Cerpen Hendrianto (Haluan, 16 Agustus 2020)

Akhir Cik Pilun dan Tek Tina ilustrasi Istimewa
“SUDAH kubilang bukan, keponakanmu itu memang tak pernah sekali pun menghargai dirimu. Sudah kukatakan dari dulu, bukan. Jika kau tak bersegera menjual tanah itu, kau tak akan dapat apa-apa,” kata Tek Tina pada suaminya.
Brumm… bunyi suara motor menderu, sambil menyingsingkan rok panjang merah maroon, Tek Tina lalu melesat. Dandanannya sangat pekat. Dengan kerudung yang melilit di leher, kalung emas panjang berjuntai, dan gelang emas melilit tangan. Sapuan makeup di wajahnya sangat tebal. Setiap sore ia berkeliling dengan motor untuk sekadar memamerkan perhiasan dan baju yang gonta-ganti tiap hari.
***
“Jangan dijual lagi tanah ini, Cik. Bukankah dulu Cik sudah menjual sawah di Buluh? Sekarang apa lagi yang Cik mau? Hanya ini pusako yang tinggal,” kata Eli pada mamaknya.
“Hoi… saya yang berhak pada tanah ini. Hanya saya mamak satu-satunya yang tinggal. Tidak ada lagi yang berhak selain saya. Kalau kau mau sawah, suruh suamimu membeli. Jangan kau harap sawah ini untukmu,” jawab Cik Pilun, yang membuat kemenakan perempuannya itu tak tahan untuk tak angkat kaki.
Tanah pusako tinggi yang hanya tinggal empat piring sawah itu memang tengah digarap oleh keponakan Cik Pilun, yang selalu dihasut oleh istrinya agar dijual. Sebelumnya, semua harta pusako peninggalan nenek moyang sudah habis dijual.
Kalau tuan datang ke Kampung Buluh, lalu berjalan sampai ke ujung kampung, tuan akan melihat hamparan sawah yang luas dan dikelilingi bukit. Bukit itu dipenuhi pohon karet berbaris rapi. Di kaki bukit ada air yang mengalir sangat jernih dan udara yang sangat sejuk.
Tahukah tuan, dulu kampung itu dipimpin Datuak Rajo Indo, ninik mamak kaum Melayu. Hampir semua tanah Kampung Buluh itu milik kaum Datuak Rajo Indo. Namun, karena Datuk Rajo Indo sudah tiada, sebidang demi sebidang tanah pusako itu dijual oleh ahli warisnya. Dan yang paling sering menjual adalah Cik Pilun, keponakan laki-laki Datuk Rajo Indo yang paling tua. Selain paling tua, saudara lelakinya juga sudah tiada, sehingga ia makin leluasa menjual warisan kaumnya.
Siang itu, Cik Pilun dan dua orang tamunya berdiri di tepi jalan dan menghadap ke hamparan sawah. “Ini sawahnya, Cik?” tanya salah seorang tamu bertopi hitam kepadanya.
“Iya. Mulai dari jalan ini sampai parit di ujung sana,” kata Cik Pilun sambil menunjuk ke arah selatan.
“Bisakah Cik pilun melihatkan pada kami surat tanah ini, atau alas hak bahwasa tanah ini memang kepunyaan Cik Pilun?”
Mendengar permintaan tamunya itu, Cik Pilun tertegun dan menelan ludah. Tapi ia usahakan juga menjawab. “Bisa. Esok atau lusa saya perlihatkan,” kata Cik Pilun.
***
Plakkkkk… Merana piring plastik dilempar Tek Tina ke lantai. “Apa yang mau dimasak? Uda tak ada lagi memberi uang untuk belanja. Uda hanya duduk di kursi, tidak bekerja,” kata Tek Tina.
“Aku tak mampu lagi bekerja, Tina,” jawab Cik Pilun sambil batuk-batuk keras. Badannya kian kurus dan bungkuk. Badan yang tinggal kulit pembalut tulang.
“Jual sawah di kampung itu. Kalau tidak, makanlah tanah jika lapar,” ucap Tek Tina sangat berang.
Cik Pilun tak menjawab. Ia sudah berusaha menjual tanah pusako yang tinggal empat piringan sawah itu. Namun, selalu gagal karena surat tanahnya dipegang Eli, keponakannya. Dulu, saat Cik Pilun meminta surat tanah itu pada Eli, ponakannya malah melalahnya (mengejar) dengan parang.
“Aku tak tahan lagi hidup seperti ini. Sudah lama aku tak membeli baju baru. Apa kata orang-orang? Pasti mereka menganggap aku sudah jatuh miskin, tak punya uang lagi,” tukas Tek Tina.
