Cerpen, Eko Hartono, Kedaulatan Rakyat

Ambisi Salya

0
(0)

Cerpen Eko Hartono (Kedaulatan Rakyat, 14 Agustus 2020)

Ambisi Salya ilustrasi Joko Santoso (Jos) - Kedaulatan Rakyat (1)

Ambisi Salya ilustrasi Joko Santoso (Jos)/Kedaulatan Rakyat 

HARTA dan kekuasaan seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Dengan harta manusia bisa mendapatkan kekuasaan, dengan kekuasaan pula manusia bisa menumpuk harta. Karena itu seorang penguasa haruslah kaya raya. Begitulah yang ada dalam pandangan Salya. Meski sudah memangku jabatan raja, tetapi matanya masih silau pada kekayaan.

Ketika Duryudana, raja Hastinapura, datang melamar Erawati, putrinya, tanpa pikir panjang orang tua itu menerimanya. Padahal Erawati tidak menyukai Duryudana. Dia tahu, bagaimana watak Duryudana.

“Aku tak mau menikah dengan dia, Ayah! Dia bukan orang baik!” ujar Erawati.

“Siapa bilang dia bukan orang baik. Dia itu raja terkaya di dunia. Kamu akan bahagia hidup bersamanya!” bujuk Salya.

“Tapi aku tidak mencintainya!”

“Buat apa cinta kalau kamu hidup miskin dan sengsara. Sudahlah, kamu terima lamaran raja Hastinapura itu. Kamu pasti akan bahagia!”

“Tidak, Ayah! Saya tidak mau!”

Salya jadi bingung dan pusing. Dia lalu menemui Duryudana. Dia menyatakan rasa penyesalan karena belum berhasil membujuk putrinya. Tapi dia berjanji akan terus membujuk Erawati.

Malam itu istana Mandaraka gempar, karena Erawati hilang diculik oleh segerombolan orang tak dikenal. Salya segera memerintahkan seluruh prajuritnya untuk mencari putrinya. Dia juga membuat sayembara, siapa saja yang berhasil menyelamatkan Erawati akan dijadikan menantu. Kabar ini sampai ke telinga Baladewa, raja Mandura.

Dengan menyamar sebagai pendeta muda Baladewa mencari Erawati. Dia pun berhasil menemukannya dan membebaskan dari sekapan penculik. Baladewa kemudian membawanya ke istana Mandaraka. Betapa gembira Salya mengetahui putrinya telah kembali dalam keadaan selamat tanpa kurang suatu apa.

Baca juga  Semua Ayah Itu Sama

Tapi ketika tahu yang menyelamatkan putrinya hanya seorang pendeta muda dengan penampilan sederhana, hatinya jadi kecut. Raut wajahnya berubah masam. Tadinya ia sangat berharap yang menyelamatkan putrinya adalah Duryudana, atau setidaknya seorang pangeran. Tapi kenyataan cuma orang biasa.

“O, jadi kamu yang menyelamatkan putriku?” ujar Salya dengan nada tak begitu suka.

“Benar, Prabu. Nama saya Kakrasana dari Padepokan Argasonya,” jawab Baladewa kalem.

“Terima kasih atas jasamu. Aku akan memberimu hadiah berupa uang atau emas. Terserah, kamu memilih yang mana.”

“Maaf, Prabu. Bukankah Prabu telah membuat peraturan bahwa siapa saja yang berhasil menyelamatkan Erawati akan dinikahkan dengannya? Sebagai raja, Prabu pantang untuk mengingkari janji,” kata Baladewa mengingatkan.

Wajah Salya merah padam mendengar ucapan Baladewa. Lancang sekali anak muda ini, berani mengkritik penguasa, batinnya gusar. Salya tak ingin kehilangan muka. Sebagai raja ia mesti pandai bersilat lidah. Ia tak mau wibawa dan kehormatannya dijatuhkan.

“Memang isi peraturan demikian, tapi itu sifatnya darurat. Aku yang membuat peraturan dan aku pula yang berhak membatalkannya. Aku sebenarnya sudah membatalkan sayembara itu dan mengganti isinya!” ujar Salya berdalih.

