Ana Khasanah, Cerpen, Radar Banyumas

Tren Toko Hijau

5
(1)

Cerpen Ana Khasanah (Radar Banyumas, 23 Agustus 2020)

Tren Toko Hijau ilustrasi Radar Banyumas (1)

Tren Toko Hijau ilustrasi Radar Banyumas 

SIANG hari, langit kelabu. Sebelum hujan turun aku membantu emak mengisi bak dan ember-ember di kamar mandi kemudian emak beberapa kali mengisi ember di dapur untuk keperluan memasak dengan penuh semangat. Jika tak segera diisi, air akan segera keruh dan kami akan kewalahan keesokan harinya.

Buk, buk, buk, terdengar beberapa bunga petai yang tertiup angin berjatuhan di bawah pohon, kami menyebutnya kependul. Musim petai kali ini membuahkan kegembiraan untuk warga, pasalnya setelah melewati musim kemarau yang cukup panjang akhirnya kami akan segera memanen petai, rambutan dan yang pasti sumur-sumur telah terisi cukup air kembali. Sebagian warga telah melupakan musim kemarau yang membuat mereka harus bersusah payah membawa tumpukan pakaian kotor ke sungai, meski dengan air yang dangkal dan sudah tak terawat lagi.

Dan barangkali kami salah satu keluarga yang beruntung sebab rumah kami yang paling dekat dengan sungai, sehingga di musim kemarau panjang sekalipun air untuk kebutuhan sehari-hari selalu tercukupi. Walaupun di saat musim hujan seperti sekarang ini kami harus sigap dan siaga memenuhi bak dan ember di siang bolong. Itu untuk berjaga-jaga karena setiap hujan turun, air sungai akan sedikit naik kemudian menyebabkan air di sumur keruh.

“Jangan menunggu tanda langit akan turun hujan, Nduk, sebab mereka lebih sering datangnya tiba-tiba, ayo segera diisi bak-baknya,” perintah Emak masih dengan semangat siang itu.

“Iya, Mak.” Tidak menunggu lama aku menuju kamar mandi.

Sembari mengisi bak, aku teringat pada libur semester pertamaku, orang-orang begitu ramai membawa sekop dan air minum dengan botol bekas ukuran besar ke sungai. Sungai menjadi tujuan utama mencari nafkah. Seperti pasar orang-orang ramai hilir mudik datang dan keluar. Bapak-bapak setelah mencari rumput datang, anak-anak pulang sekolah datang. Tak sedikit yang lembur semalaman, sejak bakdal Isya hingga pagi buta lengkap dengan lampu dan rol kabel untuk bekal mengumpulkan pasir. Bahkan ada yang berangkat pagi pulang pagi. Sebagai penambang pasir.

Baca juga  Pertemuan, Buku dan Sebuah Nyanyian

Dan seperti pasar pada umumnya, di sana warung-warung tenda juga bertumbuhan. Dijaga oleh ibu-ibu, lengkap dengan nasi rames, es dan kopi sacchet. Dan bagaimana mungkin tidak ramai, setiap orang boleh datang dan mengumpulkan, sedikit atau banyak, dan mereka siap menerima uang usai truk datang dan mengangkutnya.

“Punyaku satu rit pak, siap diangkut” tentu penambang juga supir truk senang bukan kepalang.

Dan yang tidak mau ketinggalan dengan para penambang pasir adalah ayam berkokok dan pemilik warung yang selalu bergegas beriringan. Mereka seolah saling berebut rezeki yang sudah menanti. Kata Emak kalo kesiangan rezekinya akan dipatok ayam.

“Nduk bawakan tremos sama gorengan yang di baskom hijau ya,” kata emak dengan semangat tak mau ketinggalan.

“Iya Mak.”

Mendoan, bakwan, dan galundeng memang menjadi menu pilihan yang pas untuk disantap di pagi hari dengan segelas teh panas atau pun kopi. Tetapi siapa yang menyangka setelah warung tenda mulai dibuka, toko hijau tempat isi ulang air galon juga turut dibuka. Di desa dengan sumber mata air yang melimpah orang-orang mengira tidak akan tertarik membelinya, sudah jelas mereka lebih memilih memasak air sendiri. Tidak disangka-sangka bulan berikutnya mereka sudah berlangganan di sana.

