Cerpen Indah Wulandari Pulungan (Medan Pos, 04 Oktober 2020)
KACAMATA hitam adalah aksesoris wajib yang dikenakan oleh Alif setiap harinya. Orang-orang di kampungnya pun melabelinya dengan sebutan si kacamata hitam. Pasalnya, ia selalu menggunakan kacamata hitam ke mana pun ia pergi. Membeli sebatang rokok ke warung di sebelah rumahnya pun ia tetap memakai kacamata hitam. Bahkan di dalam rumahnya ia tetap memakai perkakas wajibnya itu. Keluarganya mungkin sudah paham dengan keadaannya, namun tidak dengan orang-orang di sekitarnya. Ia dianggap sebagai pria sinting yang berpenampilan necis.
“Lihat itu jeng, si kacamata hitam sudah keluar dengan vespa bututnya.” ejek nyonya-nyonya kampung, di tongkrongan gerobak sayur milik pak Bambang.
“Kasihan banget perempuan yang jadi istrinya, harus banyak-banyak bersabar melihat kelakuan gilanya itu.” tukas nyonya lainnya.
Mita, istrinya Alif sudah legowo dengan omongan kasar para tetangga terhadap kebiasaan suaminya itu. Wajar saja, sejak pindah ke rumah yang saat ini mereka tempati, orang-orang belum pernah melihat bola mata suaminya itu. Awalnya, orang-orang kampung mengira suaminya itu buta. Tapi setelah melihat ia bisa mengendarai vespa bututnya, dugaan demidugaan bahwa ia buta telah sirna begitu saja.
Acap kali saat membeli bahan-bahan makanan ke warung di sebelah rumahnya, Mita selalu diserbu oleh ratusan pertanyaan dari nyonya-nyonya di kampungnya yang berpenampilan norak dengan memamerkan mas xuping di lingkar tangan dan lingkar lehernya. Tak lupa juga jari-jarinya dipadati oleh tembaga-tembaga berwarna emas itu, yang wujudnya hampir sama dengan emas murni jika dilihat sekilas.
“Eh Mita, suamimu itu kalau tidur pakai kacamata hitam juga?”
“Kalau mandi pakai kacamata hitam juga tidak?”
“Suamimu itu kenapa sih pakai kacamata hitam tiap hari?”
“Apa kacamata hitam yang dipakai suamimu itu kacamata ajaib?” pertanyaan secara bertubi-tubi dilontarkan oleh perempuan-perempuan hedonisme itu kepada Mita.
Mita hanya membalas pertanyaan itu dengan sungging tipis di ujung bibirnya, sambil segera membayar belanjaannya dan pulang ke rumah. Ia sudah muak dengan ocehan dari mulut tetangganya kepada suaminya itu. Ia selalu berpikir, kenapa orang-orang terlalu sibuk untuk mencerca kekurangan orang lain. Kenapa mereka tidak bisa berpikiran positif saja dengan kelakuan suaminya itu dan tidak berpikiran yang macam-macam. Kadang hatinya terasa sakit mendengar cacian semua orang kepada suaminya, ia merasa iba kepada suaminya.
“Bang, aku sudah tidak tahan dengan cacian tetangga yang menghinamu. Sudahlah bang, jika mereka hendak melihat matamu, bukakan saja kacamata hitam itu. Biar mereka puas.” rengek Mita kepada Alif di meja makan, saat mereka sudah selesai menyantap makan malam.
“Sabar sayang. Kau tak perlu mendengarkan semua ocehan mereka. Kuatkan saja hatimu. Aku takut mereka akan menyesali perkataan mereka di kemudian hari nanti.” jawab Alif, sambil menggosok punggung istrinya yang tidak gatal itu.
“Ya sudahlah kalau itu yang abang mau.” desis Mita.
Alif tidak pernah patah semangat mendengar cacian orang-orang terhadap dirinya. Ia tetap mencari nafkah seperti hari-hari biasanya, guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Hidupnya bisa dikatakan lebih dari cukup. Namun, ia dan istrinya adalah orang yang tahu diri, tidak pernah menyombongkan apa yang mereka miliki. Baginya, semua itu adalah titipan yang harus disyukuri dan harus diikhlaskan jika suatu waktu akan diambil kembali oleh yang memiliki.
