Cerpen, Gandi Sugandi, Pikiran Rakyat

Pengorbanan Bapak

Pengorbanan Bapak - Cerpen Gandi Sugandi

Wajah Alam ilustrasi Zulfa Nasrulloh/Pikiran rakyat

5
(1)

Cerpen Gandi Sugandi (Pikiran Rakyat, 23 September 2020)

 

TELAH cukup lama Uman duduk di atas rumput seraya memeluk lutut di tepi lubuk. Uman sedang bingung tak kepalang, tersebab dua minggu menjelang akan menikahkan anak sulungnya dengan orang kota—yang bekerja di satu perusahaan tekstil. Kemarin pagi, istrinya bicara. “Kau sudah sampai di mana untuk persiapan Marni? Tetangga kita seminggu yang lalu menikahkan anaknya, meriah dengan menanggap organ tunggal. Orang sedesa pun datang menonton. Masa kita nanti ijab-kabul saja, tanpa ada perayaan?”

“Salahmu juga, ingin cepat-cepat punya menantu. Mereka kan baru kenal dua bulan. Bagaimana kalau ternyata dia bukan laki-laki baik-baik?” Uman berusaha menepis.

“Bagiku, asal-usulnya sudah jelas, jangan diungkit-ungkit lagi. Mengundur-ngundur waktu untuk menikahkan anak itu, pamali.”       

“Iya.. Tapi coba kalau hajatannya nanti-nanti saja, jadi ada waktu buat ngumpulin uang.” Uman risau.

“Ini bulan Dzulhijah, bulan yang baik untuk menikahkan..”                            

Kali ini Uman memungut kerikil, melemparkan sejauh-jauhnya, melintasi sungai. Pletak! Menimpa satu batang bambu di tengah-tengah rimbunannya.          

Saat senja merah telah tibalah, Uman memutuskan pulang. Uman tetap tidak bisa memperkirakan, kenapa ketiga orang yang ditungguinya tidak jadi datang menemui. Tetapi Uman tidak berkecil hati, kemarin malam itu, salah seorangnya berkata, “Kalau tidak besok, ya lusanya.”                                                 

Di hari kedua mereka berjanji, Uman kembali menunggu selepas Asyar, kali ini sengaja sekalian membawa alat pancing untuk membunuh waktu, membenamkan diri tekun, seraya selalu mengharap kedatangan mereka.           

Sama saja rupanya seperti kemarin, harus menanti sekian lama—meskipun kali ini terhibur, tersebab mendapatkan beberapa ekor ikan. Ketika pancingan pada ke sekian kalinya tersangkut, Uman benar-benar gembira, dari kejauhan tampak Bana preman desa dengan dua orang kawannya berjalan tergesa-gesa. Mereka membawa serta dua bilah gergaji panjang.      

“Kemarin, kalian ke mana?” Uman gusar.                                            

“Maaf kawan. Aku ada urusan dulu..” Bana tak mau mengalah. “Tetapi sebetulnya di antara kita, siapa kan yang lebih butuh?”                                         

Baca juga  Genderuwo

Namun mendadak, di hati kecil Uman tumbuh ragu untuk melaksanakan rencana. Bana dan dua kawannya yang terbiasa dengan yang beginian, kemudian meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Uman pun akhirnya berbulat tekad, lagi pula memang sudah kadung kepepet—jalan lurus ataupun jalan pintas meskipun sesat untuk mendapatkan uang akan disusuri saja. Berempat juga yakin tidak akan tertangkap basah. Di pinggir hutan milik yang jauh dari desa ini, mereka pun tidak berlama-lama bicara.

Banalah yang mengatur—memang yang paling berpengalaman. Menyuruh semuanya mendongak,  mengamati tegakan-tegakan jati. Salah seorang teman Bana menunjuk ke salah satu pohon yang lurus. Segeralah mereka membersihkan semak di sekitar pohon yang berdiameter sekitaran 25 cm di hutan milik Pak Haji ini.                                

Bana juga yang menentukan ke mana arah pohon tumbang bila ditebang, sehingga bila pohon rubuh akan menimpa dahan-dahan pohon-pohon lain. Selain untuk menghindari pecah banting, juga untuk meminimalisasi suara debum kejatuhannya ke tanah—sehingga tidak begitu riuh, tidak begitu terdengar orang di desa terdekat.

Bruuk! Satu pohon pun rebah.

Setelah beres memotong-motongnya, Bana bertanya. “Aku rasa, segini cukup untuk menambah biaya pernikahan anakmu, Uman?” 

“Kau bergurau. Tentu ini belum cukup. Dua pohon lagi.”       

“Baiklah.” Bana mengulangi perintahnya. Kembali, satu batang pohon jati, dan disusul satu batang lagi pun tumbang digergaji mereka bersamaan dengan kebasahan keringat yang kesekian kali di punggung-punggung.      

Bana dan dua temannya kemudian kembali memotong-motong batang jati. Sedangkan Uman memunguti ranting-ranting kering lalu membakarnya, katanya hendak membakar ikan untuk santap malam mereka. Bana langsung menghardik. “Padamkan! Titik api bisa terlihat dari arah desa, menjadi penarik perhatian orang untuk datang ke sini. Ikan-ikan itu dibawa saja ke rumah.” Uman gegas menyabit semak-semak yang ada di dekatnya, memukul-pukulkan pada api agar padam.      

