Cerpen Achmad Taufik Budi Kusumah (Solopos, 29 Maret 2020)
Sudah tiga bulan ini saya dipindahtugaskan ke Solo. Setelah promosi jabatan menjadi Kepala Divisi SDM di sebuah perusahaan. Seorang kawan baru satu kantor mengajak saya menonton pertunjukan seni wayang orang. “Pukul delapan malam mulai, di Taman Sriwedari. Datanglah!” katanya sembari menyodorkan sebuah tiket.
Sabtu sore saya berangkat bersepeda menyusuri di kota ini. Saya lahir, tumbuh dan besar di Kalimantan. Semenjak kecil terbiasa bersepeda ke mana saja. Puluhan bahkan ratusan kilometer biasa saya tempuh bersepeda.
Sengaja berangkat sedari sore. Ingin sekalian mencari beberapa buku di deretan kios buku di belakang Taman Sriwedari. Senja belum mulai. Dan mata saya terhenti pada sebuah lukisan di samping jalan. Di deretan pedagang pigura dan lukisan itulah saya tercekat. Ada wajah dari masa lalu. Tapi saya tak yakin itu dia. Saya berjalan goyah. Sepeda saya biarkan tergeletak. Saya dekati wajah dalam lukisan itu. Wajah oval dan mata yang bening. Rambut diikat kuncir kuda. Bibir yang tertahan seolah hendak tertawa. Kulit wajah khas anak keturunan Dayak.
Dada ini rasanya meledak. Mata seperti beku salju dan mulut tak henti menyebut ampunan Tuhan. Ya, wajah itu. Wajah yang tak akan sanggup saya lupakan. Wajah anak perempuan sebelas tahun, adik saya sendiri.
“Mau beli pigura? Lukisan, Mas?” tanya seorang lelaki. Saya terduduk di lantai semen. Segala bayangan di masa lalu menimpa saya. Berat menahan.
“Mas, sakit ya? Kenapa, Mas? Kenapa?” tanya lelaki itu.
“Sudah istirahat dulu, Mas. Ini minum dulu,” katanya menyodorkan segelas air putih.
“Kalau kurang sehat jangan bersepeda dulu!”
“Lukisan itu!” kata saya sambil mengatur napas.
“Siapa pelukisnya?” lanjut saya bertanya.
“Pelukisnya seorang pemuda. Dititipkan di sini untuk dijual,” lelaki itu menerangkan.
“Tulisan itu apa maksudnya?” tanya saya menunjuk sebuah tulisan di bawah lukisan: HARGA = 10 HEKTAR TANAH.
“Eeehm, he..he!” lelaki itu menahan tawa.
“Entahlah apa maksud pelukis muda itu. Tapi begini, 10 tahun yang lalu seorang pemuda menitipkan lukisan ini kepadaku. Dia bilang harganya senilai 10 hektare tanah. Sambil memberi uang Rp1 juta. Dia bilang uang itu sebagai uang sewa display. Semenjak itu kiosku lebih laris dari sebelumnya, Mas. Banyak juga yang menanyakan tentang lukisan ini. Bahkan sudah ada yang mau membayarnya dengan harga 10 hektare tanah di Klaten, tapi tidak kuberikan,” terang lelaki itu panjang lebar.
“Kenapa? Kan sudah sesuai dengan permintaan pelukisnya?” tanya saya tak percaya.
“Inilah, Mas! Bodohnya aku kalau jadi orang mata duitan,” kata lelaki itu seolah meratapi dosa-dosanya.
“Waktu itu kondisiku baru memulai kios ini, lagi butuh-butuhnya duit. Begitu nerima duit satu juta, kubiarkan saja lukisan ini. Tanpa minta identitas atau sesuatu yang bisa dihubungi. Aku berpikir si empunya lukisan akan sering datang ke sini. Ternyata sepuluh tahun berlalu ia tak datang lagi.”
Saya masih duduk selonjor memahami segala keganjilan ini. Bersama lelaki pedagang sekaligus pelukis ini yang lalu juga selonjor menghadap saya.
“Kalau aku seorang mata duitan pasti sudah kulepas lukisan itu. Sudah ada harga yang pas. Kalau toh si pelukis tidak kunjung datang aku bisa menyewakan tanah yang sepuluh hektare itu. Lalu uang sewanya bisa kupakai. Tapi tidak. Aku merasa harus menemukan pelukis itu dulu. Lagi pula entah kenapa lukisan itu sudah banyak mendatangkan kesenangan bagiku. Kios ini adalah yang paling laris di antara deretan kios di sini.” katanya.
“Mungkin Mas kenal dengan pelukisnya?” tanya lelaki itu me nyadarkan saya.
“Ehh, tidak, tidak, saya tidak kenal.” Ingin rasanya saya mengatakan anak perempuan dalam lukisan itu adalah mendiang adik saya. Tapi saya malah memilih mengeluarkan ponsel kamera.
“Boleh saya foto lukisannya?” Lelaki itu mengangguk.