Kemudian aku juga masih ingat dua semester berikutnya, setelah pasir dirasa habis orang-orang ramai mengambil batu di sungai. Di pelataran, orang memilih dan mengumpulkan batu yang berwarna hitam setelah terkumpul kemudian dibawanya pulang dan dipecahkan. Kami menyebutnya batu split. Seperti saat menambang pasir, tak sedikit orang yang memilih lembur.

Lagi-lagi, setiap orang boleh datang dan mengambil batu untuk dipecahkan dan dijual. Setelah batu yang dipecahkan terkumpul banyak, truk-truk akan datang dan mengangkutnya. Batu akan dibayar setiap hitungan ember. Dan bagaimana mungkin tidak ramai setiap orang boleh datang dan mengumpulkan, sedikit atau banyak, dan mereka siap menerima uang usai truk datang dan mengangkutnya.

Baca juga  Darah Daging

“Bu, ini uangnya pas tujuh puluh ribu. Besok ditambah lagi ya bu, jangan cuman tiga puluh ember. Borongan seperti yang lain biar sekali angkut punya ibu saja.”

“Wah ya besok, Pak. Aku harus lembur dulu”

Hari bertambah hari. Bulan bertambah bulan. Siapa menyangka warung tenda satu per satu mulai tutup karena kehilangan pembeli. Berbanding terbalik dengan tempat isi ulang air yang semakin ramai dikunjungi.

Dan pada libur semester kelima yang lalu aku juga masih ingat sekali, toko hijau khusus material bangunan mulai berdiri di desa. Mereka menyediakan semen, mesin pompa air, cor gorong-gorong dan yang lainnya. Pada mulanya orang-orang mengira tidak akan belanja di sana, tetapi beberapa bulan setelah dibuka mereka mendatangi dan mengebon di sana juga. Seperti sudah bisa diperkirakan, setiap ada toko baru di desa ini kami para warga pasti akan ramai membeli dagangannya.

Keluarga yang terbilang mampu akan dengan mudah menambah gorong-gorong dan mesin pompa air agar air di sumurnya lebih melimpah. Keluarga yang pas-pasan akan berpatungan dengan saudara atau tetangganya. Tetapi sebagian besar hanya mampu menumpang dan menyambung pipa saja dengan cara turut membayar biaya listriknya. Sedang keluarga yang kurang mampu akan memilih mencuci pakaian, perabotan sampai mandi di sungai. Bahkan beberapa rumah yang tidak terlalu jauh dengan sungai akan mengambil sedikit demi sedikit untuk kebutuhan memasak.

Dan siang menuju sore ini langit masih kelabu. Sungai kembali ramai. Bapak dan keponakanku yang masih duduk di bangku sekolah kejuruan tidak mau kalah. Ia pulang lengkap dengan toples, botol minum bekas berukuran besar, topi, dan pakaian yang sebelumnya basah kuyup tetapi hampir kering kembali di badannya.

Baca juga  Gadis Kupu-Kupu

“Mak, sejak kapan orang mulai mencari emas, Mak?”

“Emas apa, Nduk?”

“Itu loh, Mak, bapak sama Nasrul pulang bawa emas di toples. Ada yang bentuknya seperti benang, ada juga yang yang seperti pasir. Bapak-bapak yang lain juga masih ramai di sungai Mak,” tambahku pada emak.

Kali ini Emak tidak bersemangat. Ia memilih diam dan menunjukkan raut muka datar yang menggambarkan bahwa Emak tidak terlalu tertarik, barangkali emak menyadari bahwa kekayaan yang ada di sungai kian menipis dan habis.

“Toko hijau apa lagi yang besok akan dibangun di sini, Nduk,” tanya emak datar. (*)

 

Kebumen, 2020

ANA KHASANAH. Lahir di Kebumen, 22 tahun yang lalu. Buku antologi puisinya berjudul “Cermin” terbit 2018 lalu. Saat ini berdomisili di daerah kelahirannya.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!