Cerpen Artie Ahmad (Minggu Pagi No 14 Th 73 Minggu II Juli 2020)
“MENGAPA manusia harus bahagia?” ia bertanya sembari menatap cermin yang memantulkan wajahnya. Wajah wanita muda di ambang tiga puluh yang terlihat lelah dan begitu jemu menakar-nakar hidup.
Pertanyaannya masih mengawang-awang di langit-langit kamar mandi. Matanya yang buram tanpa kacamata memicing. Berkali-kali bibirnya bergetar, mengucapkan kembali pertanyaan itu selayaknya merapal mantra. Selama nyaris tiga puluh tahun hidupnya, semua manusia yang mengenalnya selalu menuntutnya untuk bahagia. Semua, bahkan ibunya pun meminta agar dirinya bahagia lantaran kerap menduga dia tak bahagia.
“Usiamu sudah sedemikian tua? Carilah kebahagiaan seperti orang-orang.”
Ia menatap perempuan enam puluh tahun itu dengan tatapan tak percaya. Setua apakah dia? Umurnya pun belum lagi tiga puluh tahun.
“Setua apa aku? Sampai ibu pun tampak cemas sekali,” dia menyuapkan nasi ke mulutnya dengan enggan.
“Teman-temanmu semuanya sudah menikah. Sudah punya anak dan memiliki keluarga yang bahagia,” ibu mengatakan itu sembari mengembuskan napas kesal.
“Apakah ibu bahagia saat memiliki keluarga utuh?”
Pertanyaan itu diucapkan teramat perlahan, namun di telinga ibunya setajam sembilu. Ini bukan kali pertama ia dan ibunya mempertentangkan menyoal kebahagiaan, keluarga dan masa depan. Tak ada obrolan lagi setelahnya. Mereka berdua saling diam, hanya benturan sendok dan piring saja yang memecah kesepian. Ibunya merasa jemu, ia sendiri merasa muak dengan obrolan malam ini.
Setelahnya, semalam suntuk ia mencari-cari jawaban tentang apa itu bahagia. Namun sampai penat dia memikirkannya, tak ada jawaban yang ditemuinya. Perlahan dia mulai menutup mata, mengingat apa itu bahagia dari sisi ibunya. Dulu, ibu memang terlihat bahagia. Masih lekat di kepalanya ketika ibu pulang bekerja dan mengabarkan bahwa ia naik jabatan. Menjadi seorang kepala cabang sebuah bank tentu prestasi yang demikian membanggakan. Ayah dengan bahagia memberikan selamat, tepukan tangan dan ciuman tanda kasih. Dirinya sendiri menghampiri ibu yang terlihat demikian berbunga-bunga. Setelahnya keadaan tak sebaik ketika kabar kenaikan jabatan itu pertama kali tiba. Ibu menjadi demikian sibuk, ayah yang hanya bekerja di pabrik pemintalan benang semakin terpuruk.
Pertengkaran keduanya dimulai di satu malam saat usianya bahkan belum genap sepuluh tahun. Ayah menggebrak meja, ibu membanting pintu. Ibu menghasilkan banyak gaji, ayah membawa kabar bahwa ia dipaksa berhenti. Pengurangan karyawan pabrik secara besar-besaran terjadi. Pertengkaran hebat lebih kerap pecah dan seakan siap membakar seisi rumah. Kebahagiaan tempo hari yang dirasakan tak bisa lagi diulang. Ayah memutuskan pergi dan urung kembali. Ibu tak pernah meminta lelaki itu datang lagi, sebuah surat gugatan cerai dia susulkan ke rumah nenek, tempat di mana ayah melarikan diri.
Ibu tak pernah menangis selepas perpisahan itu, dia selalu diam dan sibuk dengan segala macam pekerjaannya. Ibu tak pernah mengeluh kesepian. Ia tak pernah merasa harus mencari kawan hidup atau menemukan seorang lelaki lain untuk menggantikan posisi ayah. Ibu tak perlu seperti itu. Dia hanya lebih kerap diam, tenggelam di balik kertas-kertas laporan kantor. Tetapi sebagai anak, dirinya mengerti betapa ibu tak sebahagia dulu. Tawa dan senyum di bibirnya tak pernah terlihat lagi.
***
Selama beberapa waktu dirinya tak menemukan jawaban mengapa ibu mengharuskan dirinya bahagia, sedangkan ibu sendiri jauh dari sebuah kata yang selalu dijadikan paramater tujuan hidup. Orang-orang yang kerap memintanya bahagia pun tak sebahagia kelihatannya. Semisal seorang kawan kerjanya bernama Nancy, seorang perempuan berumur beberapa tahun di atasnya. Kata bahagia baginya tak ubahnya jargon hidup. Kepada semua teman kerjanya, dia selalu berucap bahwa hidup haruslah bahagia. Hidup haruslah mencapai ketentraman.
