Cerpen Sari Rahmadani Hsb (Waspada, 15 Oktober 2017)
KITA masih sama seperti dahulu, mengeja setiap waktu tanpa tahu bahwa lelah sudah sampai di batas ketidakmampuan. Kita masih sama seperti dahulu, menikmati aroma senja sampai burung-burung berlari keperaduan dan kita pun pulang. Kita masih sama, berharap tentang harapan pupus hingga realita adalah omong kosong.
***
Ini adalah tentang harapan-harapan yang kubiarkan mengambang, mengalir bersama riak pantai dan menghilang di antara pasir-pasir putih. Ini adalah tentang cerita-cerita yang kurangkai menjadi indah bak sekuntum kembang yang baru mekar.
Aroma bau senja masih membingkai kenangan empat tahun silam. Cincin yang masih melingkari jari manisku hingga kini. Pernikahan yang dilaksanakan dengan meriah dan penuh suka cita bersama dia, lelaki yang hingga kini mendampingi pahit manisnya kehidupan. Pernikahan yang dilandasi perjodohan antara dua keluarga yang merasa hangat. Pernikahan yang tanpa dilandasi demokrasi antara kedua mempelai tetap saja terjadi demi arti dicap anak yang berbakti. Hanya sebulan, persiapan pernikahan sampai pada akhirnya gadis belia nan ayu naik pelaminan.
“Bun, apa boleh menikah tanpa saling mencinta?” Tanyaku pada Bunda, perempuan hebat yang telah memperjuangkanku sampai saat ini, di umurku yang ke-21.
“Berapa kali lagi pertanyaan itu kau ucapkan Humairoh?” Jawab Bunda kesal. Memang, pertanyaan itu sudah berulang kali kutanyakan pada Ayah Bunda. Bahkan sampai detik ini, detik dimana esok adalah hari pernikahanku. Hari dimana aku tak lagi menjadi tanggung jawab Ayah.
“Kenapa Bunda tega memutuskan hubunganku dengan Andre yang sudah terjalin selama tujuh tahun, kemudian Bunda dengan mudahnya menikahkanku dengan Hafizh, si tua bangka yang baru Bunda kenal!” Aku semakin terisak. Hatiku patah. Bunda yang mematahkannya.
Aku teramat mencintai Andre, begitupun sebaliknya. Rencana pernikahan telah kami susun, tinggal menunggu aku menyelesaikan kuliahku setahun lagi. Awalnya Bunda setuju dengan semua rencana-rencana dan harapan yang kami bangun. Tapi semenjak Bu Ratna mengenalkan anaknya ke Bunda, semua harapan itu dengan mudahnya hancur berkeping.
Aku teramat menyayangi Bunda, itulah sebabnya semarah apapun aku, aku tetap menuruti kemauan Bunda. Bahkan meski harus mempertaruhkan perasaan. Bunda berlalu tanpa sepatah kata yang terucap dari bibirnya. Meninggalkanku berteman sepi.
Tibalah hari pernikahanku. Semua orang bersuka cita kecuali aku. Gaun pengantin telah terbalut rapi di tubuhku, lengkap dengan pernak-pernik dan perhiasan. Sekali lagi Bunda mengingatkan agar aku tidak membuat kacau acara, atau yang paling mudah agar aku jangan menangis. Bunda juga melarangku mengundang Andre, mantan kekasih yang sampai detik ini namanya masih memenuhi ruang hati.
Hafizh dengan lantang mengucap ijab kabul. Saksi berteriak sah. Dan pada detik itu aku telah sah menjadi istrinya. Pada detik itu pula kulihat raut wajah bahagia Ayah, Bunda dan saudara-saudaraku. Wajah-wajah orang terkasih yang dengan tega mematahkan hatiku, menghentikan sebagian nafasku.
“Sayang, mulai hari ini, seluruh tanggung jawab Ayah serahkan pada Hafizh. Dialah yang akan menjadi pendampingmu. Dialah yang berhak marah ketika kamu masih suka pulang malam. Dialah yang akan menegurmu ketika lalai dari lima waktu. Dia pulalah yang akan menjewer telingamu ini kalo masih suka bohong haha. Anak gadis Ayah udah jadi milik orang. Patuhilah dia, Nak, surga seorang istri ada di bawah telapak kaki suaminya.” Ayah meneteskan air mata haru sambil memelukku erat. Begitupula Bunda, nasihatnya sama dengan Ayah, agar aku menjadi istri yang patuh pada suami. Bagaimana mungkin patuh sementara hatiku masih milik yang lain?