“Ayahanda Prabu tidak boleh begitu. Ayahanda harus konsisten dengan peraturan yang ayahanda buat. Sebagai pemimpin Ayahanda menjadi panutan dan teladan bagi seluruh rakyat. Jika Ayahanda bersikap plin-plan, suka menggonta-ganti peraturan hanya demi memenuhi kepentingan dan kesenangan pribadi, maka hal itu akan berakibat tidak baik bagi kehidupan negeri ini,” kata Erawati ikut mengkritisi ayahnya.

“Diam, kamu! Ini hak konstitusionalku sebagai raja. Siapa pun tidak boleh ikut campur!” tukas Salya makin gerah mendapat kritikan tambahan dari putrinya.

Erawati pun terdiam. Sebenarnya ia sudah cocok dengan Baladewa. Ia terkesan pada pribadi anak muda itu. Baladewa sosok pemuda pemberani, trengginas, cerdas, dan bertanggung jawab. Tapi Erawati masih tak mengerti, kenapa ayahnya tak berkenan pada Baladewa.

Baca juga  Kue Itu Memakan Ayahku

Sementara itu Baladewa tahu kalau Prabu Salya sedang berperang dengan egonya sendiri. Salya tak mau wibawa dan kehormatannya sebagai raja turun karena memiliki menantu yang bukan dari kalangan atas. Di matanya, kekuasaan dan kekayaan tak bisa dipisahkan. Seorang penguasa haruslah kaya dan agar bisa kaya harus punya kekuasaan. Keduanya saling melengkapi!

Jika seseorang tidak punya apa-apa lalu diangkat jadi penguasa, maka akan mudah dijatuhkan. Begitu mungkin yang terpikir dalam benak Salya. Dalam hati Baladewa tersenyum kecut. Betapa picik dan kerdil pemikiran seperti itu. Derajat manusia seolah diukur seberapa banyak uang dimiliki dan seberapa tinggi kedudukannya. Padahal semua itu tak ada artinya di mata Tuhan!

Sebenarnya Baladewa bisa saja membuka penyamarannya dan mengatakan bahwa dirinya juga seorang raja. Tapi tidak, Baladewa tak mau menggunakan aji mumpung. Ia ingin Salya menerima dirinya apa adanya tanpa embel apa-apa. Karena sejatinya ia mencintai Erawati tanpa memandang bahwa dia putri raja. Begitu pun sebaliknya. Cinta tanpa prasyarat akan menumbuhkan kebahagiaan.

“Baiklah, kalau Prabu Salya sudah mengubah aturan dalam sayembara itu. Saya pun tak berminat menerima uang dan emas dari Prabu. Karena keinginan saya memiliki Erawati tidak bisa ditukar dengan semua itu. Saya permisi pulang,” kata Baladewa kemudian berpamitan.

Salya menyilakan. Ia tak berusaha menahan Baladewa. Ia justru terlihat senang dan lega karena Baladewa tahu diri untuk tidak ngotot meminta Erawati. Sementara Erawati sangat sedih dan kecewa.

Beberapa hari kemudian, seorang punggawa menghadap Salya. Dia melaporkan penyelidikannya terhadap Baladewa.

“Wah, ternyata Kakrasana adalah raja Mandura bergelar Baladewa. Dia bahkan lebih kaya dari Duryudana, Prabu!” cetusnya.

Mendengar keterangan itu tanpa pikir panjang Salya segera mengajak seluruh staf istananya untuk beranjangsana ke kerajaan Mandura. Dia sendiri yang meminang Baladewa agar mau menikahi Erawati. Meskipun senang akhirnya bisa memiliki Erawati, tapi dalam hati Baladewa prihatin dengan kelakuan Salya.

Baca juga  Kereta Kencana

Beginilah mental penguasa yang silau pada harta dan kedudukan. Dia rela merendahkan dirinya demi ambisi meraih apa yang diinginkan! *)

 

Eko Hartono, penulis, tinggal di Wonogiri.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Bon Yosi

    Banyak sekali Salya pada jaman sekarang ini😁

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d