“Kalau kau mau membeli baju dan belanja untuk keseharian, juallah sedikit emas yang ada di tanganmu itu,” kata Cik Pilun pada istrinya.
“Apa…? Uda suruh menjual emas ini? Mati sajalah uda tak makan! Emasku jangan harap bisa uda jual,” ucapnya. Mendengar bentakan istrinya, Cik Pilun hanya bisa menunduk, membungkuk duduk di kursi rotan.
‘Jika aku tak menjual harta pusakaku dulu, dan andai saja aku juga tak hendak menjual sawah pusaka yang digarap keponakanku, tentu aku bisa pulang ke rumah keponakanku itu walau hanya untuk sepiring nasi dan segelas air. Sekarang apalah daya, istri tak lagi peduli. Aku akan dibuang. Ampuni dosaku, ya Allah,’ kata Cik Pilun membatin.
Sementara Tek Tina, tampak berlalu keluar rumah sambil terus memuntahkan makian pada suaminya. Mangkal betul hatinya mendengar Cik Pilun menyuruhnya menjual emas. “Tolong bilang pada ponakan orang tua itu, suruh menjemput mamak mereka. Aku tak mau lagi mengurusi,” kata Tek Tina dengan suara tinggi, berpesan pada orang lalu, sambil berharap pesan itu disampaikan kepada para keponakan Cik Pilun. Pesan itu juga terdengar ke telinga Cik Pilun, yang hanya bisa duduk termenung tanpa melawan.
Hampir setiap hari Tek Tina berpesan pada orang lalu agar keponakan Cik Pilun menjemput mamak mereka dan membawanya pulang ke kampung. Akan tetapi, tak seorang pun keponakan suaminya yang datang.
***
“Hoi, apa-apaan kalian ini? Keponakan dan mintuo (istri mamak/paman) berkelahi di tengah prang ramai seperti ini,” kata tuan rumah di sebuah pesta hajatan, begitu tahu dua perempuan yang tak lain adalah Tek Tina dan Eli, istri dan keponakan Cik Pilun, berkelahi dan merusak kekhidmatan hajatan.
“Kau yang punya mamak… jemput mamak kau tu! Aku tak sudi lagi dia di rumahku,” kata Tek Tina dengan nada tinggi.
“Hoi, perempuan gila harta. Kau yang menghasut mamakku untuk menjual tanah Pusako kami. Setelah kau dapat hasilnya, dan tak ada lagi yang bisa dijual, baru kau campakkan dia. Perempuan macam apa kau ini. Tak tahu malu!” sahut Eli.
“Apa kau bilang? Cuih…” kata Tek Tina lantang sambil meludahi tanah. Lantas ia singsingkan rok dan kemudian memukul pantat sendiri, “Lebih bagus pantatku dari wajah miskinmu,” kata Tek Tina menghina Eli. Muka Eli pun merah padam mendengar ucapan mintuo-nya itu. Ia tak tahan lagi lalu menjambak rambut Tek Tina sebelum keduanya dipisahkan dan disuruh pulang oleh tuan rumah.
***
Perempuan paruh baya itu setiap sore memang mondar mandir di jalanan kampung sambil tertawa bercampur tangis. Bajunya compang-camping, sementara rambutnya terurai panjang tak pernah disisir. Di tangannya, melingkar gulungan karet dan plastik hitam.
“Woi orang gila… orang gila… orang gila…” sorai anak-anak kampung menyoraki perempuan itu.
Wanita membalas soraian kanak-kanak itu dengan senyum dan cengengesan. “Lihatlah emasku, banyak. Bajuku, bagus. Rumahku, besar dan megah. Aku orang paling kaya di kampung ini. Aku punya segalanya. Ha-haha…” katanya seraya memamerkan gulungan karet di pergelangan tangan. Anak-anak itu tak perduli.
“Hoi, Eli, jemput mamakmu di rumahku. Hidupnya tidak berguna lagi,” kata wanita itu pada setiap perempuan yang dijumpainya, yang disangkanya adalah Eli, keponakan suaminya Cik Pilun.
Sejak Cik Pilun mangkat, Tek Tina tak henti-hentinya dirundung kemalangan. Emas-emasnya habis terjual untuk pengobatan anaknya yang setiap bulan harus rutin ke rumah sakit karena leukemia. Setelah perhiasan habis terjual, si anak tak kunjung sembuh hingga akhirnya meninggal dunia. Selepas anaknya menyusul suaminya, Tek Tina menderita kemalangan lainnya; rumahnya hangus dilalap si jago merah. Sejak saat itu ia tak lagi waras.
Pesisir Selatan, Mei 2020
Hendrianto. Lahir di Tanjung Gadang 12 Januari 1988. Menjadi guru di SMKN 3 Batam. Ia bisa ditemui di akun instagramnya @benington_hendrix.
Leave a Reply