Afri Meldam, Cerpen, Kedaulatan Rakyat

Riwayat Monumen

Riwayat Monumen - Cerpen Afri Meldam

Riwayat Monumen ilustrasi Joko Santoso (Jos)/Kedaulatan Rakyat

0
(0)

Cerpen Afri Meldam (Kedaulatan Rakyat, 25 September 2020)

JIKA kau sempat berkunjung ke kota kecil kami pada pengujung kemarau 1997, dan kau kebetulan mampir ke monumen di Simpang Tiga, maka bisa kupastikan kau pernah melihat laki-laki itu berdiri tegap dengan sikap hormat menghadap langit.

Nuan, laki-laki itu, memang saban hari datang ke monumen, tanpa sekalipun absen selama berbulan-bulan. Kalau saja ia tak jatuh sakit dan keluarganya tidak mengurungnya di rumah hingga ajal datang membawanya, Nuan tentu akan terus menyambangi monumen berbentuk cawan tempat sirihpinang tersebut dan akan tetap berdiri di posisi yang sama, dengan pakaian yang rapi, mendongak ke langit, memberi penghormatan.

Dalam pikirannya, sebagaimana cerita yang beredar dari mulut ke mulut waktu itu, Nuan memberikan penghormatan kepada pesawat tempur yang diawaki oleh anak sulungnya, Marjulis. Setelah dua tahun menempuh pendidikan pilot di Yogyakarta, Marjulis tamat dengan predikat gemilang dan mendapat kehormatan untuk menerbangkan salah satu pesawat dalam atraksi udara yang diselenggarakan pada hari kelulusan.

“Tak sia-sia aku menyekolahkan kau sampai ke Jawa. Kugadaikan ladang gambir dan karet untuk membiayai sekolahmu, dan kini semuanya terbayar sudah. Anakku sudah menjadi orang hebat. Menjadi pilot pertama dari kota kecil ini.” Begitu ia selalu berkata setiap kali ia tiba di monumen Simpang Tiga. “Terimalah hormat kami semua. Kau kini telah menjadi sayap pelindung negara.”

Namun, kami, penduduk kota kecil ini, tentu saja tahu bahwa itu hanya ada dalam pikiran Nuan saja. Marjulis, anak sulungnya itu, sebenarnya memang berangkat ke Jawa, tapi bukan untuk menjadi seorang pilot. Marjulis yang waktu itu baru saja tamat SMA, lari dari kota ini karena terlibat percekcokan yang berujung pembunuhan. Marjulis tak terima karena Rahmah, pacarnya dipinang oleh saudagar kopra dari Lampung. Pada saat pernikahan akan dilangsungkan, ia datang ke rumah mempelai dan menusuk saudagar malang itu berkali-kali hingga mampus.

Baca juga  Melarung Bapak

Marjulis melarikan diri ke Jambi, lalu ke Bengkulu, dan kemudian menyeberang ke Jawa. Dan hingga hari ini, tak secuil pun kabar tentangnya berembus ke telinga kami. Entah di mana ia kini.

Namun, jika hari ini kau kembali ke kota kecil kami dan memutuskan berjalan-jalan ke Simpang Tiga, kau akan melihat sebuah monumen baru di sana: seorang lelaki dalam posisi berdiri, menghadap ke langit, memberikan penghormatan. Ya, monumen itu terinspirasi dari sosok Nuan, ayah Marjulis, yang akan terus mengingatkan siapa saja yang melihatnya tentang cinta seorang bapak yang tak akan pernah lekang dimakan waktu.  ***

.

.

*) Afri Meldam, lahir dan besar di Sumpur Kudus, Sumatra Barat. Cerpen dan puisi dipublikasikan di beberapa media cetak dan daring. Buku kumpulan cerpennya, ‘Hikayat Bujang Jilatang’ terbit pada 2015. Noveletnya yang berjudul ‘Di Palung Terdalam Surga’ bisa dibaca di Pitu Loka (2019).

.
Riwayat Monumen. Riwayat Monumen.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!