Cerpen Umi Salamah (Radar Selatan, 07 Januari 2019)
PADA tahun 2030, orang-orang yang hidup di masa dulu barangkali tak akan percaya kalau mereka dapat terbunuh oleh kesepian. Ada situasi di mana mereka akan mati kesepian, sendirian, membusuk, dan baru ditemukan setelah berhari-hari. Itu hal yang wajar terjadi pada tahun 2030.
Kehidupan pada tahun 2030 telah banyak berubah. Kejahatan seperti pembunuhan, perampokan, dan yang lainnya tak begitu diresahkan oleh orang-orang. Karena pada tahun itu, jalan-jalan raya, toko, dan rumah telah dipasangi kamera CCTV. Orang-orang tak lagi takut akan kejahatan semacam itu.
Seiring berganti zaman, maka berganti pula ancaman bagi manusia. Siapa yang menyangka, kesepian telah merebut posisi pertama dalam daftar ancaman kematian. Bahkan sampai menggusur terorisme.
Kesepian tak mengenal orang-orang yang tinggal di perkotaan atau pedesaan. Kesepian bagaikan virus baru yang kini sulit ditemukan penawarnya. Orang-orang di pedesaan yang notabene masih mempertahankan kearifan lokalnya berupa interaksi antara tetangga yang rutin pun, juga terserang virus kesepian. Pedesaan yang sekarang tak sama dengan pedesaan zaman dulu. Telah banyak berdiri rumah-rumah minimalis dengan penghuni yang jarang di rumah.
Di perkotaan, virus kesepian parah terjadi. Jika diibaratkan tubuh manusia, telah menyerang hampir semua anggota tubuh. Kepala, kaki, tangan, dan jantung yang menyebabkan lumpuh total. Orang-orang di perkotaan ini yang menyumbang angka terbesar ke dalam daftar kematian akibat kesepian.
Entah apa yang telah terjadi pada negeri ini. Pola sosial dan budaya mereka telah berubah drastis. Anak-anak muda sekarang tak begitu menginginkan nikah muda yang beberapa puluh tahun sebelumnya menjadi masalah kompleks tersendiri. Urusan pernikahan masuk ke dalam radar was-was yang tinggi bagi mereka.
Pola pikir anak-anak muda sekarang yang seperti ini terjadi akibat lapangan pekerjaan yang minim. Dunia kerja nyata ketatnya. Pernikahan dianggap sebagai batu sandungan terbesar bagi mereka. Terkadang orang yang menikah akan menurun produktivitasnya.
Kebanyakan didominasi oleh wanita. Wanita-wanita karir lebih banyak populasinya dibandingkan para lelaki. Cara berpikir mereka tak lagi dangkal. Jika mereka dapat melakukan apapun, mengikat dirinya dengan pernikahan dan hidup bergantung pada seorang lelaki sungguh memalukan.
Lelaki dan wanita sekarang menikah pun demi menjaga keturunan. Dan itu terjadi di usia mereka yang menginjak empat puluh tahun ke atas. Cukup punya satu anak, menitipkannya pada pengasuh bayi sampai masuk ke dunia sekolah, dan mereka kembali ke dunia kerja. Pola kehidupan ini yang sekarang terjadi.
Sudut-sudut rumah hanya terisi oleh lansia yang jarang tersentuh oleh interaksi. Di perkotaan, interaksi menjadi barang langka. Para lansia tinggal di dalam rumah atau apartement sendirian. Tak dapat disebut sendirian memang karena masih ada anggota keluarga yang lain. Tentu mereka masih muda dan memilih pada dunia kerjanya.
Salah satu dari sudut rumah itu, Ratri menjadi lansia yang amat kesepian. Dia tinggal di apartement bersama anak lelakinya. Satu-satunya anak yang dia punya. Sedangkan dia sama sekali belum memilik cucu karena anak lelakinya belum berniat menikah.
Ratri kerap merutuki keputusannya dulu, untuk memiliki satu anak saja. Dia pikir, satu anak sudah cukup dalam hidupnya. Pada saat itu, punya banyak anak malah menjadi masalah tersendiri. Perekonomian kala itu sangat kacau jika memiliki banyak anak. Kebutuhan pokok dan sekolah yang setiap saat berubah drastis, tentu jadi pertimbangan tersendiri untuk urusan anak.
Sejak suami Ratri meninggal dunia, yang kemudian uang asuransi meleleh lancar sangat disyukuri olehnya. Dia dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan membiayai kuliah anak lelakinya. Tapi itu sebelum virus kesepian menjangkitinya. Untuk seorang lansia seperti Ratri, kesepian jauh lebih berbahaya ketimbang penyakit jantung, ginjal dan diabetes.
