Cerpen Komala Sutha (Merapi, 18 Oktober 2019)

Merpatiku Terbang Tinggi ilustrasi Istimewa
Senja baru saja turun ketika Emil sampai di depan pintu rumah. Didapatinya Meysa tengah berdiri membelakangi. Tangannya yang mulus sibuk mengiris sayur-sayuran beraneka warna. Sesekali senandung kecil terdengar dari bibirnya yang merekah merah.
Perlahan Emil melangkahkan kaki, mendekatinya, memegang bahu Meysa. Serta merta Meysa melirik dan sedikit kaget. Hampir saja pisau jatuh mengenai kakinya kalau saja tangan Emil tak sigap menangkap benda yang cukup tajam itu.
“Maap sayang, ya…” Emil memeluk tubuh Meysa dari belakang. “Kau kaget ya, abis sibuk terus sampe suami datang gak nyadar…”
Meysa tersenyum manis. Ia pun menggelinjang ketika bibir Emil mendarat di tengkuknya yang mulus. “Akang sih masuk rumah pake mengendap-ngendap segala, kaya maling saja…”
“Sini menghadap aku…” Emil membalikkan tubuh istrinya hingga mereka berdua berhadapan. “Aku kangen kau, istriku…”
“Ya aku ngerti,” Meysa menatap pria di hadapannya. Tiga hari tak pulang karena sibuk latihan luar di Sentul, tentulah membuat suami rindu bersamanya. “Sekarang, Akang mandi dulu ya… biar aku masak dulu, gak lama lah… paling setengah jam.”
Emil kembali mendaratkan ciuman mesra, kali ini di kening Meysa. “Oke, sayang…” ia pun menuruti perintah istrinya. Walau Meysa wanita yang sibuk dengan berbagai kegiatan di luar rumah, tapi ia selalu menyempatkan membuatkan masakan saat suami akan tiba di rumah. Mereka belum lama menikah, baru lima bulan. Di rumah yang cukup besar ini, mereka hanya tinggal berdua. Pembantu yang hanya datang sesekali saja untuk mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Sejak pagi, suami istri itu sudah keluar rumah dengan pekerjaan masing-masing. Emil bertugas di kemiliteran tak jauh dari tempat tinggalnya sekarang, sementara Meysa selain mengelola yayasan di bidang pendidikan, ia pun sibuk dengan bisnis-bisnis perempuan bersama banyak teman semasa kuliahnya. Sebenarnya semenjak menikah, Emil menginginkan istrinya ikut serta tingal di asrama tentara seperti teman-teman lainnya. Tinggal bersama keluarga. Namun Meysa selalu saja menolak dan Emil tak cukup keberanian memaksanya karena ia pun menyadari kalau Meysa bukan seperti istri-istri temannya yang hanya berstatus ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya fokus dengan pekerjaan di rumah, mengurus suami dan anak. Meysa berbeda. Meysa wanita yang mandiri, yang tak pernah mau menggantungkan hidupnya pada suami. Ia mampu mencari uang melebihi gaji yang diperoleh suami.
“Wow… nampaknya masakanmu malam ini spesial banget…” Emil mendekati Meysa yang sedang menata piring di atas meja makan kaca. “Pantes aku tadi pengen segera sampe rumah…”
“Sekarang giliran aku yang mandi ya, Kang…” Meysa memerhatikan Emil yang sudah rapi dengan pakaian santainya. Celana jins dan atasan kaos berwarna putih. Sejenak Meysa takjub dengan ketampanan suaminya. Kadang ia pun tak percaya Tuhan memberikan suami yang selain tampan juga berusia lebih muda darinya. Ya, usia Emil lebih muda sepuluh tahun dari Meysa.
Usai sholat maghrib, Meysa menarik lengan Emil menuju meja makan. Mereka menyantap hidangan yang malam itu membuat Emil berdecak kagum karena kepintaran istrinya dalam mengolah makanan. Sayang sekali ia tak bisa tiap hari menikmati masakan istrinya.
Tepat jam sembilan Emil memeluk istrinya di atas tempat tidur.
“Gimana kabar anak-anak?” Emil mulai memancing pembicaraan yang diharapkan. Anak-anak yang dimaksud adalah anak-anak Meysa, hasil pernikahan dari suaminya yang pertama. Setelah bercerai setahun yang lalu, ketiga anak laki-lakinya memilih tinggal dengan ayahnya. Sesekali mereka datang ke rumah Meysa, tapi jarang berlangsung lama karena mereka tahu ibu mereka jarang di rumah. Selain itu ayahnya yang sangat berwatak keras tak mengijinkan anak-anaknya sering ke rumah Meysa, terlebih setelah Emil menikahinya.
“Mereka baik…” jawab Meysa pendek. Ia tahu akan kemana arah pembicaraan Emil. “Kalau kabar anakmu?”
Emil menelan ludah, ditatap wajah istrinya yang terbaring di sampingnya. “Hari Minggu besok aku mau nengok dia, kau ikut ya…”
Meysa mendesah. “Aku gak bisa, kan kau tau tiap hari Minggu aku ada kegiatan…”
“Sebegitu pentingkah…” giliran Emil yang mendesah. “Mey… kau gak lupa kan dengan permintaanku?”
