Cerpen, Joni Hendri, Tanjungpinang Pos

Dukun yang Selamat

0
(0)

Cerpen Joni Hendri (Tanjungpinang Pos, 08 Maret 2020)

Dukun yang Selamat ilustrasi Pur Purwanto-Tanjungpinang Pos (1)

Dukun yang Selamat ilustrasi Pur Purwanto/Tanjungpinang Pos 

Angin kecang berhenti, saat waktu yang tepat. Tatapan matanya mulai kembali pulih. Ada benda-benda yang berbunyi seperti zikir keluar dari mulut yang sudah mulai renta, mengiringi kesunyian yang begitu menyeluruh. Sementara suara itu adalah mantra orang tua-tua pesisir. Matahari mengintip sedikit-sedikit, saat pagi mulai menjemput malam. Burung-burung pagi mulai berkicau memecahkan embun di atas daun yang basah. Kokok ayam jantan memekik menusuk ke telinga para orang yang berselubung.

Nenek Sari berkomat-kamit sejak malam hingga sampai pagi, membaca yang entah apa yang dibaca. Memang sulit untuk memahami bacaannya, sedangkan cucunya terbujur kaku pingsan tak sadarkan diri saat pulang mandi di sungai. Nenek Sari terus membaca mantra hingga lupa bahwa hari sudah pagi. Sedikit pun ia tak mendengar azan di kampung itu, sunyi selalu menyelimuti pagi. Hanya burung-burung berteriak tidak menentu tujuannya. Kerudung di kepala melorot, menutup mata. Tangis basahkan seluruh muka, ia mengelap dan menepis air mata yang jatuh.

Pak Itam lewat di samping rumahnya, berhenti mendengar Nenek Sari membaca mantra. Dia heran, dengan kata-kata yang keluar dari mulut Nenek Sari. Pak Itam mendengar dengan sangat dekat, menempelkan telinganya di dinding rumah itu. Sebab, selama ini hal itu tidak pernah terdengar setiap lewat di samping rumah Nenek Sari.

Jarak antara rumah dan jalan di kampung itu sangat dekat. Hanya beberape meter besarnya, jalan yang sudah rusak. Pemerintah setempat tidak pernah memperhatikan kampung itu. Padahal putra daerah kampung itu sudah banyak yang menjadi anggota DPRD.

“Ini bukan kata-kata biasa yang keluar dari mulut Nenek Sari. Sepertinya ini kata-kata mantra. Apakah dia sedang membaca mantra untuk mengobati? Tapi, mengobati siapa ya. selama ini memang tidak pernah terdengar. Bahwa dia seorang dukun. Ini aneh!” Bisik hati Pak Itam dengat keheranan. Sambil mencari lubang dinding rumah panggung tersebut.

Memang Nenek Sari tidak pernah memperlihatkan kedukunannya kepada orang banyak. Karena ia takut apabila ada sesuatu bala yang terjadi, pasti orang kampung akan menuduh dia. Selama ini sudah hampir tujuh dukun yang hidup di kampung itu tertuduh dan dibunuh oleh orang kampung. Mereka menganggap hadirnya seorang dukun di kampung akan menimbulkan banyak petaka. Dan paling takutnya ladang padi tidak mau berbuah. Orang kampung menganggap kalau banyak dukun akan menyebabkan padi tidak akan berbuah, atau berbuah hampa. Kalau pun berbuah, burung-burung pipit akan memakannya.

Baca juga  Hikayat Emak Pepot yang Berjalan Kaki Puluhan Kilometer untuk Menunaikan Sebuah Janji

***

Sore sudah menjemput senja yang merah, dan air mata darah pada langit mulai terlihat gelap yaitu malam yang sebentar lagi akan datang.  Wak Atan menyempatkan diri untuk melihat ladang padinya. Tiba-tiba ia heran beserta menahan amarahnya kepada burung dan nasib sendiri. Saat melihat buah padi hampa. Dan burung pipit pemakan padi, banyak sekali datang ke tempat ladang sekitar kampung itu, tak terhitung banyaknya. Ia memperhatikan arah burung itu terbang. Burung-burung itu pulang ke tepian sungai dan tidur di pohon kayu bakau. Orang kampung menyebutnya burung pipit, apabila ia sudah datang langit akan hitam. Hal itu menjadi tanda tanya, yang besar dalam hati masing-masing pemilik ladang padi.

“Ini perisitiwa yang sudah lama tidak kembali ke kampung ini.” Ujar Wak Atan dalam hati sambil mengusir burung yang tersisa.

Peristiwan ini sudah tujuh tahun tidak ada, setelah dibunuhnya dukun yang ketujuh. Tapi hari ini kembali lagi dan warga mulai gelisah, mencari-cari ke sana kemari. Lalu memeriksa setiap rumah yang ada orang tua berdiam di rumah tersebut. Memang kecurigaan mengarah ke orang tua, sebab anak-anak atau remaja tidak meyakini hal itu dan tidak mau terlibat dalam masalah.