“Ibu ingin mengadopsi anak,” pinta Ratri suatu pagi.
“Apakah Ibu yakin bisa mengurusnya?” tanya anak lelakinya.
Ratri tentu kalah dalam sekali perdebatan itu. Dia sudah lansia dan tak mungkin mengurus anak lagi. Kini dia-lah yang harus diurus. Tapi dia sendiri tak dapat bergantung pada anak lelakinya. Dia begitu sibuk dengan pekerjaannya sebagai pengacara. Ratri hanya bertemu dengannya di pagi hari, saat sarapan. Itu pun jika anak lelakinya tak terburu-buru dan memilih sarapan di kantin kantor. Interaksi yang terjalin di antara keduanya pun jarang terjadi. Anak lelakinya hanya rutin menyapa Ratri dengan sapaan selamat pagi. Interaksi yang terkesan asing.
“Kalau begitu, Ibu ingin mengadopsi anak kucing saja,” ucap Ratri gusar.
“Bulu kucing tak baik untuk pernapasan Ibu,” sanggah anak lelakinya lagi.
“Ibu tak memiliki riwayat penyakit pernapasan atau paru-paru. Jika kamu tak ingin membelikannya, Ibu akan membeli sendiri,” ujar Ratri tak terbantahkan.
“Baiklah. Pulang dari kantor aku akan membawa seekor kucing.”
Ratri tak cukup bahagia walaupun keinginannya untuk memelihara kucing terpenuhi. Dia meminta itu hanya untuk memancing anak lelakinya. Tentu dia berharap anak lelakinya tahu apa yang dia inginkan sebenarnya. Ratri hanya ingin dia lebih mengurusnya lagi. Misalnya di malam hari dia menyuapi Ratri saat makan malam. Atau mengajaknya keluar rumah untuk hiburan.
Sejak anak lelakinya membawa seekor kucing berjenis kelamin jantan ke apartement, Ratri melimpahkan segenap perhatian dan kasih sayangnya pada kucing itu. Kucing itu termasuk kucing biasa dengan bulunya yang berwarna putih. Kata anak lelakinya, kucing itu sudah berumur dua tahun.
“Sengaja aku membelikan kucing dewasa itu agar Ibu tak repot,” ujar anak lelakinya malam itu.
Mulai malam itu, Ratri memanggil kucing itu sebagai Candra. Nama dari anak lelakinya. Dia menganggap kucing itu pengganti anaknya. Mengajak kucing itu bicara layaknya seorang anak. Sungguh Ratri sangat merindukan mengobrol bersama anak lelakinya itu.
“Selama seminggu ke depan, aku akan pergi ke luar negeri. Pembantu akan mengurus keperluan Ibu di sini,” ucap anak lelakinya.
“Tidak usah. Ibu bisa mengurus diri sendiri. Ibu bisa memesan makanan di luar. Ibu juga sudah mahir menggunakan mesin cuci,” tolak Ratri.
Anak lelakinya pergi setelah menyetujui penolakan Ratri. Memang itu gaya bicara anak lelakinya. Hanya bicara seperlunya yang dirasa penting. Dan Ratri tak terlalu menanggapinya. Dia memilih asyik bermain dengan kucing peliharaannya yang kini tengah bermanja-manja dengannya.
Ketika anak lelaki Ratri kembali ke apartement, dia mencium bau tak sedap dari dalam. Hanya membuka pintunya saja, bau daging busuk menguar tajam. Sambil menutup hidung dengan sapu tangan, dia mencari sumber penyakit itu. Tapi dia hanya menemukan sosok ibunya yang duduk meringkuk di sofa. Tubuh ibunya memiliki tanda-tanda akan hancur. Lalat-lalat hijau mengitari tubuh itu. Di mana lalat-lalat itu terbang tak beraturan karena seekor kucing memburu mereka. Seakan tak ingin lalat-lalat itu menyentuh tubuh tak bergerak itu. Ratri dinyatakan meninggal dunia, sejak beberapa hari yang lalu.
Pada hari yang sama, sudut-sudut rumah memiliki cerita yang sama. Para lansia meninggal dunia sendirian. Dengan keadaan membusuk dan baru ditemukan beberapa hari kemudian. Pemerintah pusat menyatakan darurat kematian kesepian. Presiden membentuk lembaga khusus untuk mengatasi rasa kesepian.
Kebumen, 15 Agustus
Umi Salamah lahir di Kebumen, 21 April 1996. Menulis novel, cerpen, puisi, dan artikel. Karyanya termuat dalam berbagai antologi cerpen dan puisi dan di berbagai media cetak. Buku terbarunya Because You are My Star. Berguru dengan Ahmad Tohari.
Leave a Reply