Cerpen Hendy Pratama (Minggu Pagi No 20 Th 73 Minggu III Agustus 2020)
Karkono masih mencangkung di muka kusam terminal, berdiang di bawah terik siang. Matanya awas, seperti kamera. Mengamati lalu lalang orang-orang berhati malaikat yang melintas, melewatinya, dan memberikan sesuatu untuknya. Namun, agaknya hari ini cukup berbeda dari sebelumnya; tiada seorang pun peduli nasibnya.
BIASANYA bocah—yang entah dilahirkan siapa—itu lekas mencuri perhatian para pengunjung terminal. Ia cukup piawai memasang muka penuh belas kasih. Karkono tinggal menyipitkan mata dan sedikit mengangkat alis, mengacak-acak rambut, menengadahkan telapak tangan. Dan apabila sedang butuh banyak uang, ia akan menambahkan melodrama pura-pura menangis atau berguling-guling sembari memegangi perut. Tidak butuh waktu lama bagi Karkono mendapatkan uang. Bila sedang untung, ia akan bertandang ke depot Juminten, membeli pecel dan sisanya untuk melunasi utang minggu lalu.
Hari ini terasa berbeda. Jam terminal telah menunjuk pukul satu siang, terik matahari tak henti-henti menyiram tubuh Karkono, dan selama itu, ia belum kunjung mendapatkan sepeser pun. Belum ia temui orang berhati malaikat yang melintas atau malaikat yang menjelma menjadi manusia tengah berlalu di hadapannya.
“Seandainya aku dapat berdamai dengan perutku,” rintih Karkono, menahan rasa lapar yang melilit lambungnya. “Apakah dunia telah kehabisan orang baik? Jika benar begitu, mengapa Tuhan tak lantas mencabut nyawaku saja?”
Karkono melempar langkah, ia berjalan secara tertatih-tatih lantaran kaki kanannya cacat sejak lahir. Di usianya ke-13 tahun, pelajaran pertama yang ia dapatkan bertahan hidup. Ia tidak mengenal rumus matematika maupun ilmu pengetahuan alam dan sosial. Satu-satunya yang Karkono ketahui, bagaimana kehidupan terus berjalan. Maka, jalan tikus yang ia tempuh ketika tidak mendapati malaikat berwajah manusia hanya mengais tong sampah. Mencari sisa-sisa makanan yang diselipkan Tuhan di tempat pembuangan. Tak peduli seperti apa rasanya, yang penting perutnya tak menjerit.
Sungguh sial. Di tempat paling busuk pun Karkono tak mendapati apapun. Tempat itu, sebuah tong sampah terbuat dari ban bekas, hanya menyisakan bungkus kuaci dan gelas plastik sisa minuman, serta berbatang-batang puntung rokok. Pada akhirnya, Karkono balik melempar langkah ke belakang terminal, ke sebuah bangunan terbengkalai.
Bangunan itu tempat tidurnya. Karkono mengumpulkan sejumlah kardus bekas untuk membangun kamar. Karkono memutuskan tidur lebih awal. Ia menganggap, hari ini rezekinya hanya bernapas dan meneguk sisa air mineral yang ia simpan di kamar kardus. Hanya itu, selebihnya tidak ada. Namun, bocah yang tak mengenal nama ayah ibunya itu tak mengeluh pada Tuhan. Ia percaya, nasibnya akan berbeda kemudian hari. Apabila tidak besok, maka lusa. Dan bila bukan lusa, barangkali minggu depan.
Begitu memejamkan mata, Karkono tak lantas tertidur. Ia menahan perih yang menyiksa perutnya. Gemuruh kendaraan dan bunyi nyamuk bergelung di telinganya. Ia juga sempat mengingat kejadian-kejadian yang dialami selama ‘bekerja’ di terminal; tatkala berhadapan Abdul Ghofar, preman terminal yang kerap kali mengusirnya pergi, saat di mana ia ditendang salah seorang pengunjung lantaran dianggap menghalangi jalan, dan masa ketika tak mendapat uang sepeser pun. Sejumlah ingatan itu berkelindan sebelum akhirnya berhasil terlelap.
Secara mengejutkan, Karkono mengalami mimpi aneh. Ia berjumpa orangtua berjanggut dan membawa tongkat. Belum sempat melempar seabrek pertanyaan, seseorang itu memperkenalkan diri dengan nama Kamandobat.
“Panggil saja begitu,” katanya.
“Apakah kau malaikat Mikail yang diutus Tuhan menemuiku?” Pertanyaan itu akhirnya melompat dari mulut Karkono. Ia memang tidak mengenyam sekolah, tetapi tahu malaikat yang ditugaskan membagi rezeki bernama Mikail.
