Anggi Nugraha, Berita Pagi, Cerpen

Purnama

0
(0)

Cerpen Anggi Nugraha (Berita Pagi, 21 Juli 2018)

Purnama ilustrasi Berita Pagi (1)

Purnama ilustrasi Berita Pagi 

“Ibu, kenapa kalau bulan purnama datang, listrik selalu mati?”

“Hmmm, biar kita bisa menikmati cahaya purnama yang cantik itu, Nak,” ibunya menjawab sambil tangannya mengelus kepalanya.

“Ayo, sana main lagi sama yang lain!”

Kamila, nama anak kecil itu. Dia masih sangat polos. Memang, di kampung itu, setiap purnama datang di tanggal 14, PLN selalu saja memadamkan lampu. Alasannya sedang mengirit pengeluaran, katanya. Tapi bagi masyarakat kampung, keadaan itu tidak membuat mereka resah. Bagi mereka purnama adalah kebebasan. Jika purnama datang, adalah kesempatan bagi mereka untuk keluar rumah. Anak-anak bermain di lapangan. Bapak-bapak bercengkerama di bale-bale. Sementara ibu-ibunya saling membuat kelompok di salah satu rumah, ngerumpi bercanda tawa.

Tapi setahun yang lalu, bagi Siti ibunda Kamila, adalah masa yang sangat menyakitkan. Dia kehilangan sosok Purnama. Cahaya hatinya. Cahaya yang sudah hampir sepuluh tahun menerangi hidupnya. Waktu itu sore hari, Purnama pamit pergi memancing.

“Nanti malam kita makan ikan segar ya, Bu!” sambil mengecup kening istrinya dan Kamila. Siti merasa malu karena Purnama mengecupnya di depan Kamila.

“Ah… Ayah seperti hendak kemana saja. Tak malukah kau sama anakmu ini?” Kamila tersenyum melihat ayahnya dan merasa bahagia karena akan makan ikan yang segar.

Di rumah, Siti pun mempersiapkan kayu bakar, berambang, kunyit, kemiri, kemangi serta daun pisang. Dia berpikir, nanti ikannya akan dibuat pepes. Meski begitu, sampai tengah malam, Purnama belum juga kembali. Dan sebagaimana kebiasaan para lelaki di kampung itu bila pergi memancing, mereka memang terbiasa menginap semalaman.

Namun di keesokan pagi, kampung itu tiba-tiba digemparkan oleh sebuah berita. Seorang lelaki telah mengapung tak bernyawa di danau. Siti dan anaknya menangis histeris, tatkala mereka dapati lelaki itu adalah lelaki yang mengecup mesra kening mereka berdua kemarin hari. Itulah kali terakhir mereka melihatnya. Lelaki itu terbujur kaku, pias, lesu, tak lagi berdaya.

Akan tetapi, waktu sudah begitu jauh kini. Dan bulan purnama akan terus datang untuk kembali pergi. Kamila sempat bertanya pada ibunya tentang purnama.

“Ibu, bisakah aku melukis wajah Ayah di sana?” seraya menunjuk pada bulan purnama yang cahayanya tengah menerangi malam. ”Aku ingin bulan itu jadi kanvas-nya.” Siti pun tersenyum mendapati putrinya bertanya seperti itu.

Baca juga  Tiga Cerita di Batang Pisang

“Kau kelak akan bisa meraihnya, Nak. Bahkan nanti kau akan berada di sana, bersama Ayahmu!”

“Ibu tidak mau ikut?” tanyanya polos.

“Tentu Kamila. Kita bertiga akan bersama lagi di sana. Dan kau tak hanya sekadar bisa menggambar wajah Ayahmu, tapi kau bisa memilikinya.”