“Gak lah… tapi itu gak mungkin,” Meysa mengubah posisi tidurnya, membelakangi Emil yang masih memeluknya. Ia malas kalau Emil menyinggung lagi soal itu. Soal anak. Emil menginginkan Meysa memberikan buah hati sementara Meysa tak mungkin mengabulkannya. Oprasi kecil sebagai bentuk tak mengharapkan mengandung lagi sudah dijalankan sebelum mengenal Emil, sejak dirinya masih menjadi istri orang. Keputusan itu telah disepakati suaminya terdahulu. Alasanya masuk akal, jika Meysa tak segera melakukan operasi steril, dikhawatirkan bisa mengandung sebanyak tiga kali lagi di usianya yang masih produktif. Ya itu prediksi dokter, hanya Tuhan juga yang lebih berkuasa, tapi manusia tak lepas dari usaha. Meysa tak mau mengandung lagi,ia tak mau memiliki anak lagi mengingat bukan saja sudah lelah dengan tiga anak, tapi juga menambah anak bukan tak mungkin bisa menghambat aktivitas kesehariannya, sedangkan ia tak mau seratus persen menjadi ibu rumah tangga. Ingin bekerja dan terus bekerja. Kepuasan didapatnya dengan kesibukan di luar, hingga rumah tangganya pun berkahir, tapi bukan karena itu. Karena sebab lain yang ia sendiri tak mau mengungkitnya dengan siapapun. Lalu sekarang Emil kembali mengusik hal itu terutama soal anak. Emil ingin anak dari rahim Meysa.
“Maap kalo kau jadi gak nyaman dengan keinginanku itu…” Emil menyudahi pembicraannya, lalu memeluk erat tubuh istrinya yang masih memunggunginya.
Sudah tiga hari Minggu Emil pergi ke luar kota, menemui anaknya. Meysa pun tak menolak karena ia sendiri pun sibuk dengan urusan bisnisnya. Emil sebenarnya sangat menyayangkan dengan istrinya yang terlalu sibuk mencari uang, karena ia pikir untuk apa lagi. Gajinya lebih dari cukup untuk menghidupi Meysa. Ketiga anak Meysa pun tak begitu membutuhkan bantuan materi karena selain ayahnya hidup sangat mapan, juga seringkali menolak niat baik Meysa. Tapi lagi-lagi Emil tak berani melarang. Meysa belum setahun bersamanya dan Emil takut menimbulkan ketidaknyaman dalam rumah tangga mereka. Akhirnya ia membiarkan istrinya larut dalam dunianya, namun sebagai laki-laki ia pun tak salah jika menginginkan kehadiran anak dalam pernikahan mereka.
“Merpatku gak juga ngerti…” Meysa sering mengibaratkan Emil dengan merpati. Burung itu identik dengan janjinya yang tak pernah ingkar. Ia mengenal sosok Emil sebagai pria yang baik, penyabar dan tak pernah ingkar. Seperti merpati. Tapi yang ia sesali, merpatinya tak mau mengerti untuk soal yang satu kalau Meysa tak mungkin bisa hamil lagi.
“Siapa yang lebih berkuasa… dokter apa Tuhan?” Emil pernah berucap begitu. Kalau sudah begitu, biasanya Meysa pun tak mendebat. Ia hanya mendesah pelan. Kalau saja dirinya bertemu dengan Emil belasan tahun lalu, saat di antara mereka belum terikat dengan yang lain, mungkin ceritanya lain. Emil akan punya anak dari Meysa. Satu, dua atau tiga. Namun Tuhan mempertemukan pada masa yang berbeda. Saat Meysa sudah berstatus janda beranak tiga dan Emil baru lepas dari istrinya yang lebih muda yang juga memberikan seorang anak laki-laki.
“Mey… kenapa dengan kau?” Dian sahabatnya menyentuh lengan Meysa. Tak biasanya hari Minggu dilalui Meysa dengan tak biasa. Ia murung dan tak banyak bicara.
“Aku gak enak hati gini, Dian…” jelas Meysa. Hatinya sedari beberapa jam lalu resah. Beberapa mitra bisnisnya pun sempat heran dengan perubahan sikap Meysa. Entah mengapa, ia merasa tak rela Emil pergi ke luar kota, ke kampung halamannya. Bertemu keluarganya, anaknya dan bukan tidak mungkin mantan istrinya yang sampai hari ini belum menikah lagi. Emil bukan untuk yang pertama kali pergi. Hampir tiap Minggu, namun untuk kali pertama hati Meysa merasakan resah. “Ada saran buatku?”
Dian satu-satunya orang yang Meysa anggap sahabat, ia banyak tahu kehidupan Meysa. “Mungkin dengan menyusul suamimu, perasaan resahmu bisa sirna. Sekarang baru jam satu, dan gak ada salahnya kalian nginep di rumah mertua sebagaimana yang suamimu inginkan… dan pagi-pagi sekali kalian bisa berangkat kerja dari sana. Gimana?”
Tak sampai dua jam Meysa tiba di kota itu. Sengaja tak memberitahukan dulu suaminya, agar menjadi kejutan. Selain itu ia pun kangen dengan mertua perempuan meskipun ucapan wanita itu kadangkala pedas mengingat usia Meysa yang jauh lebih tua dari anaknya. Sore itu mendadak Meysa kepikiran mengajak Raditia, bocah kecil berusia dua tahun yang lucu itu untuk tinggal bersamanya, menjadi bagian hidup Meysa. Pasti Emil dengan senang hati mengabulkan permintaannya dan Meysa harap setelah itu suaminya tak akan lagi mengusik soal anak dari rahim Meysa.
Seraut muka kecut menyambut kedatangan Meysa.
“Emil sedang mengunjungi sodara misannya…” mertua perempuan menyebutkan daerah yang dihuni banyak saudara Emil dari pihak ibu.
“Sama Raditia?” langkah Meysa tertahan di teras rumah karena wanita itu sepertinya tak menginginkan kedatangannya.
“Bertiga sama Miranti. Tak lama lagi mereka akan rujuk,” jelas ibu mertuanya membuat langit senja itu terasa runtuh bagi Meysa. Merpatinya pergi, terbang tinggi dan tak akan kembali.***
Bandung, 21 Agustus 2014
Leave a Reply