Cerpen, Indarka PP, Medan Pos

Masker Spesial

Masker Spesial - Cerpen Indarka PP

Masker Spesial Iluatrasi Istimewa

0
(0)

Cerpen Indarka PP (Medan Pos, 27 September 2020)

PAGI itu sebuah lapak sayur terlihat sangat ramai. Suatu aktivitas niaga domestik ibu-ibu rumah tangga. Ramai bukan karena banyaknya pembeli. Tetapi karena perbincangan ibu-ibu tentang orang lain. Biasanya para tetangga menjadi tema gosip utama mereka. Sisri, Atun, dan Nonik. Tiga perempuan paruh baya ialah ibu-ibu itu. Apalagi jika bukan mengumbar aib orang, atau memproduksi fitnah. Berbalas komentar dan analisis, seperti konsultan andal. Mulut mereka seperti anjing, saling menimpal gonggongan.

Kata mereka, ada sensasi obrolan di lapak sayur itu. Bisa jadi sebenarnya mereka tak pernah tulus meramu masakan bagi keluarga, melainkan hanya ingin bertemu dan saling tukar kepuasan mencibir orang lain.

“Pak Sigit kabarnya mau mantu anak perempuannya, ya?” Atun bertanya, tanda perbincangan baru saja dimulai.

“Memang seharusnya begitu. Anaknya sudah hamil,” tambah Nonik.

“Amit-amit. Orang berpendidikan seperti Pak Sigit, bisa-bisanya punya anak yang kelakuannya nggak jelas,” sergap Sisri, sambil mengetuk keningnya sendiri.

“Kalau tidak segera dinikahkan, keburu lahir anaknya,” imbuh Nonik.

Setelah pernikahan anak Pak Sigit itu terjadi. Dugaan mereka tidak terbukti. Nyatanya tiga tahun setelahnya, anak Pak Sigit baru dikaruniai momongan.

Banyak korban atas kabar miring seperti dalam perbincangan. Bahkan, mereka sampai pernah dilabrak salah seorang yang terkena imbas sebuah gosip yang jelas merugikannya. Mereka ditantang membuktikan kabar-kabar yang terlanjur tersiar. Akhirnya, labrakan itu berujung permintaan maaf. Sepekan setelahnya, tak ada lagi desas-desus. Di lapak sayur langganan, mereka benar-benar hanya berbelanja. Tanpa diselingi pergunjingan akan suatu hal. Mereka berusaha menahan hasrat melempar umpan perbincangan.

Sepekan lamanya tidak menggunjing. Sementara stok pergunjingan selalu ada dan telah terkumpul di otak mereka masing-masing. Karena tak bisa lagi menahannya, mereka mengulangi kembali perbincangan kotor di lapak sayur setiap pagi. Kali ini pergunjingan terjadi lebih dahsyat daripada sebelumnya. Bibir mereka tak pernah diam barang sedetik saja. Ditambah gerakan tangan penegas setiap perkataan.

Baca juga  Suara-Suara

“Saya dengar Bu Lurah kehilangan uang?” tanya Nonik kepada Sisri dan Atun.

“Katanya sih 9 juta raib,” jawab Sisri.

“Suami Bu Lurah kan bandar judi. Paling juga dia pencurinya,” Sisri menegaskannya. “Lagipula kenapa uang sebanyak itu tidak ditaruh di bank? Jadi Lurah kok pikirannya bodoh!” imbuhnya.

Sejak wabah melanda, setiap orang kini wajib memakai masker jika hendak ke luar rumah. Ini berlaku juga bagi ibu-ibu itu, mana kala belanja di lapak sayur biasanya. Sebetulnya mereka terpaksa memakai masker. Sebab mulut mereka jadi tak bisa liar saat menggunjing. Bagi mereka, mulut alat utama menikmati kepuasaan. Sekali lagi, masker hanya menghambat ibu-ibu itu. Bukan menghentikannya. Meski terhalang masker di setiap mulut mereka, perbincangan tetaplah ada setiap kali bertemu. Fitnah-fitnah kejam tetap lahir dan selalu terlontarkan.

Apalagi jika berbicara soal Rohadi. Rohadi tengah jadi perbincangan hangat mereka. Belakangan, ada perempuan yang kerap menyambangi rumah Rohadi. Padahal istrinya sedang bekerja menjadi TKW di Malaysia. Besar kemungkinan perempuan itu adalah simpanan Rohadi. Begitu kata ibu-ibu itu, sambil membolak-balik sayur-mayur di depan mereka.