Kamila girang tiada tandingan. Mulai saat itu ia jadi rajin menggambar. Ia menggambar di mana saja. Di buku, papan tulis, dinding, rumah, halaman sekolah, bahkan ia sempat diinterogasi ibu guru lantaran menggambar di meja kelasnya. Ketika ditanya oleh guru, itu gambar siapa, Kamila pun menjawab,”Ini gambar Ayah, Bu Guru! Ayah sedang berada di bulan.” Sontak, sejak saat itu ibu guru jadi paham.

Sedari ditinggal suaminya pergi tuk selamanya, tentu, Siti yang menjadi tulang punggung keluarga. Sejak dini hari, ia sudah pergi ke kebun karet guna menderes batang-batang karet. Di desa itu, tidaklah tabu mendapati seorang perempuan bekerja di perkebunan karet. Meski demikian, dulu, saat suaminya masih ada, tak sekali pun ia diperbolehkan untuk melakukannya. Itulah sebab mengapa Purnama begitu berarti.  Karena di mata Siti, suaminya itu sosok yang benar-benar menghormati perempuan. Mencintai dirinya teramat dalam.

Namun, waktu itu sudahlah usai. Kini ujian demi ujian datang. Harga karet yang dahulu membubung, seketika anjlok. Menghancurkan perekonomian di daerah itu yang benar-benar hanya ditentukan oleh harga getah karet. Perlahan, semakin sesaklah napas orang-orang di kampung itu. Tak sedikit dari warga yang mulai menjual kebun-kebun karet miliknya, untuk akhirnya mereka pindah ke pulau Jawa. Atau juga menebang habis batang-batang karet, guna ditanami ubi kayu racun sebagai bahan tapioka. Yang parah tentunya, ketika para buruh deres tak punya apa-apa lagi untuk diandalkan. Termasuk Siti, yang sedari ditinggal pergi suaminya itu, ia menderes di kebun karet Haji Asnawi. Namun kini, kebun karet itu dideres sendiri oleh pemiliknya.

***

Siti masih sendiri di dalam gubuknya malam itu. Memandangi tingkah polah anak-anak kecil di luar sana. Bermain kejar-kejaran. Sungguh, tak pernah ada lara di wajah anak-anak kecil itu. Gumamnya.

Baca juga  Dua Kabar Sedih

Di sudut lain para bapak-bapak berkumpul di bale-bale, berkelakar mengusir penat. Bukankah hidup ini harus ditertawakan? Ujar Siti dalam hati. Mendapati hidup yang semakin sulit, malam itu Siti menatap bulan purnama. Lantas ia teringat akan lukisan anak perempuannya. Ia membayangkan mereka bertiga ada di sana. Ada di dalamnya. Mereka melihat ke bawah, melihat bahwa betapa kecilnya bumi ini dicipta. Hingga akhirnya, Siti seperti terilhami oleh kontemplasinya di malam itu.

Keesokan, Siti menghampiri anak perempuannya itu lalu berkata,”Maukah kau mempercepat langkah kita ke bulan?”

“Tentu Ibu, tapi gimana caranya?” Siti memeluk erat anak itu seraya menjawab mesra pertanyaan anaknya.

“Kita butuh dana yang besar untuk bisa ke sana, Nak!”

“Lalu?” tanya anak itu lagi.

“Untuk membawamu ke sana lebih cepat, tentu Ibu harus bekerja. Semakin cepat kita ke sana, semakin cepat pula kita bertemu Ayah!” Kamila kecil tidak mengerti. Ia mengernyitkan dahinya.

“Maksud Ibu?”

“Kamila tinggallah bersama Nenek! Ibu akan cari uang sebanyak mungkin di luar negeri. Kalau sudah banyak uang, Ibu akan pulang secepatnya. Tentu, untuk membawamu pergi menemui Ayah di bulan.”

“Benarkah Ibu?” tanya anak itu polos. Siti mengangguk seraya tersenyum.

Akhirnya, Kamila pun mengiyakan kata-kata ibunya. Ia merelakan ibunya itu pergi merantau ke negeri orang. Untuk satu tujuan tentunya, agar lekas menyusul ayahnya ke bulan. Semakin cepat, semakin baik. Pikir Kamila.

