Cerpen Eko Setyawan (Bangka Pos, 30 Juni 2019)
Angin berdesir merambat ke tubuhku. Seperti ada tiupan di leher dan tanganku. Semula hanya seperti embusan angin biasa, tapi setelah kurasakan, tiupannya begitu dingin dan cepat menyebar ke seluruh tubuh. Tak biasanya angin sedingin ini masuk ke dapur. Semua pintu tertutup dan jendela juga tak bergerak. Tak ada yang bisa dilalui angin seperti ini meskipun lewat celah sekecil apa pun. Tak ada suara dari belakang rumah. Rumpun bambu tak melahirkan suara.
BIASANYA jika ada angin sedikit saja, maka suara gesekau daun, ranting, dan pohon bambu akan terdengar sampai sini. Seperti suara kursi reot atau suara decit yang menggelikan. Terlebih di tengah malam begini. Pasti gesekan kecil pun akan sampai sini suaranya.
Mas Orus—suamiku—menatapku dengan tatapan yang bisa kutebak. Ia juga merasakan hal yang sama Tapi tidak mengatakan secara langsung karena dia tahu bahwa anakku—Erika—sedang ketakutan. Ia tak ingin mengatakan apa yang dirasakannya agar tidak diketahui Erika. Sehingga ia memberi isyarat. Aku mengangguk ketika Mas Orus menatapku sebagai ganti jawaban iya.
Sembari memegang sapu dan mengamati setiap sudut dapur, ia berusaha meyakinkan Erika bahwa memang tak ada yang perlu ditakutkan. Semua itu dilakukan agar tak ada ketakutan pada diri Erika sehingga ia tidak terlalu gelisah. Dengan demikian, kami bisa melanjutkan tidur dengan tenang meskipun dalam hati, sebenarnya aku begitu gelisah.
Aku percaya dengan apa yang dikatakan Erika ketika sebelumnya ia bergitu tergesa mendatangi kamar dan mengetuk pintu dengan terburu-buru. Katanya ada suara dari dapur dan itulah yang mengantar kami bertiga sampai di sini. Aku ikut memandangi sekeliling. Tak ada apa-apa selain hawa dingin yang bertiup beberapa saat. Sebenarnya aku takut jika ada maling atau orang yang ingin berbuat jahat masuk melalui dapur. Tapi tak kujumpai apa-apa. Semua perabotan juga masih pada tempatnya.
Tapi mana mungkin Erika berani berbohong. Tidak mungkin. Ia tak pernah berbohong padaku. Ia selalu berkata jujur meski dalam pembicaraan sekecil apa pun. Sehingga bisa kupastikan, bahwa memang Erika benar-benar mendengar suara. Aku juga meyakini hal itu. Tapi tak kujumpai apa pun dengan nyala terang lampu yang menyebar ke segala penjuru dapur.
“Paling tadi suara tikus atau kucing,” kata Mas Orus menenangkan Erika dan diriku. Suaranya terdengar ragu. Terlebih setelah tatapan yang ia tujukan padaku sebelumnya.
Kenyataannya aku tak melihat ada barang yang berpindah, padahal jelas jika itu tikus apalagi kucing yang melintas pasti akan ada minimal perabot dapur ada yang jatuh dan berpindah tempat. Tapi semuanya masih ada di tempatnya. Aku hafal di mana tempat- tempat semua perabot dapur. Aku bisa mengingat dengan detail karena memang aku sendirilah yang menempatkan semua yang ada di sini. Memang tak ada yang berubah posisi. Aku berani bersumpah pada diriku sendiri.
Nyaliku ciut. Tapi demi rasa penasaranku teratasi, kuberanikan diri lagi untuk memandangi sekeliling. Ini kali kedua kami bertiga memasuki dapur dan tak menjumpai apa-apa. Tadi kami sudah ke sini, melihat dapur dan memang tak ada apa-apa. Lalu suamiku mengajak kembali ke kamar, aku setuju. Tetapi ketika aku sampai di tubir pintu kamar, kudengar suara gaduh seperti yang Erika katakan. Suara tapak kaki manusia. Suaranya sangat jelas terdengar.
