Cerpen Rian Ibayana (Medan Pos, 04 Oktober 2020)
AROMA kopi hitam asli Cikajang Garut, menyeruak ke sudut kamar Noerlistanto. Belakangan ini bapaknya kembali menjadi pecandu kopi, padahal lebih dari sepuluh tahun dia berhenti minum seduhan yang mengandung kafein tersebut karena masalah lambung. Suara benturan sendok ke sisi cangkir ketika bapaknya mengaduk kopi, terdengar jelas ke kamar Noerlistanto, sehari dia bisa mendengarkan tiga kali suara benturan sendok ke sisi cangkir tersebut.
Noerlistanto mengambil topi pet kotak-kotak andalannya, kemudian mengemas berbagai perlengkapan fotografi untuk melakukan perburuan. Dia berencana pergi ke kota kecamatan di selatan Bandung. Menurut informasi yang beredar, aktivitas masyarakat di sana masih berjalan normal, suasana tetap ramai seperti sedia kala. Dia berharap bisa mendapatkan hasil maksimal dalam perburuannya hari itu. Dia juga berencana mau membeli kopi asli daerah tersebut yang terkenal lebih manis dari kopi dari daerah lain.
Sejak tamat sekolah menengah atas, Noerlistanto yang lebih akrab disebut Noer memang lebih menekuni hobinya daripada bekerja. Berbekal sebuah kamera hadiah dari pamannya ketika ulang tahun ke-17, Noer kerap mengisi waktunya dengan memotret bebas. Awalnya Noer senang memotret pemandangan, namun karena jenuh, dia beralih memotret binatang-binatang kecil, seperti kupu-kupu, capung, dan serangga. Dan sekarang dia lebih suka memotret keadaan sosial masyarakat.
Berkat ketekunannya dalam mengolah mata lensa dan berburu objek-objek menarik. Dia berhasil menjadi juara ketiga lomba fotografi tingkat nasional yang diadakan oleh kementrian pariwisata. Prestasi tersebut membuat seorang pemilik majalah nasional meminta Noer untuk bergabung di dalam perusahaannya. Sebagai fotografer khusus untuk rubrik senyum, rubrik andalan majalah tersebut, sebuah halaman yang selalu menyajikan foto-foto insan yang sedang tersenyum. Tanpa berpikir panjang, Noer langsung menerima, karena pekerjaan tersebut sejalan dengan hobinya. Dia bekerja dengan senang hati dan mempunyai kode nama samaran yaitu Lancah Maung.
“Semoga perburuanmu hari ini, mendapatkan hasil memuaskan.” ungkap bapak Noer sambil menepuk pundak anaknya.
Noer menganggukkan kepala, kemudian memasukan secarik kertas ke dalam saku jaketnya. Kertas yang bertuliskan alamat kedai kopi di selatan Bandung yang akan dia kunjungi. Dia kemudian melesat mantap menggunakan motor astrea tahun 90-an yang biasa dia panggil Kyai Garden. Entah apa alasannya dia memberikan nama itu pada kuda besinya.
Berburu senyum adalah pekerjaan yang gampang-gampang susah. Begitu banyak jenis senyuman di dunia ini. Noer dituntut bisa mendapatkan foto senyum dalam situasi apapun. Inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi Noer dalam menjalankan tugasnya. Pertama kali bekerja, Noer ditugaskan untuk berburu senyum anak-anak. Dia berburu ke taman-taman kota yang banyak dikunjungi anak-anak, sesekali dia pergi ke sekolah-sekolah, kadang-kadang dia pergi ke arena hiburan anak, baik yang ada di mall maupun yang di luar ruangan. Atasannya sangat puas dengan hasil bidikan Noer, lebih dari 10 foto karya Noer selalu tayang setiap majalahnya terbit. Tampak senyum keceriaan yang disuguhkan dari hasil bidikannya.
