Cerpen, Radar Banyumas, Sam Edy Yuswanto

Perempuan Penebar Jala

0
(0)

Cerpen Sam Edy Yuswanto (Radar Banyumas, 16 Agustus 2020)

Perempuan Penebar Jala ilustrasi Radar Banyumas (1)

Perempuan Penebar Jala ilustrasi Radar Banyumas 

MUSIM penghujan akhirnya tiba. Musim yang mungkin tidak disukai bahkan dibenci oleh sebagian orang, khususnya mereka yang pencahariannya dijalani di luar rumah. Tapi tidak begitu halnya dengan Surtini, perempuan separuh baya itu selalu terlihat riang saat atap sengnya yang sebagian telah berkarat itu terdengar gemeretak tetes hujan seperti alunan musik yang terdengar rampak dan rancak.

Ketika mendung mulai terlihat dan meratai seluruh penjuru langit, biasanya Surtini akan menengadahkan wajahnya yang mulai dihiasi keriput. Kedua sudut bibirnya tampak melengkung. Lalu terdengar samar ia bersenandung. Entah, menyanyikan syair lagu apa. Yang jelas ia tengah mencurahkan rasa syukur kepada Tuhan karena sebentar lagi hujan akan datang menyapa bumi yang gersang.

Lantas, ketika hujan benar-benar turun ia akan segera berlari ke teras rumahnya. Dengan wajah yang agak basah dan bibir mengulum senyum ia berdiri mematung di teras sambil menerawang hujan yang tengah melabuhkan rindu pada bumi seisinya. Ketika hujan turun semakin deras, raut wajahnya akan semakin sumringah. Lain halnya bila hujan turun biasa-biasa saja, atau hanya menyisakan rerintik gerimis, air mukanya akan terlihat muram. Gelisah. Selanjutnya kedua matanya akan terpejam, mulutnya tampak komat-kamit menggumamkan doa.

“Tuhan, aku mohon, turunkanlah hujan dengan deras, amin.”

Tak sekali ia menggumamkan doa semacam itu. Namun ia baca hingga beberapa kali demi meyakinkan diri sendiri dan berharap Tuhan sudi berbelas kasih padanya. Usai berdoa, terkadang rintik gerimis benar-benar berubah menjadi hujan yang lebat. Ia pun terpekik girang dan merasa Tuhan telah mendengar dan mengabulkan doanya. Namun ia akan bermuram durja dan akhirnya duduk di lincak bambu di teras rumahnya tatkala doanya tak kunjung dikabulkan Tuhan.

Baca juga  Genosida Para Ikan

Ya. Bagi Surtini, hujan yang turun dengan lebat dan dalam rentang waktu itu mendatangkan rezeki. Rezeki yang diturunkan Tuhan terhadap orang-orang miskin seperti dirinya. Rezeki berupa ikan-ikan yang berhasil ia tangkap lewat jarring-jaring jala yang ia tebarkan di sungai Serayu. Sungai berair keruh yang begitu panjang mengular di tanah kampungnya. Kebetulan letak sungai yang menjadi sumber rezeki tersebut tak begitu jauh dari rumah perempuan sebatang kara itu.

Di rumah kayu yang sederhana itu ia memang hidup tanpa anak dan suami. Ia adalah perempuan, yang menurut dokter divonis tak bisa mengandung. Perempuan gabuk, begitu istilah yang disematkan orang-orang di kampungnya selama ini. Julukan perempuan gabuk atau mandul tersebut tentu sangat mengiris hati Surtini ketika terucap lantang dan berulang dari mulut orang-orang di kampungnya.

Hal itulah yang menjadi penyebab berakhirnya perkawinan yang telah dilalui selama 20 tahun bersama Sutarjo. Lelaki itu akhirnya memilih meninggalkannya usai mengucap kata talak. Dari celoteh orang-orang, Surtini mendengar, hanya dalam hitungan hari sejak meninggalkannya Sutarjo langsung kawin dengan perempuan lain. Perempuan yang telah menghadiahi mantan suaminya itu dengan beberapa anak yang lucu dan menggemaskan. Ah, terasa ngilu dada Surtini setiap ia mengingat kenangan bersama lelaki yang tak bisa menerima kekurangan dirinya itu.

