Cerpen Kartika Catur Pelita (Minggu Pagi No 08 Tahun 73 Minggu IV Mei 2020)
DUA hari sebelum Lebaran, Wulan pulang dari merantau. Setelah 10 tahun dia pergi karena sebuah tragedi. Wulan pulang dalam keadaan tidak sehat. Ia membawa bayi berumur satu tahun yang diakuinya sebagai anak. Sehari berada di rumah orangtuanya Wulan jatuh sakit. Semalam demam hebat, sesak napas. Belum sempat dibawa ke rumah sakit Wulan telah mengembuskan napas.
Sontak kematian Wulan bikin geger warga desa. Asumsi timbul tersebab sedang wabah korona. Berita berembus dari mulut ke mulut, bahwa Wulan meninggal karena terpapar virus Covid 19. Warga desa tak ada yang berani mengurus jenazah Wulan. Kematian Wulan dikumandangkan pada Subuh. Asar menjelang, namun, kapan jenazah akan dimakamkan?
Mak Tumi termangu gugu memandangi jenazah anaknya. Ketika hendak memandikan jenazah, mengundang tetangga untuk membantu, mereka menolak. Para anak dan kerabat melarang.
“Ini beda dengan biasanya, Mak. Sekarang sedang musim wabah korona. Kalau Wulan sakit karena wabah itu bisa nular ke warga lain termasuk Mak.”
“Aku sudah ratusan kali memandikan jenazah. Beragam kondisi mayat yang tak wajar, terlebih karena kecelakaan. Aku sudah terbiasa. Namun, sekarang ketika aku ingin memandikan, mengurusi jenazah anakku mengapa datang bencana ini? Apakah ini kutukan? Apakah ini azab karena perbuatan terkutuk di masa lalu?”
“Mak, Mak tak usah mengungkit luka masa lalu. Jika Wulan pernah berbuat buruk, maafkan dia. Sembilan bulan Mak mengandung dia. Darah Mak mengalir dalam dirinya,” nasihat Tasroah, anak sulungnya. Perempuan yang sangat mirip rupa dan sifat dirinya.
“Ya, darah lebih kental dari air. Aku sudah mendidiknya baik-baik mengapa Wulan berlaku buruk. Kusuruh pakai baju malah pakai celana. Kusuruh berambut panjang malah rambutnya dipangkas dan diwarnai. Kusuruh memasak di dapur malah gita-gitaran dengan teman brengseknya. Kusuruh menyapu halaman, malah trek-trekkan. Kusuruh tidak pacaran, malah minggat dengan pacarnya. Setiap kali kusuruh ia melawan. Hanya pernah kusuruh sekali ia menuruti keinginanku. Sekarang Wulan tiba-tiba kembali. Belum sempat aku melihatnya….”
Tutur Mak tepotong ketika bayi yang dibawa Wulan, bocah montok berkulit putih menangis. Tasripah, adik Tasroah, buru-buru membopongnya. “Sudah, sudah, Nduk. Jangan menangis. Kau tidak sendiri. Di sini bersama Bulik, Paklik, Bude, Pakde, dan Mbah putrimu.”
“Siapa namanya, Pah?”
“Wulan memanggilnya Moy, Mak.”
“Wulan kemarin saat datang cerita apa saja?”
“Wulan hanya bilang sekarang bekerja di Riau jadi pembantu. Katanya pulang karena juragannya sakit wabah. Wulan bilang membawa anaknya agar tak tertular. Wulan mengeluh sakit, pusing, sesak napas, dan demam. Aku keroki. .Wulan menanyakan kabar Sabina. Aku bilang Sabina sekarang mondok di pesantren. Sabina cantik dan cerdas. Wulan kulihat tampak senang. Tapi tiba-tiba mengaduh kesakitan, dan….”
Mak Tumi saat itu sedang berada di desa sebelah gunung, membantu kelahiran cucu Si Bardah. Setiba di rumah hanya mendapati Wulan terbujur kaku. Tasroah, Tasripah, Juari dan Wasdi, kakak-kakak Wulan, terpekur sedih.
“Apakah Sabina sudah tahu yang sesungguhnya siapa ibu kandungnya, Mak? Mak tidak membuka rahasia? Daripada di belakang hari timbul penyesalan. Nanti Mak yang disalahkan karena tidak memberitahu.”
“Siapa yang harus tahu? Siapa yang harus menyesal?”
***
Hari Lebaran yang tak biasa. Karena wabah korona. Saat umat Muslim bersuka cita merayakan kemenangan, ia dan keluarganya merasakan kehilangan. Mak dan Tasroah terpekur di antara keramaian orang-orang yang ingin datang menengok Wulan. Padahal petugas dan perangkat desa sudah melarang orang-orang mendekat. Sebagian besar bandel. Menanyakan ini-itu. Mak dan Tasroah menjaga jenazah dari kejauhan.
“Kapan orang-orang Puskesmas datang mengurus, Tas?”
“Mereka sedang mempersiapkan segalanya, Mak. Bukan hanya memandikan, nanti juga sekaligus penguburan. Mereka semua mengurusnya.”
“Apakah orang-orang sudah menggali liang?”
“Sudah, Mak. Katanya nanti di sebelah makam Uwak Jipah.”
“Ya, tak apa-apa. Wak lebih sayang ke kita. Daripada ayahmu.”