“Bukan, kau salah,” jawab Kamandobat, yang terasa menohok dada Karkono.
“Jangan-jangan, kau Izroil,” sahut Karkono sedikit terkesiap. “Aku belum makan seharian dan boleh jadi rezekiku di dunia sebenarnya sudah habis dan itu tandanya, kau diperintahkan Tuhan mencabut nyawaku.”
“Kau salah lagi, anak muda.”
“Kalau begitu, kau sejatinya iblis. Apakah kau bermaksud menguji ketabahan dan keimananku terhadap Tuhan? Apa kau pikir dengan tidak mendapat uang dan makanan seharian penuh dapat membuatku berpaling dari Tuhan?”
“Kau terlalu cepat menyimpulkan.” Kamandobat menimpali.
Ia berdehem beberapa jenak, melangkah mendekat ke arah Karkono, sebelum menyambung kalimatnya.
“Aku itu merupakan jelmaanmu enam puluh tahun ke depan. Rupanya, Tuhan sungguh berbaik hati memperlihatkan kehidupanmu kelak. Dan, beginilah dirimu.”
“Bukankah kau bernama Kamandobat?”
“Pada suatu masa yang jauh, seorang keluarga mandul akan mengadopsi dirimu dan mengganti namamu menjadi Kamandobat,” balas Kamandobat, melengkungkan senyum, suaranya terdengar serak.
“Keluarga itu merupakan sebuah keluarga yang kaya raya. Ayah angkatmu memiliki kebun kelapa sawit belasan hektare dan binatang ternak berupa sapi yang sangat banyak. Sedangkan ibu angkatmu bekerja sebagai pegawai pajak. Mereka mengganti namamu dalam rangka menghapus masa lalumu,” sambung Kamandobat.
“Bagaimana mungkin aku dapat memercayai perkataanmu? Tunjukkan karamahmu, PakTua!”
“Bukankah saat ini kau yang tengah menunjukkan karamah?”
“Maksudmu?”
Kamandobat menuding wajah Karkono menggunakan tongkatnya, menggerakannya seraya melukis tubuh bocah sebatang kara tersebut. “Lihatlah dirimu, karamah itu terdapat dalam dirimu. Tuhan berbaik hati memperlihatkan masa depanmu. Membentuk rupa diriku hingga aku dapat menyampaikan rahasia-rahasia itu secara langsung kepadamu.”
“Mengapa bisa terjadi padaku?”
“Tentu saja supaya kau tidak pernah putus asa menjalani kehidupan rumit ini, ya, lantaran kau memegang teguh keimanan. Dan ketabahanmu sungguh mengejutkan. Tidak pernah kudapati seorang bocah kecil memanggul nasib sendirian. Tanpa orangtua, tanpa sanak famili, tanpa siapa pun. Aku bangga pada diriku di masa kecil.”
Karkono termenung. Alisnya membentuk lengkung cakrawala dan sepasang matanya membulat. Sejatinya, ia tidak mudah memercayai perkataan Kamandobat. Namun penjelasan lelaki itu logis dan Karkono tidak memiliki kesempatan menyanggah. Ia sempat mengingat-ingat segala macam tipu daya iblis yang ia ketahui dari pengajian-pengajian kampung tak jauh dari terminal. Kepalanya mencerna semua itu secara cermat.
***
Karkono terbangun tatkala hari telah berganti. Seperti halnya Karkono, seluruh pedagang di terminal berharap hari ini mendapatkan banyak rezeki. Terbitnya matahari merupakan sebuah pertanda Tuhan telah membukakan pintu rezeki bagi para pencari. Maka, tiada alasan bermalasan. Di terminal, rezeki tak ubahnya penumpang bus yang acap kali datang dan pergi.
Karkono melewar dari pintu masuk utama terminal ke jantung terminal dan begitu seterusnya. Tak kenal lelah, bocah itu gigih menjalani hari-hari menjemput rezeki. Orang-orang yang melintas, para calon penumpang bus antarkota, perantau, dan pedagang asongan, melihat Karkono seperti melihat lelaki yang memanggul nasib di bahunya. Tiap waktu berkelana mencari belas kasih orang lain. Tanpa ibu, tanpa ayah, dan tanpa keluarga menemani, sekadar peduli padanya. Tahukah mereka di masa jauh, nasib Karkono akan berubah seketika seumpama sebuah roda? Mungkin suatu saat seluruh penghuni terminal tak akan mengenali Karkono lagi. Boleh jadi, bocah itu berganti nama seiring perubahan nasibnya. ■
Madiun, 25 Juni 2020.
Hendy Pratama: lahir dan tinggal di Madiun.