Cerpen Raudal Tanjung Banua (Radar Selatan, 04 Maret 2019)
Di kampungku, toa masjid dan mushala tak hanya mengumandangkan suara azan, lima waktu sehari-semalam memanggilmu. Tapi juga mengumumkan kerja bakti, slametan, tahlil, hingga yang paling mendebarkan: berita lelayu atau kematian!
“Innalillahi wainnailahirajioun…telah meninggal dunia bapak Fulan warga RT 02, tadi malam di rumah sakit Senopati. Dimakamkan nanti bakda lohor,” itu sebagai misal. Diucapkan Pakde Jamil, marbot masjid kami yang setia, suaranya datar nyaris dingin, saking seringnya ia mengabarkan kematian.
Kampung kami terletak di perbukitan, berderet-deret bukit, kecil dan besar, yang tebingnya layah dan yang curam. Karena itu, kami sangat terbantu dengan suara toa yang bergema di tebing-tebing dan menyusup ke balik rimbunan jati, sengon dan mahoni, tempat rumah-rumah kami yang sederhana berada.
Kami selalu pasang telinga baik-baik apabila mendengar pancaran suara toa di luar waktu azan. Sebab pastilah ada sesuatu, dan dada akan berdebar jika ternyata berita kematian. Anehnya, selalu kematian berurutan datangnya di kampung kami. Jika hari ini ada yang mati, maka besok atau lusa, atau berjarak hanya tiga-empat hari, akan ada lagi yang menyusul pergi. Paling hanya beda RT atau pedukuhan. Kadang kubayangkan, Malaikat Maut merapel tugasnya, berputar-putar di langit dukuh menunggu giliran nyawa berikut yang dicabut.
Jika sudah mengumpulkan dua atau tiga nyawa, barulah Izrail kembali ke tempatnya. Kampung akan jeda dari berita kematian. Sampai berhari-hari, berpekan-pekan atau hitungan bulan. Untuk kemudian, kematian susul-menyusul lagi. Apakah karena si mati rata-rata seusia sehingga meninggal juga dalam waktu hampir bersamaan?
Mungkin juga. Sebab, biasanya yang meninggal dalam waktu berdekatan itu memang mbah-mbah, atau sosok berusia di atas 50 tahun. Namun tak jarang, di antara deretan usia tua, menyisip satu-dua nama yang muda, kadang anak-anak—membuat dada kami terasa sesak dan suara Pak Jamil pun terdengar serak.
Maka suara toa akan bergema, kadang seperti bersahut-sahutan, karena berita lelayu diumumkan bersamaan, dari masjid dan mushala yang berbeda. Baru saja marbot masjid di RT 03 menyebut nama orang yang meninggal beserta alamatnya, marbot mushala RT 02 segera menyebut Innalillahi…, dari mushala RT 01 terucap Assalamualaikum… begitu seterusnya. Kadang suara itu berdempet, seolah gelombang radio yang mendesis lewat di antara bukit-bukit.
***
Dulu sekali, sebelum pengeras suara nangkring di menara masjid atau atap mushala, kami biasa menggunakan kentongan untuk keperluan komunikasi. Kalau kentongan sudah dipukul, warga akan berkumpul di rumah Ketua RT atau sekalian jalan ke balai desa. Namun seiring makin padatnya rumah dan berkembangnya pemukiman, kentongan tinggal cerita. Hanya sesekali kami pakai sebagai pemanggil ronda.
Ada lima mushala dan satu masjid di kampung kami. Artinya hampir setiap RT punya sebuah mushala, sedangkan masjid terletak di RT 03 yang lokasinya gampang dijangkau dari seluruh penjuru kampung. Tapi perkara pengeras suara, cukup ditangani oleh Badali saja, salah seorang warga kami yang dikenal tekun berkebun ubi.
Jika ada pengeras suara rusak atau perlu distel, tanpa dipanggil pun Badali akan datang mengecek dan memperbaikinya. Ia bisa membedakan mana suara toa yang sehat, mana yang sakit. Tak ada yang tahu persis dari mana laki-laki berputra dua itu belajar seluk-beluk elektronik, wabiil khusus pengeras suara. Orang tahunya ia seorang petani. Ia juga tak membuka jasa service elektronik di rumahnya. Tapi memang ia punya keahlian mengutak-atik mesin vespa karena itu kendaraan kesukaannya. Apakah mesin vespa, toa dan mikrofon punya kesamaan?
Kadang ada yang iseng bilang bahwa Badali belajar kabel dari dalam tanah, menggunakan akar ubi-ubiannya. Ia hanya akan tersenyum jika sesekali mendengar guyonan itu. Bahkan kadang ia ikut meyakinkan bahwa umbian di dalam tanah sebenarnya juga mendengar azan dan pengajian yang dipancarkan suara toa. Begitu pula orang-orang yang terbaring di dalam kubur, bisa mendengar suara-suara di atas tanah, katanya.