Alif bekerja sebagai editor di salah satu penerbitan terbesar yang ada di daerahnya. Gaji yang ia dapat sudah lebih dari cukup untuk istri dan dua anak kembarnya, yang saat ini baru menginjak usia 4 tahun, buah hatinya bersama Mita, sang istri tercinta. Ia selalu bermimpi untuk bisa mendirikan penerbitan sendiri. Untuk itu, ia harus sedikit bekerja keras demi mengumpulkan modal untuk impiannya itu.
Terkadang, matanya terasa perih saat terlalu lama memeriksa naskah-naskah yang harus diselesaikannya dalam waktu dekat. Tentu saja saat bekerja ia harus melepas kacamata hitamnya itu. Agar, naskah yang akan ia edit dapat terlihat dengan jelas dan terang.
“Bang, nanti kalau abang sudah selesai bekerja. Mita titip beli martabak bangka ya bang. Jangan lupa dibeli ya bang.” desis Mita kepada suaminya lewat telepon.
“Oke sayang. Nanti abang pulang sekitar jam 5 sore.” balas Alif kepada istri yang sangat dicintainya itu.
Selesai bekerja, Alif tak lupa untuk membeli martabak bangka, pesanan istrinya itu. Ia membeli dua kotak. Satu kotak, rasa keju coklat pisang dan kotak lainnya rasa srikaya nanas. Hatinya sangat gembira membeli pesanan istrinya yang tengah mengandung anak ketiganya itu. Anak kedua seharusnya, tetapi anak pertama mereka kembar. Jadi ini adalah anak ketiga mereka. Alif tak sabar melihat istrinya menyantap martabak yang diidamkannya itu.
Sesaat hampir sampai ke rumah, hanya jarak beberapa rumah dari rumahnya. Alif diserempet oleh mobil bak yang membawa kambing-kambing untuk disembelih di rumah potong. Alif terjatuh dan tak sadarkan diri. Orang-orang yang berada di sekitar kejadian itu langsung berlari pontang-panting untuk mencari pertolongan.
“Mita… Mita… Suamimu kecelakaan. Cepat kemari, lihat suamimu itu, dia terkulai tak berdaya.” jerit salah seorang warga, yang langsung berlari mengabarkan berita duka kepada Mita, yang tengah mengandung itu.
Mita terkejut tak percaya mendengar kabar itu. Ia langsung berlari ke luar rumah untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Tak jauh dari rumahnya, ia melihat orang-orang berkerumun di hadapan lelaki yang sedang terkulai lemah tak berdaya di atas jalan aspal itu. Mita kemudian mendekat dan menangisi bangkai suaminya itu.
Orang-orang yang berkerumun itu hanya bisa tunduk dan menyesali perbuatan mereka selama ini. Mereka meneteskan air mata, saat melihat kacamata hitam yang telah remuk itu tergeletak di sisi kiri Alif, si kacamata hitam yang sering mereka caci.
Akhirnya mereka mengetahui alasan sebenarnya kenapa Alif selalu memakai kacamata hitam. Sebelah mata Alif rusak parah akibat terkena siraman air keras beberapa tahun yang lalu, sebelum mereka pindah ke rumah itu.
Sesal hanya tinggal sesal, tak akan dapat menghidupkan orang yang sudah tak bernyawa lagi. Orang yang sesaat lalu sangat ingin melihat wajah istri dan anak-anaknya, orang yang sesaat lalu dan di sisa umurnya selalu di caci maki karena menggunakan kacamata hitam. Kini ia telah tiada. Mimpi-mimpi yang ada di balik kacamatanya, pada akhirnya dapat dilihat oleh seluruh umat yang mencelanya.
.
.
Indah Wulandari Pulungan, mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Andalas. Aktif berkegiatan di komunitas literasi Lapak Baca Pojok Harapan. Penulis kitab cerpen Titian Senja ini lahir di Kota Sibolga, pada tanggal 30 Oktober tahun 2000. Karya-karyanya telah terbit di berbagai media massa dan terhimpun dalam beberapa antologi.
.
Alif dan Kacamata Hitamnya. Alif dan Kacamata Hitamnya. Alif dan Kacamata Hitamnya.
Leave a Reply