Di sana, di Taiwan tepatnya, Siti pun akhirnya bekerja. Ia bekerja begitu giat. Sedangkan Kamila tinggal bersama neneknya. Di rumah neneknya itu, seperti biasa ia tidak pernah meninggalkan purnama. Kini ia jadi rajin menghitung. Menghitung, sudah berapa purnamakah berlalu? Ia rindu. Rindu kedatangan ibunya. Rindu akan keberangkatan mereka ke bulan. Anak kecil itu sungguh lugu. Maka, dirangkainya do’a-do’a pada Tuhan, agar secepat mungkin mereka pergi ke bulan menemui ayahnya.

Maka hari pun bertunas minggu. Sedang minggu bercabang bulan. Lantas bulan berbuah tahun. Tak terasa, sudah setahun lebih Siti bekerja di Taiwan. Satu tahun lebih jugalah Kamila tinggal bersama neneknya.

Di kampung neneknya itu, tidaklah berbeda dalam hal menikmati purnama. Anak-anak akan bermain di lapangan. Bapak-bapak bercengkrama di bale-bale. Sementara ibu-ibu ngerumpi bercanda tawa. Dan, tentu, dari ke semuanya itu ada satu yang tidak pernah tertinggal di malam purnama: mati lampu.

Baca juga  Buku Bisu

Tapi, semua itu jauh berbeda. Di negeri nun jauh di sana, ketika malam itu datang, yaitu malam di mana purnama menjatuhkan sinar terbaiknya di kampung itu, pada waktu yang sama sebuah gempa dengan kekuatan 7,4 skala richter dengan dahsyatnya mengguncang. Merobohkan gedung-gedung yang tinggi menjulang. Jalan-jalan jadi retak juga berlubang. Semuanya panik. Listrik pun padam. Orang-orang histeris meminta pertolongan. Korban berjatuhan. Banyak orang yang mati tertimpa reruntuhan. Tak sedikit juga dari mereka yang tengah berjuang dari himpitan puing-puing bangunan. Meski demikian, ada juga yang selamat, meski kengerian terus bergolak di dada-dada mereka. Dengan cepat, pada saat itu, mata dunia pun segera terfokus ke sana. Ke negeri itu, ke negeri di mana Siti selama ini menetap untuk bekerja.

Sedangkan di kampung itu, masyarakat sedang asyik-asyiknya menikmati purnama. Mati lampu sedari magrib, menghantarkan mereka pada kebiasaan yang sudah turun-temurun dilakukan. Purnama, selalu ada anak-anak bermain di bawahnya. Purnama bapak-bapak bersendagurau di bale-bale. Purnama, ibu-ibu ngerumpi bercanda tawa.

Tapi entah kenapa, purnama kali ini, Kamila tidak tampak ceria seperti biasanya. Tak terlihat ia bermain bersama teman-temannya. Sedari tadi, ia hanya menatap purnama dari serambi rumah neneknya. Semakin lekat ia lihat, semakin jelas wajah ayahnya perlahan hadir. Tak lama, wajah ibunya pun menyusul di sana. Mereka tampak berdua kini. Mereka sungguh serasi sekali. Kamila pun tersenyum. Namun tak lama, ayah dan ibunya itu melambaikan tangannya.

Kamila pun bingung. Sekejap, ia pun menjadi murung. Ia tak paham apa maksudnya. Lagi-lagi, ayah dan ibunya itu melambaikan tangannya.

Perlahan, mereka memudar.

Pecah.

Hilang.

 

Anggi Nugraha. Lahir di Batumarta 2, Kab. OKU, Sum-Sel. Kini menetap di Batujajar Kabupaten Bandung Barat. Alumnus Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung.  Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai media. Buku yang akan terbit “Kunang-kunang Dini Hari” ialah kumpulan cerita pendek.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!