Baca juga  Hidayah di Ujung Sya’ban

Berempat lalu mulai menggergaji, menjadikan beberapa potongan sesuai ukuran yang diinginkan pasar perkayuan. Kemudian, mereka dengan bertahap mengangkutnya pada pick up yang sudah berparkir di pinggir jalan.     

Malam telah gelap ketika semua potongan kayu telah berpindah ke satu tempat.

Bagi Uman, ini pekerjaan yang pertama kalinya. Uman sering gugup sejak awal sampai akhir—jantungnya juga berkali-kali selalu berdegup, berdetak lebih kencang.           

***

Pikiran Uman masih saja tak tenang menjelang satu minggu menikahkan anaknya. Semua uangnya yang terkumpul habis untuk membayar di muka kontan: sewa alat-alat pesta, sewa gaun pengantin, pembuatan kartu undangan, hidangan mentah, dan biaya administrasi ke kantor penghulu.                                       

Uman kembali mendengar istrinya mengeluh. “Pak, mana uang untuk nanggap organ tunggal?”

Kali ini berdua berpikir keras. Sekian waktu berumah tangga, yang dimiliki hanya rumah gedek yang ditinggali sekarang dan sepasang kambing. Terbersit satu keinginan dari istri Uman, hendak menjual hewan ternaknya untuk menutupi kekurangan biaya. Namun rupanya Uman tak mau.

“Ya sudah…” Istrinya terbawa ragu.                                                    

“Tetapi harus bagaimana lagi?” Uman bimbang.                                                          

“Kau temui lagi Bana? Dia kan ahlinya.” Istri Uman mengajukan ide terakhir.

Bana uring-uringan ketika Uman menemui dan mengutarakan maksudnya. Takut keberuntungan mereka sudah habis. Tak ingin lagi mengambil pohon jati punya orang. Bana memilih cara lain, lebih baik mencuri kambing saja. Namun Uman tak tahu bagaimana caranya. Juga baginya, terlalu beresiko. Takut jika hewan itu di tengah jalan terus-menerus berontak, mengembik-embik, yang bila apes, malahan tepergok, bisa dihakimi orang sedesa.

“Bagaimana?”   

Uman gamang.                                                                                     

“Dipikir-pikir lagi sampai matang.” Bana ingin Uman bulat hati dahulu, seperti ketika beberapa waktu lalu menebang jati.                                    

“Iya-iya. Baiklah..”                                                                   

Lalu pada pagi yang lembap, pukul 02.00 dini hari, berdua berboncengan motor ke desa tetangga untuk survai dahulu, mencari satu kandang yang lampunya sedang padam. Di pertigaan satu jalan kecil itu, ditemukan pula, Uman pun bersiaga di atas motor. Bana mengendap-ngendap mendekati kandang. Daun-daun kering yang terinjak menimbulkan suara berisik. Bana menenangkan diri. Seraya mengucapkan mantra, menggigit telinga kambing yang montok dengan perlahan. Darah kambing yang keluar dijilatnya sehingga kambing menjadi penurut ketika dituntun, dinaikkan ke atas motor, dan selalu terdiam di pangkuan Uman dalam laju motor. 

Baca juga  Raja dan Batu Langit

Mereka bertemu seseorang. Uman pun mendapat bagian sesuai perjanjian.

***

Bisa dihitung dengan jari, rombongan motor dan mobil pengantin dari kota. Semua berjajar parkir di badan jalan yang sempit berbatu. Pengantin pria dan wanita serius mendengarkan petuah dari ustaz setempat. Hidup baru sudah di depan keduanya. Kemudian mempelai tak henti-henti senyum seraya menerima uluran tangan tamu undangan.

Organ tunggal yang ditunggu penduduk desa pun menghentak. Beberapa pemuda naik panggung berjoged. Lagu-lagu yang sedang terkenal dinyanyikan. Bana datang saat siang terik, bersama dua orang yang tidak dikenali Uman.

Uman yang sedang duduk di pelaminan menunggu tamu datang, diajak Bana ke belakang rumah. Di dekat kandang kambing milik Uman, ternyata sudah menunggu dua orang petugas berwenang yang berpakaian preman—salah satunya memegang pancingan bercat biru.. Pertanyaan-pertanyaan pun berhamburan diajukan. Uman tak bisa berkelit, pancingan itu memang miliknya yang dulu tertinggal.                    

Pada akhirnya, Uman hanya bisa pasrah. Membayangkan, bahwa yang akan terjadi selanjutnya adalah buram. ***  

.

.

Bandung, Juli 2020

Gandi Sugandi, alumnus Sastra Indonesia Unpad tahun 2000.  Mulai tahun 2002 bekerja di Perum Perhutani. Tahun 2014, 2015 mendapatkan penghargaan sebagai karyawan berprestasi. Saat ini  sebagai staf  Komunikasi Perusahaan KPH Bandung Selatan.

.
Pengorbanan Bapak. Pengorbanan Bapak. Pengorbanan Bapak. Pengorbanan Bapak. Pengorbanan Bapak.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!