Entah apa yang Bunda pikirkan tentang Hafizh, lelaki biasa yang sudah berdampingan denganku selama setahun belakangan. Tak ada keistimewaan yang kudapatkan. Wajah dan fisik Hafizh sangat jauh dari kata ‘lelaki sempurna’. Pekerjaannya juga hanya sebagai guru honorer, kalau sore Hafizh mengajar mengaji di masjid. Entah apa yang Bunda pikirkan, bahkan gajiku lebih besar dari Hafizh. Usiaku pun terpaut jauh dengannya, berbeda sepuluh tahun. Kenapa Bunda bersikeras menikahiku dengan tua bangka ini? Aku tidak bahagia Bunda.. Seringkali aku terisak di sepertiga malam, memohon pada Ilahi agar memisahkanku dengannya. Memohon pada malam agar segera mengusir sepi. Memohon pada angin agar segera membawa Andre lebih dekat denganku.
Tanpa sepengetahuan Hafizh, aku sering jalan berdua dengan Andre. Mengulang kembali kasih yang sempat terputus. Berjalan-jalan di bibir pantai, menghabiskan waktu sampai senja menenggelamkan diri. Atau bahkan sekedar bertemu, meneguk secangkir kopi di sudut cafe langgananku.
Memasuki tahun kedua pernikahanku dengan Hafizh. Perasaan bahagia justru semakin jelas kurasakan dengan Andre. Hingga kejadian itu menimpaku. Aku hamil. Justru ini adalah kehamilan yang membawa petaka padaku. Aku mengandung janinnya Andre.
“Apa? Kau gila Humairoh! Kenapa kau meminta pertanggungjawaban padaku sementara suamimu adalah Hafizh?” Andre membentakku.
“Aku tak pernah tidur seranjang dengan Hafizh kau tau! Hafizh tak pernah menyentuhku. Bagaimana mungkin aku mengandung anaknya. Kau yang gila!” Kemarahanku memuncak. Terlebih Andre tidak mengakui dan tidak ingin bertanggung jawab atas semua kekhilafan yang kami perbuat.
Dua tahun usia pernikahanku dengan Hafizh, selama dua tahun itu pula kebohongan-kebohongan membanjiri lisan dan sikapku sebagai istri. Aku tak pernah menjalankan kewajibanku, aku selalu mengacuhkan keinginannya. Sampai pernah suatu ketika aku tak pulang ke rumah selama dua hari, tak seorang pun keluarga yang tau keberadaanku, termasuk Bunda.
“Sekarang, katakan apa yang kau inginkan. Semuanya akan kuturuti,” pinta Hafizh di sela-sela tangisku. Biasanya, Hafizh tak pernah mencampuri saat aku menangis di sepertiga malam seperti ini. Kali ini, untuk pertama kalinya, selain melakukan sholat malam, ia ikut nimbrung dalam masalahku.
Aku diam
“Humairoh, istriku. Kalaupun kau ingin kita bercerai, insyaa Allah mulai detik ini aku ridho. Sebab, tak akan ada seorang suami yang ikhlas jikalau istrinya telah mengandung janin orang lain, padahal ia belum menyentuh sedikitpun, meski bagian terkecil dari tubuh istrinya,” Hafizh mengucapkan kalimatnya dengan terbata, air mata memenuhi pelupuknya.
Ia melanjutkan kalimatnya, “Maaf, kalau selama ini aku sebagai seorang suami tak pernah membuatmu bahagia. Maaf, kalau selama ini gajiku tak mencukupi untuk membeli semua yang kau inginkan. Aku minta maaf Humairoh, kalau selama ini aku belum bisa menjadi suami dan menantu yang dibanggakan Ayah Bunda,” Hafizh semakin terisak. Hatinya hancur. Dihancurkan oleh perempuan yang tak pernah mencintainya.
Aku semakin hancur, Hafizh mengetahui semuanya. Sungai-sungai yang mengalir dari mataku mengering. Andre menghilang tanpa meninggalkan secarik jejak yang bisa kubaca. Hafizh bersedia mendampingiku sampai proses persalinan. Sebulan setelah persalinan, di hadapan seluruh keluarga, Hafizh menceraikanku. Bunda menangis sejadi-jadinya. Tapi apa yang bisa kuperbuat, semuanya telah terjadi. Tiga tahun pernikahan yang kusia-siakan. Hafizh memilih sendiri. Begitu pula denganku, memilih membenamkan perasaan bersalah dan memendam cinta yang semakin menjadi-jadi untuknya.
Putra yang kulahirkan semakin tumbuh besar. Shafwan Hafizh, nama yang diberikan Hafizh untuknya. Memasuki tahun keempat pernikahan kami yang seharusnya. Hafizh dikabarkan meninggal karena kecelakaan. Separuh jiwaku terkubur bersama jasadnya, separuh lagi kubiarkan tumbuh bersama Shafwan Hafizh, putraku. ***
Leave a Reply