“Mereka yang mendahului kita kadang kangen suasana kampung. Dengar orang azan, mengaji atau sholawatan, mereka bagai diguyur air yang sejuk,” kata Badali.
Meskipun ada satu-dua orang bilang,”Bukankah suara toa bikin bising?”
Badali hanya akan tersenyum, sambil mengingat sesuatu. Lalu ia akan berkata, seolah mengulang kaji lama,“Bising mana dibanding suara knalpot?”
Maka orang-orang akan tertawa. Semua teringat kenangan lama yang pernah menimpa Badali.
“Hahaha, jadi ingat suara vespa Mas Jahil,” kata seorang anak muda terpingkal-pingkal.
“Haha, memang jahil dia dulu,” kata Pardi Bongkol sambil mengenang.
Dulu, timbul keributan antara sebagian warga dengan Abu Jahil dan kawan-kawannya. Mereka senang membawa vespa tua yang dimodifikasi sedemikian rupa. Bukan soal modifikasinya, tapi knalpot dan mesinnya itu lho! Kayak meriam dan suara tembakan. Beberapa warga mengingatkan. Apalagi mereka sering lewat malam-malam saat kampung butuh ketenangan, atau saat azan bergema dari mushala. Namun Jahil memonyongkan mulut, menuding,”Tuh, suara azan yang samber diurus! Bikin sakit telinga.”
Marahlah warga. Rombongan itu nyaris diamuk jika saja Pardi Bongkol, orang yang disegani di kampung kami, tak cepat melerai. Pardi hanya bilang,”Sejak sekarang namamu kupanggil Abu Jahil. Nama aslimu aku tahu, tapi simpan saja untuk tobat.”
Tak berapa lama kemudian, Abu Jahil benar-benar tobat. Ia mulai menggarap lahan orang tuanya yang lama terlantar. Ditanaminya kacang-kacangan dan umbi-umbian. Semua tumbuh subur. Sebagai rasa syukur atas semuanya, hobinya mengutak-atik vespa kemudian ia salurkan untuk mengutak-atik mikrofon yang rusak!
Itulah awal-mula ia jadi tukang service bahkan tukang stel toa di setiap mushala dan masjid kampung. Atas pertobatannya itu, kami kembali memanggilnya dengan nama awalnya yang indah: Ahmad Badali.
***
“Tugas kita menyambung silaturahmi dengan suara-suara yang indah. Yang azan ya, mbok usahakan yang merdu, mikrofon yang soak, ya, disetel dulu,” suatu hari Badali bicara kepada kami.
“Termasuk memakai nama yang indah ya, Badali?” kata seseorang.
“Betul! Karena itu kubuang nama jahiliahku,” jawabnya tertawa.
Badali memegang baik perkataannya. Terbukti, jika ada suara toa yang mulai cempreng, ia akan datang ke tempat sumber suara. Ia bawa obeng dan peralatan lainnya, dan lalu dengan ringan tangan ia setel volume, bar, dan segala tanda dan kode yang ada pada mikrofon. Tak jarang ia harus naik ke atas atap untuk memperbaiki corong toanya.
Tapi sudah seminggu ini suara toa di masjid kami terdengar krosak-krosok, menyusul suara toa di mushala RT 04 yang terdengar kemerosok. Namun Badali belum juga datang memperbaiki. Bahkan saat Jumatan ia tak ada di antara kami. Akhirnya terdengar kabar, sudah sepekan ia terbaring sakit. Kami mendatanginya dan menawarkan untuk diantar ke rumah sakit. Ia menolak dengan halus.
“Sudah ndak apa-apa, sudah ringan, kok,” katanya. Tapi menjelang azar, siapa sangka, Badali terkabar meninggal dunia!
Para marbot segera berlomba mengu-mumkan kematiannya. Tapi sungguh di luar dugaan, tidak satu pun toa mengeluarkan suara! Apakah listrik lagi mati? Tidak. Semua aman-aman saja. Namun kenapa suara toa tetap tidak terdengar? Apa yang terjadi? Apakah toa-toa itu menyertai kepergian laki-laki yang selama ini setia merawatnya?
Tapi kami tak memerlukan jawaban dan pengumuman lagi. Kami berbaris datang ke rumah Badali, penuh keharuan.
Seperti mereka yang sudah lebih dulu berkubur, atau ubi-ubinya yang subur, tentu Badali akan merindukan suara-suara yang indah dari kami di bumi. Kami berjanji, toa-toa yang serentak mati itu akan kami cek dan perbaiki sendiri supaya tetap mengeluarkan suara-suara indah setelah Badali pergi. Semoga…
Lemahdadi Bantul, 2017/2018
Raudal Tanjung Banua, tinggal di Yogyakarta, mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia. Buku cerpennya yang terbaru Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai.
Leave a Reply