Angga T Sanjaya, Cerpen, Kabar Madura

Musim Hujan dan Kematian

5
(1)

Cerpen Angga T Sanjaya (Kabar Madura, 18 Maret 2019)

Musim Hujan dan Kematian ilustrasi Istimewa

Musim Hujan dan Kematian ilustrasi Istimewa

Gemuruh, dan degub-degub hujan di jantungku kian berkecamuk. Membikin gelombang petir dan badai mengamuk. Sekian kisah yang menyisakan luka ingatan, mendesir bersama kecipak air. Hanya benang-benang hujan yang menyerupai harapan, tak pernah usai, untukku.

LALU hujan yang resah turun samar-samar dan tipis-tipis itu, hujan yang bergetar kedinginan di pucuk pepohonan juga dedaunan, menandai dimulai kisahku.

Senja ini, setelah kemarau panjang menggerus musim. Langit menjadi sekelam arakan mendung yang mendiami cuaca. Udara memberat, mengalir gerimis yang menyendiri. Angin bergerak resah, membawa separuh dingin musim penghujan yang terlambat datang. Lalu suasana menjadi begitu lengang, kecipak air yang mengisi diam sesekali mengungkap sepi.

Aku menelan tiap peristiwa bagai sekian jilatan laut di pasir pantai yang meninggalkan luka.

Perempuan itu, perempuan yang berambut panjang, berwajah oriental, dan lesung pipi yang tibatiba ada ketika sebuah senyum mengembang. Atau alis yang menyerupai dua jembatan yang tak pernah tersatukan. Atau ujung hidung yang menjadi merah sembab ketika menangisi sesuatu, atau bahkan mata yang tak pernah terbuka ketika mentertawai sesuatu, juga mentertawaiku. Ah, bukankah aku begitu hafal terhadapnya, bukankah aku begitu mengenal apa yang ada. Bahkan tahi lalat yang menempel di pundaknya, bahkan tanda lahir yang membekas di atas payudaranya. Bukankah aku begitu mengenalnya?

Perempuan itu adalah istriku, yang tengah berjalan sendiri melewati lengang, melewati lorong panjang. Melewati jalan yang bahkan akupun tak pernah tahu ke mana arahnya, ke mana muara yang akan ditujunya.

Musim hujan, yang selalu datang menemui babak baru. Mengisi ruas-ruas keresahan dan luka kemarau. Menjadi mendung, menjadi selimut langit, menjadi bulir-bulir air mengigilkan dedaunan. Hingga mengisi seluruh kerontang tanah kehidupan. Hujan selalu menemui babak baru, yang kunantikan juga dinantikan banyak orang. Hujan yang datang memberkati harapan.

Baca juga  Tuan Alu dan Nyonya Lesung

Aku selalu menunggu hujan. Menunggu hujan memberkati tanah kerontang. Memberkati harapan. Hujan yang memberkati kami semua.

***

Hujan telah datang, memenggal sebait musim kerontang. Walaupun begitu, hujan tetap sama. Ada yang hilang tiap satu babak ke babak berikutnya. Seperti musim ini, hujan tak pernah penuh dan tak pernah benar-benar mengunjungi hidup yang kerontang.

Telah lama musim-musim memberat. Kemarau membakar segala sesuatu yang ada. Bahkan kehidupan telah menjadi begitu angkuh memperlakukan keadaan. Bahkan kehidupan kami telah kehilangan aksara dan tanda baca. Kami kehilangan banyak hal.

Hampir sepanjang malam kami tak pernah bisa tidur tenang. Sesaat terbangun hanya untuk memastikan keadaan. Suara riuh langkah kaki, suara malam hari yang berisik oleh teriakan-teriakan kecaman dari orang-orang yang bukan berasal dari tempat kami. Membuat kami kehilangan harapan. Hidup kami kerontang.

Ketika pagi datang, kami melihat rumah masing-masing. Kami selalu waspada, sebab beberapa kali rumah saudara kami dibakar dan dirubuhkan. Beberapa kali tersiar kabar yang melukai telinga kami. Ketakutan telah membungkus harihari kami yang penuh pertanyaan.

Beduk pun di tempat kami tak lagi bertalu. Kami ketakutan untuk menyalakan beduk kami. Kami kehilangan nyali untuk memeluk agama kami. Sebenarnya apa yang salah dengan agama kami, sehingga orang-orang itu tak hentinya membuat kerusuhan di tempat kami. Bukankah mereka juga memiliki Tuhan, bukankah mereka juga membaca doa-doa? Sama seperti kami. Kami bukan tak beragama, kami bukan tak memiliki Tuhan. Kami beragama dan bertuhan!

“Entah siapa yang memulainya, yang aku tahu semua berjalan begitu cepat. Rumah-rumah dibakar, termasuk rumah yang kutinggali. Masjid yang berdiri megah di persimpangan jalan itu juga ingin dirobohkan.”

Baca juga  Raksasa dan Sebatang Pohon dalam Kepalaku

“Maksudku…”

“Aku telah kehilangan semua. Kehidupan juga Istriku.”

“Di zaman serba kemarau ini, semua mudah terjadi. Bukankah seharusnya kian banyak tempat ibadah. Orang-orang akan lebih damai?”

***

Hujan yang terlambat datang mengepung sekitar pemakaman. Aku pun tak pernah tahu. Hujan yang datang musim ini adalah hujan yang akan mengakhiri semuanya. Mengakhiri tangis dan keresahan hidup yang kerontang.

Aku masih menunggu hujan yang akan menyelamatkan kisahku dan kisah-kisah yang lain di tempatku.

“Saat itu, istriku meronta-ronta. Malam yang panjang, aku kehilangan semuanya. Orang-orang mendatangi rumah kami dengan parang, obor dan beberapa batang kayu di tangan. Kami sangat ketakutan.”

“Di luar dugaanku waktu itu, dan mungkin juga dugaanmu. Dari dalam jendela rumah aku melihat, mereka beramai-ramai membakar rumah kami. Aku selamat, anakku selamat. Tapi istriku terjebak di tempat.”

Hujan pun membisu. Aku pun membisu. Udara kian bergetar. Hatiku bergetar.  Dingin masih menyentuh kulit-kulit pepohonan. Hujan terhenti. Kisahku pun terhenti. Musim-musim yang memberat dan kerontang terus berlangsung. Entah sampai kapan.

 

Jejak Imaji, 2019

Angga T Sanjaya. Alumni Universitas Ahmad Dahlan ini lahir di Wonosari, Gunungkidul pada 7 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana UNY. Mengajar di SMP Muhammadiyah 1 Gamping. Kini tinggal di Yogyakarta. Bergiat di komunitas  “Jejak Imaji”.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!