Kali ini aku percaya sepenuhnya ada Erika. Aku percaya memang ia tak bisa berbohong dan tak akan pernah berbohong. Tidak bisa tidak, Mas Orus yang masih di belakangku langsung kembali ke dapur dan aku mengikutinya dari belakang bersama anakku. Serupa dejavu, ia kembali melakukan hal yang sama. Mengambil sapu yang tergantung di dekat pintu—mungkin akan digunakan sebagai senjata atau pelindung—lalu menyalakan lampu, dan mencari dari mana suara berasal.
Mas Orus bergerak lebih cepat. Berjalan setengah berlari ke dapur lalu mencari-cari apa yang sebenarnya terjadi. Tapi setelah sampai dapur dan mencari sumber suaranya, lagi-lagi tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Semuanya nihil. Hingga akhirnya angin yang dingin merasuk ke tubuhku kurasakan dan membangkitkan rasa takutku. Membangkitkan pula naluriku sebagai ibu. Aku memeluk Erika semakin erat. Aku tak ingin melepasnya saat ini.
Dadaku berdesir. Hawa di sini tiba-tiba berubah. Dingin sekali. Aku merasakan hawa dingin di sekujur tubuh yang sebelumnya diawali seperti tiupan angin di leher. Aku merasakan sebuah kehadiran ketika Mas Orus mengajak kembali ke kamar. Ia telah memastikan tak ada apa-apa di sini. Seperti semula, aku berjalan di depan bersama Erika dan ia di belakang.
Aku mulai membalikkan badan untuk segera kembali ke kamar. Tapi sebelumnya, kulirik ke arah kiri untuk memastikan memang tak ada apa-apa. Kusapukan pandangan ke arah kompor lalu memandangi panel dan wajan. Lalu ketika pandanganku ke rak piring, kulihat apa yang sebelumnya tak pernah kupikirkan. Astaga! Aku melihatnya. Kupelankan jalanku dan kupastikan ulang apa yang kulihat. Mas Orus masih di belakang. Erika sempat menoleh ke arah di mana aku memandang. Kurasa ia juga melihatnya, entah kalau suamiku. Sepertinya pandangannya tak menangkap itu karena masih saja memandangi atap dan sekeliling.
“Ibu,” kata Erika pelan dan terputus. Tubuhnya yang sebelumnya hangat seketika itu juga mulai dingin. Sedingin tubuhku.
Aku tahu maksudnya. Ia melihat kehadiran itu juga. Kugerakkan tanganku untuk menutup matanya dan mengarahkan mukanya ke depan agar ia tak melihatnya lagi. Aku tak ingin rasa takut nantinya akan diingat oleh Erika di hari-hari selanjutnya. Apakah itu sebuah keegoisan diriku sebagai ibu. Ah tentu tidak. Itu sangat tidak baik untuk kehidupannya nanti.
Akan tetapi, bukankah hal itu malah akan menjadi pembelajaran hidup yang berharga untuknya nanti. Memang benar. Itu adalah suatu pengalaman yang tak akan ia lupakan. Sebuah proses untuk mengetahui apa-apa yang tak diketahui orang lain. Pengalaman berharga dan semoga akan menjadikannya orang yang berpengetahuan lebih dari yang lain. Maka saat itu juga kuputuskan untuk melepaskan tanganku dari wajahnya.
Seperti apa yang kupikirkan sebelumnya, ia langsung menoleh ke arah ia yang lain. Aku kaget ketika ia tak mengalihkan pandangannya dari sana. Malah menatap lebih lekat. Tentu dalam keadaan ini aku hanya bisa membiarkannya. Karena sebelumnya, Erika begitu dekat dengan sosok yang hadir di sana—Mak Gejik.
Ya, Mak Gejik. Ia mati beberapa bulan lalu karena terjatuh di kamar mandi. Dari pembicaraan yang kudengar ketika orang-orang melayat, Mak Gejik terpeleset. Itu diyakini semua warga karena memang ia sulit dalam berjalan. Ketika berjalan, salah satu kakinya serupa menghujam bumi—maaf, jika boleh kukatakan, kakinya pengkor. Menghentak dan berjalan agak terhuyung. Setiap kali berjalan, ketika diamati dengan seksama, berjalan seperti menahan tubuhnya yang akan roboh. Tetapi dalam keadaan itu dan penuh kekurangan, Mak Gejik tak pernah bisa jika harus berdiam diri di rumah terus-menerus. Selalu ada yang ia lakukan terutama memilih untuk berjalan-jalan berkeliling desa.