“Suami mana yang betah ditinggal lama istrinya?” pertanyaan yang terlontar dari balik masker Atun.

“Betul juga, ya,” Nonik hanya mengangguk.

“Tapi Rohadi memang tak tahu diri. Istrinya jauh-jauh pergi mencari uang, dia malah main perempuan,” kali ini Atun bernada agak geregetan.

“Sudah pengangguran, seenaknya sendiri. Memang Rohadi itu lelaki berengsek,” giliran Sisri meluapkan kekesalannya.

Tak perlu waktu lama, kabar perselingkuhan Rohadi tersiar ke penjuru kampung. Awalnya kabar itu hanya lirih terucap dari satu mulut ke mulut. Tapi kini telah terdendang. Seperti memang sengaja diteriakkan ke telinga orang banyak. Oleh siapa lagi kalau bukan ibu-ibu itu.

Baca juga  Hari Kemenangan

Hingga suatu hari Rohadi tahu, bahwa dirinya sedang menjadi buah bibir. Hal itu membuat Rohadi terpukul. Sebab sebenarnya perempuan yang kerap bertandang ke rumahnya ialah Sulis. Temannya di sekolah dulu. Sulis berkunjung ke rumah Rohadi karena membutuhkan bantuan, dan hanya Rohadilah yang mampu menolongnya. Rohadi pun tak perlu menebak siapa penyebar kabar itu.

Sebenarnya, mereka berkali-kali diingatkan oleh suami masing-masing. Namun mereka berkilah, bahwa hal itu suatu kewajaran yang niscaya dilakukan setiap ibu-ibu di manapun. Mereka memang tidak membenci kabar baik. Hanya lebih menyukai kabar buruk. Mereka tak memiliki keadilan, bahkan sejak dalam pikiran. Sebab kabar buruk diri mereka sendiri, tak pernah mereka diskusikan dan tetap tersembunyi di kantong ingatan. Padahal sejatinya mereka juga punya aib. Hanya saja Tuhan belum membongkarnya.

Siapa sangka, jika Atun semasa mudanya pernah jadi PSK. Bahkan suaminya sendiri tak mengetahui hal itu. Sementara Nonik sampai hari ini tidak akur dengan mertuanya. Sebab ia bukanlah menantu idaman sang mertua. Sisri tak kalah keji. Ia adalah penyebab kematian suami pertamanya. Lebih tepatnya seorang pembunuh. Karena semangkuk sup yang dimakan suaminya, telah dicampuri racun mematikan. Motifnya adalah memperoleh harta. Kini Sisri sudah menikah lagi. Itulah mengapa sebutan biadab layak disematkan untuk Atun, Nonik, dan Sisri.

Wabah tak kunjung hilang, dan orang-orang masih harus menutup mulut dengan masker. Begitu pula Atun, Nonik, dan Sisri yang tak pernah menanggalkannya. Dan pada suatu ketika, mereka mendapat kiriman masker. Masker yang berbeda dari masker pada umumnya. Masker yang lebih tebal. Lebih aman, dan pasti menyehatkan. Masker itu bukan hanya melindungi dari wabah, namun virus-virus lain yang lebih jauh berbahaya. Masker itu menjamin keselamatan, tak hanya jasmani, bahkan juga rohani.

Baca juga  Sulap

Seorang lelaki mengirim masker itu. Mulai dari Atun di suatu hari. Nonik dan Sisri di hari berikutnya, dan berikutnya lagi. Lelaki itu mengirim masker ketika Atun, Nonik, dan Sistri tengah di rumah sendiri, karena suami mereka sedang bekerja. Masker ini memang khusus untuk ibu-ibu itu, sangat spesial. Masker itu terbuat dari kulit manusia, berbentuk telapak tangan. Menerkam membisukan mulut mereka. Satu persatu. Mengantarkan mereka ke alam lain. Agar bisa menggunjing di hadapan banyak malaikat. Rohadilah pengirim masker itu. Penutup mulut ibu-ibu tukang gosip dan fitnah. Masker spesial itu membungkam mulut mereka selamanya. ***

.

.

Indarka PP, lahir di Wonogiri (Jawa Tengah) 2 Oktober 1997, sedang menyambi di Fakultas Syariah, IAIN Surakarta. Beberapa tulisan termuat di Jawa Pos, Solopos, Tribun Jateng, Radar Cirebon, Medan Pos, Takanta.id, Locus.co.id, Takselesai.com, dan Apajake.id.

.
Masker Spesial. Masker Spesial.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!