“Apa kau sudah bahagia?” celetuk seorang kawan lain saat mendengar wanita muda itu berbicara mengenai bahagia di tengah jam kerja.
“Tentu saja! Aku sudah menikah, memiliki dua orang anak yang lucu, suamiku setia,” jawab Nancy itu sembari berkacak pinggang.
“Apa tak ada lagi beban dalam hidupmu?” sang penanya seolah tak puas dengan jawaban yang ia dengar.
“Tentu saja! Apa kurangnya hidup ini saat kau sudah memiliki semua itu?” Nancy menyahut.
Dirinya sendiri hanya mendengarkan dari balik meja kerjanya. Senyum kecut tergambar di bibirnya. Dulu, gambaran keluarga Nancy adalah citra keluarganya sendiri. Gambaran ibu, ayah dan tentu dirinya. Tapi sampai di manakah arti bahagia itu? Setelah segala sesuatunya berantakan? Setelah sebuah hubungan dipisahkan oleh kata perceraian? Nancy mungkin belum memiliki gambaran.
Ia tak ingin menduga pun menebak-nebak apakah sosok Nancy yang terlihat jemawa di tempat kerja benar-benar manusia yang bahagia. Ia tak pernah tahu apakah suami Nancy benar-benar setia. Ia tak perlu tahu dan tak ingin tahu semua itu. Ia tak perlu mengetahui apa pun mengenai Nancy kecuali ketika tanggung bulan dilihatnya kawan kerjanya itu berkeluh kesah. Nancy merasa agak kerepotan membayar cicilan rumah, mobil dan bulanan sekolah anaknya. Pening kerap disebut-sebut bibir Nancy. Lalu, keluhannya akan terdengar berulang tak ubahnya radio rusak yang tak bisa lagi dikendalikan suaranya. Keluhan yang tak pernah terdengar selepas gaji masuk ke rekening. Keluhan yang dilupakan saat Nancy berorasi menyoal kebahagiaan.
***
Ia masih bertanya-tanya menyoal mengapa manusia haruslah bahagia. Mengapa manusia tak dikehendaki untuk bersedih berlarut-larut? Apa guna kelenjar air mata, jika tak boleh digunakan untuk menangis menggambarkan rasa duka. Apa guna otot di wajah, jika tak boleh mengekspresikan paras yang menahan kelu? Ia mencari jawaban, tapi selalu gagal menemukan. Setidaknya ada setitik jawaban ketika ia melihat seorang anak perempuan tertawa bahagia di atas becak yang digenjot seorang lelaki setengah baya. Dari atas becak, bocah perempuan tanpa alas kaki itu memanggil bapak berkali-kali sembari melempar tawa riang. Mereka sama-sama berhenti di lampu merah selepas ia pulang dari bekerja sore itu.
“Akhirnya bapak dapat meminjam becak untuk bekerja,” ucap lelaki paruh baya itu semringah.
“Iya, sekarang bapak bisa cari uang!” bocah perempuan dengan gigi ompong berambut kusut itu menimpali.
Sampai di rumah dia masih merenung. Bahagia itu sebenarnya berwujud apa? Mengapa seorang yang terlihat kesusahan untuk bertahan hidup, bisa terlihat demikian bahagia di atas becak sewaan. Tawa si bocah masih terngiang-ngiang di gendang telinganya. Itu bukanlah tawa kebohongan yang hanya sekadar untuk menggambarkan bahwa ia bahagia, melainkan tawa tulus yang lahir dari hati seorang bocah. Kebahagiaan yang mungkin tak bisa dirasai oleh manusia seperti dirinya.
Beberapa waktu dirinya masih berpikir tentang arti bahagia. Ibu sesekali tak sengaja masih memintanya untuk hidup bahagia. Nancy di kantor masih berpidato menyoal hidup mapan dan nyaman setelah gaji bulanan ditransfer pihak keuangan.
Dirinya sendiri belum mendapatkan jawaban, mengapa manusia harus bahagia? Lelah tak menemukan jawaban, dihubunginya seorang kawan baik yang bekerja sebagai pawarta di sebuah surat kabar. Ia menginginkan sebuah iklan dimuat di surat kabar. Bukan iklan jualan, melainkan sebuah iklan berisi pertanyaan, ‘Mengapa Manusia Harus Bahagia?’
Yogya, 2020
Artie Ahmad lahir di Salatiga, 21 November 1994. Saat ini tinggal di Yogyakarta.
Leave a Reply