Selama ini, yang kuketahui dari Mak Gejik adalah ia bekerja menganyam mendong untuk dijadikan tikar. Mendong didapatnya dari sekitaran sungai kecil atau kalen—bukan selokan—di bawah rumpun bambu. Tak jauh dari rumahku. Mendong ditanam di sana. Di lahan yang tak seberapa besar, bersama rerimbunan tanaman pandan, mendong tumbuh lebat di sana. Menjulang setinggi dada berwarna kehijauan. Tumbuhannya mirip dengan ilalang.
Biasanya, jika mengambil mendong, Mak Gejik ditemani Erika jika ia sudah pulang sekolah atau jika sedang libur. Erika senang jika diajak ke sana karena ia bisa bermain air dan sedikit lumpur. Tapi ia selalu pulang dalam keadaan bersih berkat dibersihkan oleh Mak Gejik. Ia pun membantu membawa mendong untuk dijemur di pinggir jalan dekat rumah kami.
Mendong yang sudah diambil akan dijemur hingga kering di bawah terik matahari untuk menghilangkan kandungan air yang ada. Lalu setelah kering, mendong akan ditumbuk hingga pipih. Penumbukannya pun tidak sembarangan. Karena jika saja salah sedikit saja mendong bisa rusak dan tidak bisa untuk dianyam. Erika acap kali menemani Mak Gejik menjemur mendong-mendong itu hingga sore. Setelahnya, ia bercerita padaku mengenai apa yang telah ia lakukan seharian.
“Mak Gejik baik ya, Bu,” kata Erika suatu kali. Hal itu ia katakan setelah Mak Gejik memberinya jajanan pasar. Katanya sehabis menjual tikar mendong di pasar.
Pergi ke pasar juga dilakukan Mak Gejik. Ia ke Pasar Gayamdompo yang tak jauh dari desa untuk menjual tikar mendongnya. Ada di desa seberang. Hanya perlu berjalan kaki sekitar sepuluh menit jika dilakukan orang normal, entah kalau Mak Gejik yang melakukannya. Kukira lebih. Mak Gejik berjalan ke barat ketika pagi hari. Aku dan Erika sering berpapasan ketika aku mengantar Erika ke sekolah. Berangkat pagi-pagi dengan cara berjalan yang sama, seperti sedang menggendong matahari di punggungnya.
Tikar mendong Mak Gejik masih banyak diminati sekalipun sekarang banyak tikar- tikar yang terbuat dari plastik maupun kain. Tikar mendong memiliki bau yang khas. Harum dan membuat kerasan ketika kita rebah di sana. Selain itu, tikarnya juga dingin. Nyaman sekali ketika dipakai. Berbeda dengan tikar buatan pabrik. Aku punya beberapa potong di rumah. Kubeli juga dari Mak Gejik.
Hal itulah yang membuat Mak Gejik masih membuat tikar mendong hingga sekarang. Bukankah demikian? Ia masih mengupayakan membuat tikar mendong karena tikar-tikarnya masih laku dan berarti ia bisa masih dapat uang. Entah kenapa ia masih melakukan hal itu, padahal anaknya juga tinggal tak jauh dari rumahnya. Masih satu desa denganku. Tetapi Mak Gejik tak mau ikut tinggal di rumah anaknya. Ia memilih tinggal di rumah yang sudah tua tak jauh dari rumahku.
Kedekatan itulah yang mungkin membuat Erika merasa tidak takut dengan kehadiran Mak Gejik di sini. Bukan Mak Gejik yang dulu melainkan kehadiran ia yang lain di dapur kami. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang dilakukan arwah atau hantu atau jin atau ah apa pun itu di kehidupan manusia yang hidup? Apa mungkin Mak Gejik ‘yang lain’ ingin menyampaikan sesuatu padaku. Ah, tentu saja bukan padaku, melainkan pada Erika yang sering menemani kesehariannya dulu sewaktu masih hidup.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku memandangnya dengan nanar lantas mengalihkan pandanganku pada Erika. Ia masih saja menatap ke arah yang sama. Tetapi itu tak bertahan lama ketika Mas Orus mengajak kami untuk segera ke kamar. Tidak ada apa-apa katanya. Kupikir memang ia tidak melihatnya. Tapi dalam kepala berjubel pertanyaan: apa tujuan dari kunjungan Mak Gejik ‘yang lain’ ke sini? (*)
Leave a Reply