perempuan secantik kamu mecintai laki-laki sejelek diriku?’
“Itu tidak penting, Mustafa,” sergah Ramini.
“Ya itu memang tidak penting,” timpal Mustafa serayu menciumi Ramini. Sejujurnya, bagi Mustafa sebuah keberuntungan mendapatkan perempuan secantik Ramini. Tidak penting mengetahui apa sesungguhnya yang melatar belakanginya. Seandanya itu lantaran Ramini memiliki persoalan kejiwaan, Mustafa tak akan peduli. Pembicaraan Ramini tentang bahwa dirinya adalah kekasihnya di masa kehidupan sebelumnya sungguh tak ia pahami. Dan Mustafa memilih untuk tak menyinggungnya sama sekali. Pilihan itu sangat tepat dan membuat kehidupan perkawinan mereka tak mengalamai masalah dan lumayan bahagia.
Sampai pada suatu malam Ramini tanpa sengaja menceritakan hidupnya sebelum hidupnya yang sekarang. Ramini mengatakan bahwa pada masa lalu ia adalah putri raja yang terusir dari istana lantaran melawan ayahanda baginda raja. Ia hidup sebagai buronan yang lari dari hutan ke hutan. Suatu hari ia hampir saja tertangkap oleh pasukan pemburu seandainya tidak muncul seekor babi hutan yang mengacaukan pasukan pemburu sehingga sang putri raja itu lolos dari pengejaran. Mula-mula Mustafa menganggap itu hanya bualan Ramini, tapi bila makin dipikir lama-lama membuat Mustafa tersinggung dan mulai suka marah-marah.
“Tidak usah marah dan tersinggung, suamiku. Sekarang kita adalah sepasang manusia yang saling mencintai,” kata Ramini.
Mustafa tidak puas dengan jawaban Ramini. Mustafa ingin bertanya lebih jauh tentang kehidupan Ramini sebelum kehidupannya yang sekarang dan bagaimana ia bisa membuktikan omongannya. Ia sungguh penasaran, namun pada saat yang sama keingintahuannya seperti menyakiti diri sendiri. Itu membuat pikirannya tidak tenang, ia merasa tergganggu, terutama pada bagian cerita bahwa ia dulunya adalah seekor babi hutan.
Itu akhirnya meledak ketika dalam sebuah pertengkaran kecil, Ramini memaki, “dasar babi hutan!” Dan itu menjadi awal dari kerumitan hubungan pernikahan mereka. Ramini mulai meragukan keyakinannya semula. Lalu mengingat-ingat lelaki dalam mimpinya itu secara lebih teliti.
“Kamu bukan lelaki dalam mimpi itu. Kamu bukan babi hutan yang pernah menyelamatkanku!” Simpul Ramini akhirnya pada suatu malam sesuai pertengkaran yang hebat dengan Mustafa. Itulah simpulan yang diharapkan Mustafa. Namun justru karena pula itu, Ramini ingin meninggalkannya. Ramini hanya ingin menemukan lelaki dalam mimpinya yang tak lain seekor babi hutan! (92)
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen dan puisinya yang telah terbit: Lagu Cinta untuk Tuhan (2005); dan Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, 2007).
Leave a Reply