“Seandainya makam ayah ada. Seandainya ayah tak hilang saat melaut.”
“Sudahlah….”
“Mak Tum, Lek Tas, orang-orang Puskesmas sudah datang….!”
***
PEMAKAMAN Wulan dilakukan secara prosedur penderita penyakit wabah. Meskipun Wulan belum dipastikan secara medis menderita penyakit apa. Namun, berita pun berkembang di medsos, termasuk berita online: seorang perantau meninggal karena korona!
Malam hari saat usai tahlilan, Mak Tumi mengajak Tasroah berbincang di belakang rumah. Tak jauh dari pantai. Ombak bermain lindap, ketika Mak berkaca-kaca memandang langit dan menepis malam. “Aku sudah lega, Tas. Tadi aku sudah mengatakan pada Sabina siapa ibu kandungnya. Sabina syok dan menangis. Bagaimana tidak. Sejak bayi ceprot aku yang memandikan. Kau saat itu belum menikah, mau merawat bayi merah. Aku yang menyusui, kuberikan pentilku tak keluar susu, kau berikan susu sapi. Kita mengasuhnya, menyuapi, memandikan, menceboki, meninabobokan. Merawatnya ketika sakit. Sekarang ia sudah anak dara. Semoga bisa menjaga dirinya. Bukan, bukan hanya menjaga, tapi bertemu orang baik. Tidak bernasib buruk seperti Wulan.”
“Tentu, aku pun berharap begitu. Aku janji akan menjaga Sabina seperti aku menjaga Euis. Apa bedanya keponakan dan anak kandung, Mak.”
“Ada satu rahasia lagi. Aku belum sanggup menjawab jika Sabina menanyakan siapa ayah kandungnya.”
“Apakah tadi Sabina menanyakannya, Mak?”
“Mungkin satu hari nanti.”
“Apa salahnya jika Sabina tahu siapa ayahnya, Mak. Sabina lahir dari nafsu anak muda.”
“Kau ingat hari itu saat Wulan disidang keluarga karena Wulan tertangkap basah di kebun berhubungan badan dengan pacarnya, seorang pemuda seberang?”
“Iya, Mak. Fatir namanya. Pemuda bertindik. Malam itu juga Fatir bertanda tangan, bertanggung jawab menikahi. Tapi esok harinya minggat. Dasar bangsat!”
“Tak ada guna mengumpat, Tas. Sehari setelah Fatir pergi aku memergoki Wulan melakukan perbuatan keji, yang sama. Kali ini di rumah kita. Saat itu kau sedang pergi kondangan ke rumah Sinok bersamaku. Kau ingat aku tak enak badan dan pulang duluan, kan. Aku memergoki Wulan dan ayahmu seperti binatang. Ia sudah memerkosa adikmu, Wulan sejak SD. Wulan memang berbuat dengan pacarnya, tapi binatang itu mengakui Wulan hamil karena dirinya. Aku seperti disengat listrik. Bukannya takut, bajingan itu malah hendak membunuhku, mencekikku. Aku melawan. Wulan kesetanan menusukkan pisau berulang kali, bajingan itu mampus. Aku dan Wulan membuang mayatnya di tengah laut. Pada orang kukabarkan berita bohong bahwa ayah kalian hilang bersama perahunya. Itulah yang sebenarnya, Tas.”
Tasroah mengatupkan rahang. Keras. Matanya memanas. “Mengapa Mak menceritakan pada Tas?”
“Mak tak ingin membawa rahasia ini ke kubur. Biar Mak yang menanggung dosanya. Bukan Wulan. Wulan hanya korban.”
***
SEHARI setelah pemakaman Wulan, datang sepasang suami istri yang mengaku sebagai majikan Wulan di Riau. Mereka mencari jejak atas penculikan yang dilakukan Wulan pada buah hati mereka.
“Mbak Wulan baru 3 bulan kerja di rumah kami. Orangnya rajin, baik, dan cantik. Kami percaya. Anak kami serahkan perawatannya karena setiap hari kami berdua bekerja. Tenyata Wulan menyalahgunakan kepercayaan kami.”
Atas nama keluarga Mak dan Tasroah meminta maaf. Kembali sang tamu menoreh cerita luka. “Saat mencari jejak Wulan kami malah bertemu orang-orang yang mengenal siapa Wulan. Teman-teman Wulan. Kabarnya Wulan memiliki suami yang memperalatnya. Wulan diajak menikah. Hamil beberapa kali. Setiap hamil bayinya dijual. Si suami pecandu narkoba. Wulan stres, depresi, menganggap bayi yang diasuhnya sebagai anaknya. Kasus yang kami alami ternyata bukan yang pertama kali dilakukan Wulan.”
Sepasang suami istri pamit pulang. Tasroah dan Mak mendatangi makam Wulan yang tanahnya masih memerah.
***
DUA hari kemudian Mak Tumi tiba-tiba meninggal dunia. Sebelum ajal menjemput Mak Tumi mengeluh demam dan sesak napas. Kabar pun berembus tentang orangtua yang meninggal gara-gara tertulari sang anak yang baru pulang dari merantau. Apalagi sebagian warga bersaksi telah melihat Mak Tumi mendatangi makam Wulan. Tasroah merasa badannya menggigil. ***
Kota Ukir, 11 Mei 2020
Kartika Catur Pelita, tinggal di Kurwasen Jepara.
Leave a Reply