***

Langkah kaki menyimpan makna yang dalam, sedangkan bunyi jalan sedikit-sedikit mengikuti rentak serta ayun tangan serupa tarian zapin  di atas panggung. Pak Itam lansung pergi ke ladang melihat padi, seandainya padinya berbuah hampa dan burung pipit banyak, tidak salah lagi. Nenek Sari akan dijadikan masalah oleh orang kampung, dan mereka akan membunuhnya untuk dukun yang kedelapan. Setelah melihat, memang jelas bahwa tanda-tanda itu telah terjadi, kemudian terlihat orang-orang kampung mulai sibuk dengan semua itu. Pak Itam hanya diam karena ia menyimpan kasih sayang terhadap Nenek Sari tersebut. Dia berkeyakinan bahwa peristiwa itu bukanlah disebabkan oleh perkara dukun. Melainkan musim yang tidak tepat untuk bercocok tanam, kemudian doa kepada Allah yang kurang.

Baca juga  Emak (2)

Di kampung itu orang-orang mempercayai benda-benda tahayul, atau hal-hal mitos. Sangat kuat diyakini oleh masyarakat setempat. Hanya saja anak-anak, remaja atau yang sudah Sekolah di kota tidak mempercayainya. Karena meraka sudah memahami tentang Agama Islam yang ia anut sejak usia dini, lalu mendalami ilmu itu di luar kampung tersebut. Memang di kampung, mereka sudah lama memeluk Agama Islam. Akan tetapi masih melanggar norma-norma atau ketentuan yang sudah ditetapkan dalam hadist. Dan bisa dikatakn syirik dalam menanggapi sesuatu yang bukan ketentuannya.

***

Saat pulang ke rumah, di persimpangan akhirnya Pak Itam dan Wak Atan bertemu tanpa ada perjanjian.

“Dari mana dan hampir malam baru pulang?”  Wak Atan bertanya.

“Melihat ladang.” Pak Itam menjawab dengan singkat dan berhati-hati.

“Bagaimana keadaannya? Tidak berbuah hampa?”

“Iya Itu masalahnya.”

“Jangan pikir panjang, malam nanti kita cari orang tua-tua di kampung ini. pasti ada dukun yang kedelapan, maka kita sial tahun ini.” Wak Atan berbicara agak sedikti geram. Matanya liar melirik ke sekeliling, antara semak-semak yang lebat, tumbuh membungkus akar-akar pohon yang tinggal satu-satu.

Pak Itam tidak melanjutkan pembicaraan rasa cemas mulai mengancam dirinya, ia lansung pulang ke rumah untuk menunaikan ibadah dan bersiap-siap untuk bertamu ke rumah Nenek Sari, agar bisa menyelamatkan orang tua tersebut. Untuk melindungi Nenek Sari dari orang kampung.

***

Nenek Sari mengusapkan air ke muka cucunya, dengan bacaan mantra melalui suara yang pelan hampir berbisik-bisik. Tiba-tiba ada ketukkan pintu rumah. Ia mendengarkan suara itu, lalu melangkahkan kakinya dengan pelan-pelan dan lansung membuka pintu tanpa sedikit pun rasa takut. Ternyata yang mengetuk pintu dan bertamu itu adalah Pak Itam lelaki yang sering melewati rumahnya.

Baca juga  Selembut Angin Siang

Raut wajah Pak Itam sangat terlihat cemas, tapi Nenek Sari tidak bertanya apa-apa karena Pak Itam lansung melontarkan kalimat pertanyaan kepadanya.

“Bagaimana keadaan cucunya Nek?” Pak Itam lansung bertanya tanpa ada basabasi.

“Belum, kelihatannya sangat parah dan harapan pun serasa tipis di hati.” Jawab Nenek Sari dengan mengiba.

“Kalau begitu malam ini juga kita berangkat ke Tanjung Balai, untuk berobat di sana. Dan kenderaan sudah saya siapkan untuk keberangkatan.” Kata Pak Itam tanpa ia menyebut peristiwa yang sebenarnya, yang akan terjadi pada diri Nenek Sari. Hujan turun tanpa diundang malam itu, namun mereka tidak menjadikan halangan. Berpayungkan daun pisang sesuatu perjuangan Nenek Sari dan Pak Itam. Cucu yang digendongnya masih tidak sadarkan diri. Puskesmas terdekat pun memang sama sekali tidak ada untuk tempat berobat.

“Perjuangan ini semoga menjadi amal nantinya.” Dalam hati Pak Itam berkata.

Basah badan tidak terasa, pelupuk matanya memancarkan cahaya kesedihan melihat Nenek Sari. Terasa kian membekukan dalam kedinginan, dan Nenek Sari tidak tahu hal yang menimpanya kalau Pak Itam tidak membawanya keluar dari kampung. Hal yang memang sulit untuk dijadikan sebagai pedoman hidup atau pengalaman. Sedangkan harapan untuk sehat mesti harus menjadi paling utama dalam kehidupan.

“Selamat sudah. Dukun yang kedelapan.” Ujar Pak Itam tanpa disengaja, sambil menatap cucu Nenek Sari yang terbujur. Menatap arah langit. Langit yang dihiasi oleh awan hitam gelap tidak bercahaya.

 

Penyalai, Desember 2019

 

Cacatan:

Bala: sesuatu musibah yang akan menimpa.

Pak Itam: panggilan untuk orang berkulit hitam.

Tanjung Balai: salah satu kota yang ada di daerah Kabupaten Karimun. Kepulauan Riau.

 

Joni Hendri, kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Pelalawan. Alumnus AKMR Jurusan Teater. Bergiat di Rumah kreatif Suku Seni Riau. Sekarang menjadi Mahasiswa FIB UNILAK Jurusan Sastra Indonesia.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!