Semenjak itu Surtini menutup rapat-rapat perasaannya dari siapa pun lelaki yang mencoba mendekatinya. Ia memilih hidup dengan kesendirian. Ia kini tak percaya bila ada lelaki di muka bumi ini yang sudi hidup bersama wanita mandul seperti dirinya. Pernah, beberapa lelaki datang dan mencoba merayunya agar mau menjadi istri mereka. Akan tetapi dari tatap mata mereka Surtini seolah mampu membaca jika mereka sekadar iseng, dan hanya menginginkan tubuhnya yang sintal. Tentu saja Surtini langsung mengabaikan mereka. Pokoknya, Surtini telah memasung tekad tak akan menikah lagi, karena bagi dirinya tak ada laki-laki yang mau menerima dirinya apa adanya.

Baca juga  Gempa dan Tsunami di Kepala Kami

***

Sebagaimana musim hujan sebelumnya, pada musim hujan kali ini Surtini kembali menyambutnya dengan suka-cita. Riang sekali wajahnya saat mendengar air hujan menghentak atap sengnya yang semakin hari kian dipenuhi warna cokelat akibat berkarat. Di teras rumahnya yang sederhana, sambil menikmati segelas kopi pahit dan sepiring ubi rebus, ia menunggu hujan agak reda.

Setelah nyaris dua jam, hujan yang semula seperti ditumpahkan begitu saja dari langit akhirnya hanya menyisakan rintik-rintik samar. Lekas Surtini bangkit dari lincak bambu. Ia tergesa masuk ke rumah mengambil jala. Tak sabar ia ingin segera tiba di tepi Serayu. Ia berharap musim hujan kali ini akan lebih banyak ikan-ikan yang diturunkan Tuhan dari keluasan langit. Ikan-ikan yang sudi menyambangi jalanya tentu saja. Ikan yang selama ini bisa ia olah menjadi ikan teri sebagai lauk sehari-hari, dan sebagian lagi dijual di pasar Legi. Lumayan, uangnya bisa ditukar dengan beras, sayur dan bumbu-bumbu dapur.

***

Surtini seolah enggan berkedip saat menyaksikan ikan-ikan yang berhasil ia jala pagi jelang siang ini begitu melimpah ruah. Satu ember penuh ikan beragam jenis dan ukuran berhasil ia peroleh di Serayu yang berair keruh dan meluber hingga menyebabkan sebagian luasan sawah di tepinya terendam.

Surtini berjalan pelan dan hati-hati menyusuri tepian sungai serayu. Kedua tangannya tampak terlihat payah. Tapi raut wajahnya tampak sumringah. Tangan kiri mendekap buntalan jala. Sementara tangan kanan mengangkat ember plastik berisi ikan-ikan yang ternyata cukup merepotkannya karena lumayan berat. Ketika tiba di dekat jembatan ia lengah. Kaki kirinya terpeleset hingga menyebabkan buntalan jala dan ember berisi ikan-ikan tangkapannya terlepas dan jatuh ke sungai bersama tubuhnya. Kejadiannya begitu cepat dan tak ada seorang pun yang melihat peristiwa tragis itu.

Baca juga  Cerita dari Sunyapringga

Keesokan harinya, seorang lelaki tengah baya yang melintas dengan motornya di jembatan itu terperanjat saat melihat sebentuk yang mencurigakan di tepian sungai.  Buru-buru ia turun dari motor dan menepikannya. Tergopoh ia turun ke sungai. Untuk kedua kalinya ia kembali terkejut ketika semakin jelas di matanya, itu adalah sesosok jasad dengan posisi telentang di tepi sungai yang berlumpur. Dan untuk ketiga kalinya rasa terkejutnya berlanjut, saat ia begitu mengenali wajah perempuan yang berlumur lumpur dan kulitnya telah kaku itu. “Surtini!” ia terpekik seketika saat mengingat kebersamaan dengan perempuan yang pernah diceraikannya gara-gara tak mampu memberikan anak padanya. (*)

 

Puring-Kebumen, 20 November 2019

SAM EDY YUSWANTO. Lahir dan berdomisili di Kebumen. Ratusan tulisan alumni STAINU Kebumen ini telah tersiar di berbagai media cetak.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Ling

    Beh…terlalu singkat dan apa adanya, hehe..sip.

Leave a Reply

error: Content is protected !!