Kemudian Noer ditugaskan untuk berburu senyum lapisan bawah masyarakat yang berada diperkotaan. Di sini hati Noer mulai meringis, menyaksikan potret kehidupan masyarakat bawah yang sangat menyedihkan. Noer berburu ke pemukiman-pemukiman kumuh di tepi kali, gubuk-gubuk kardus di dekat rel kereta api, ataupun emperan toko yang banyak dipakai tidur para gelandangan. Batinnya mulai diuji, bagaimana mungkin bisa menemukan senyum diantara kepedihan hidup.
Dari pemulung, pengemis, gelandangan, pengamen, kuli panggul di stasiun, Noer jarang menemukan senyum terbaik. Seandainya ada, senyuman getir yang tersuguh. Namun Noer tidak patah semangat, dia terus berburu hingga dia menemukan senyum penuh syukur dari bibir seorang nenek yang baru mendapatkan rejeki, senyum seorang lelaki paruh baya yang baru mendapatkan upah kuli panggul, senyum anak-anak jalanan yang mendapat beberapa keping uang hasil mengamen. Noer berhasil mengabadikannya.
Ketika musim pilkada atau pemilihan legislatif tiba, Noer mendapatkan stok senyum yang melimpah. Senyum penuh janji para calon kepala daerah, senyum penuh harapan dari calon anggota legislatif, ataupun senyum penuh kepalsuan dari para relawannya. Senyum bahagia para simpatisan partai yang telah mendapatkan jatah uang makan, senyum pengusaha-pengusaha yang diuntungkan dengan adanya pilkada. Senyum lapisan bawah masyarakat yang bahagia karena diiming-imingi janji dan harapan. Ketika musim pemilu berakhir, stok senyum sinis makin melimpah, stok senyum penuh kebencian dari pihak yang kalah betebaran. Demikian juga dengan senyum jumawa dari para pemenang maupun relawan-relawan yang bangga dengan kemenangan jagoannya. Noer dengan mudah mengirimkan hasil kerja kepada atasannya.
Adapun yang paling pelik bagi Noer adalah ketika ditugaskan ke sebuah provinsi yang dilanda bencana gempa bumi, sebuah pulau di bagian tenggara. Bagaimana mungkin dia bisa menemukan senyum di daerah yang terkena bencana alam. Noer berburu senyum hingga tenda-tenda pengungsian, menelusuri puing-puing reruntuhan, menyusuri lorong-lorong di rumah sakit tempat para korban dirawat. Batin Noer berkecamuk. Namun di sela bencana tersebut akhirnya Noer menemukan senyum penuh ketabahan, senyum penuh keikhlasan para korban. Serta senyum optimis untuk bangkit dari keterpurukan.
Noer juga pernah ditugaskan untuk beburu senyum ke daerah konflik, ditugaskan ke daerah yang sedang terjadi kerusuhan maupun berburu senyum di sela demonstrasi masa. Dalam situasi seperti itu, Noer selalu pasrah karena nyawa bisa menjadi taruhannya. Namun meskipun begitu Noer tetap semangat karena pekerjaanya tersebut selaras dengan hobi yang dia tekuni sejak dulu.
Noerlistanto mengendarai Kyai Garden dengan santai. Dia tahu, tempat yang dituju kali ini adalah daerah wisata yang kerap dikunjungi para turis. Dia menikmati setiap kelokan jalan, menikmati tanjakan-tanjakan yang sedikit berliku, juga menikmati pemandangan-pemandangan indah sepanjang jalan. Noer merasakan perubahan suhu udara dalam perjalanannya, semakin atas terasa semakin dingin. Setelah satu jam setengah menempuh perjalanan, akhirnya dia sampai di pusat kota kecamatan, Bandung selatan.
Akhir tahun lalu, dunia digemparkan dengan menyebarnya sebuah penyakit yang disebabkan oleh virus yang sangat ganas. Virus itu menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, WHO badan kesehatan dunia menetapkan sebagai pandemi. Lima bulan berlalu, para ilmuan dari seluruh negara berusaha membuat vaksin dan obat yang tepat buat menangani wabah tersebut, namun ikhtiar itu belum membuahkan hasil. Masyarakat dunia hanya bisa mencegah dengan melakukan sosial distancing, rajin cuci tangan, menghindari kerumunan dan memakai masker jika terpaksa bepergian. Bahkan beberapa negara melakukan strategi lockdown untuk memutus mata rantai penyebaran virus tersebut.