“Terima kasih sudah menolong saya, juga minumnya,” kata saya sembari mengulurkan beberapa lembar uang. Lelaki itu menyorongkan kembali uang itu dengan kedua telapak tangannya. Lelaki yang tidak terikat oleh uang. Saya mengangguk terima kasih lalu bersepeda kembali. Melewati deretan kios penjual buku, namun kehilangan niat untuk membeli buku yang tadinya sudah saya rencanakan. Masuk dari pintu belakang Taman Sriwedari. Di gedung pertunjukan wayang orang beberapa orang terlihat sibuk keluar masuk. Mungkin persiapan untuk pertunjukan nanti malam.
Saya berpindah ke Joglo Sriwedari. Beberapa anak sedang latihan menari. Saya memarkir sepeda lalu memilih duduk bersandar pada salah satu tiang joglo. Saya memperhatikan kesungguhan anak-anak itu berlatih. Namun pikiran kembali pada bayangan mendiang adik. Saya ambil minum dalam tas. Lalu menyandarkan punggung dan kepala pada tiang. Sembari menenangkan hati, meredakan pikiran.
Waktu itu usianya 11 tahun. Sedangkan saya beberapa bulan lagi akan selesai SMA. Keluarga kami keluarga melarat. Bapak merantau ke Malaysia dan ibu bekerja menggarap kebun sendiri. Tibatiba adik perempuan saya demam tinggi. Dua hari kemudian dengan bersepeda, saya membawanya ke puskesmas kecamatan. Beberapa puluh kilometer jauhnya. Saya ikat badannya dengan badan saya menggunakan selendang. Kakinya saya ikatkan pada rangka sepeda supaya aman dari jeruji roda. Meski perjalanan begitu jauh, sekalipun saya tidak berhenti untuk istirahat. Kepanikan membuat tenaga saya macam kuda. Mengayuh dan terus mengayuh.
“Abang tidak lelah? Berhentilah saja dulu,” kata adik saya. Mungkin badannya ikut basah karena keringat yang membanjir di punggung saya. Dalam hati saya mengumpat karena tak memiliki motor waktu itu. Saya pindahkan tas cangklong yang tadinya di muka sepeda ke belakang punggung.
“Sudah, begini kau tak akan basah lagi, dik!” kata saya menenangkannya. Adik saya diam tak berjawab.
Saya makin memburu kesetanan. Sebenarnya ada uang tabungan yang cukup untuk membeli motor. Tapi bapak berpesan itu adalah ongkos buat kuliah saya nanti di Malaysia. Tidak ibu, tidak adik, tidak saya berani mengutak-atik uang itu. Sesampainya di puskesmas adik saya langsung diperiksa. Diminta untuk rawat inap, kena malaria katanya. Adik saya tinggal dan pulang menjemput ibu. Biar ibu yang menunggui, pasti butuh beberapa hari untuk sembuh, sedangkan saya harus bersiap menghadapi ujian akhir.
Tak lama berselang, ujian akhir sudah selesai, tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Adik pun sudah membaik dan boleh dibawa pulang.
Kabar kelulusan dan pulangnya adik yang sudah membaik membuat bapak mengurungkan kepulangannya. Tiba-tiba adik demam lagi. Disertai muntah-muntah beberapa kali. Apa malaria dapat kambuh? Saya tak mengerti waktu itu. Saya bawa kembali adik ke puskesmas kecamatan. Waktu itu senja seperti saat ini. Badannya kembali saya ikat dengan badan saya sedangkan kakinya juga saya ikat pada krangka sepeda. Sejak dari rumah sudah saya bawa selendang untuk membatasi punggung agar keringat saya tidak membasahi badan adik.
“Abang berhenti! Abang!” saya terus saja mengayuh.
“Abang berhenti! Abang!” saya akhirnya berhenti. Adik saya tidak suka mengeluh seperti ini. Dia anak yang tegar. Saya buka ikatan di kakinya dan saya gendong ke tepian jalan. Dia menggigil. Badannya dingin pucat. Dan senja sebentar lagi usai. Dalam gelap perjalanan akan semakin sulit. Kurengkuh kembali badannya hendak kubawa melanjutkan perjalanan. Tapi ia menolak. “Abang!” katanya lirih. Kudekap badannya dan entah kenapa air mata membanjiri melebihi keringatku. Dalam tersedu-sedu kurasai malam telah datang dan adikku telah pulang menemui Tuhan untuk selama-lamanya.
Meledak sudah dadaku dan kurasai tanganku basah air mata. Hingga sebuah suara datang “Om, bangun! Bangun! Air minumnya tumpah tuh!” seorang gadis kecil membangunkanku dari mimpi masa lalu. Kulihat di sekitar joglo orang-orang sudah beranjak pulang.
“Terima kasih,” seruku pada gadis kecil itu. Ia balas dengan anggukan dan beranjak pulang. Dari belakang rambutnya yang diikat kuncir kuda mengingatkanku kembali kepada seseorang. Demi dia akan kukayuh ribuan kilometer sepedaku.
*Guru SDN Kadirejo, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten.
Leave a Reply