Setelah memarkirkan Kyai Garden miliknya, Noer bergegas masuk ke taman kota, suasananya tampak ramai. Noer berpikir akan mudah mendapatkan banyak senyum jika melihat kondisi dan situasi yang ramai seperti itu. Noer duduk di sebuah bangku kayu, sambil mempersiapkan alat fotonya. Sesekali dia mencermati keadaan taman kota tersebut. Tampak ada beberapa kelompok anak muda duduk-duduk santai di atas rumput sintetis. Ada juga beberapa keluarga yang berbincang hangat bangku taman.
Yang menarik perhatiannya adalah ada satu keluarga yang tampak ceria, terdiri dari suami istri dan dua orang anak, yang satu anak perempuan kurang lebih 12 tahun, yang satu lagi anak laki-laki kurang lebih 6 tahun. Terdengar gelak tawa dari mereka. Namun gelak tawa itu terbungkus kain masker, Noer kesulitan untuk mengabadikannya. Noer mencoba mencari buruan lain, namun sisa-sia, semua pengunjung taman tersebut memakai masker.
“Lancah Maung, apakah sudah mendapatkan hasil perburuan, ingat besok harus udah ada foto yang masuk ke meja redaksi?” sebuah pesan masuk dari atasanya.
Noer belum bisa menjawab pesan dari atasannya tersebut, dia masih berusaha mendapatkan potret senyum terbaik. Namun nihil. Semua orang yang berada di taman kota menggunakan masker. Sempat ada ide untuk membujuk dengan mengiming-imingi uang kepada beberapa pengunjung agar membuka masker dan pura-pura tersenyum. Namun nuraninya tidak membenarkan cara curang tersebut. Noer paham betul situasi di kala pandemi seperti sekarang membuat masyarakat wajib memakai masker sebagai protokol kesehatan dari badan kesehatan dunia. Yang berimbas kepada perkerjaannya, sangatlah sulit bisa menemukan senyum terbaik dalam situasi seperti itu. Noer berpikir, kalaupun mereka membuka masker, niscaya yang tersaji adalah senyum penuh kegetiran, senyum yang dibalut rasa takut ataupun senyum kepura-puraan.
Akhirnya Noer putus asa, dia duduk termenung di sebuah bangku kosong, di sudut taman kota. Pikirannya melesat jauh ke sebuah masa di mana senyum telah terenggut dari kehidupannya. Masih terbayang di matanya, kenangan pahit ketika seorang ibu yang dia sayangi mencampakan dirinya. Pergi jauh bersama seorang lelaki yang bukan pasangan halalnya. Meninggalkan Noer bersama bapaknya. Sejak kejadian pahit itu, Noer tidak pernah tersenyum sama sekali. Ini sangat bertolak belakang dengan pekerjaanya sebagai pemburu senyum. Ya sangat bertolak belakang.
Noer merogoh sebuah kertas di dalam saku jaketnya, kemudian mencermati alamat sebuah kedai kopi yang terkenal di selatan Bandung itu. Setelah membereskan perlengkapan fotografinya, Noer bergegas untuk mengunjungi alamat kedai kopi tersebut. Tiba-tiba terlintas bayangan bapaknya sedang tersenyum bahagia, mendapat bingkisan kopi dari anaknya. Ya, itu lebih baik pikirnya. ***
.
.
Rian Ibayana lahir di Ciwidey, Bandung Selatan. 25 April 1988. Bergiat di Kawah Sastra Ciwidey dan mengelola perpustakaan Sarang Buku Ciwidey. Sekarang tinggal di Kp Ciwidey Tengah.
.
Rubrik Senyum. Rubrik Senyum. Rubrik Senyum. Rubrik Senyum. Rubrik Senyum.
Leave a Reply