Cerpen Kak Ian (Radar Madiun, 04 Oktober 2020)
HAL yang paling menakutkan dan tidak ingin terjadi lagi padaku adalah jangan sampai Rosma berbuat ulah kembali di kampung kami ini.
Ya, akhir-akhir ini kampung kami selalu dibuat gaduh oleh Rosma. Rosma, anak dari pasangan Ruslan dan Hanun. Ia sering kali menceracau tiada keruan sekaligus sering membuat seisi kampung mengelus dada. Apalagi jika sudah melihat Rosma seperti cicak merayap ke tembok bahkan ke atas atap.
Dan orang-orang yang ingin membantu menyadarkan Rosma tiada seorang pun yang mampu. Itu pun aku mengetahuinya dari mulut mereka yang pernah melihat Rosma saat sedang berperilaku aneh.
Aku yang bertetangga dengan Rosma sebenarnya tidak tega melihat sahabat baikku sejak di bangku SMA itu menjadi demikian. Apalagi jika aku yang tiap kali menatap ke arah rumahnya, sudah bisa mengetahui bagaimana keseharian Rosma.
Oh ya, Rosma masih gadis. Belum sama sekali terjamah oleh tangan para lelaki. Padahal ia seumuran denganku yang sudah beranak pinak.
Ya, ini bukanlah sekali aku melihat keanehan yang ditimbulkan oleh Rosma, bahkan sering kali. Pernah juga saat Upik, anakku yang paling sulung, seusai pulang sekolah dia tidak sengaja melihat Rosma memotong rambutnya secara semrawut dengan memakai mata gunting yang begitu tajam. Saat itu ia hanya seorang diri!
Anakku yang masih remaja itu tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa melihat. Begitu saat Upik menceritakan kondisi Rosma padaku saat itu.
Hingga suatu malam sebelum menutup buku pelajaran, Upik diam-diam bertanya padaku—yang sedang menjahit seragam Unai yang koyak karena terjatuh di kelas. Ia menghampiriku dan bertanya kenapa Rosma selalu seperti itu.
“Mak, boleh aku bertanya tentang Uni Rosma?” tanya Upik sambil mendekatiku di kursi tamu depan.
Aku pun langsung membenarkan posisi dudukku. Lalu bersiap kembali menjawab.
“Iya, ada apa, Sayang?”
“Kenapa ya Uni Rosma seperti itu, Mak? Tadi sore seperti hewan melata. Seperti cicak. Kan aneh, Mak,” kata Upik sepolos mungkin.
Aku berhenti sejenak menjahit seragam Unai yang hampir selesai. Kemudian aku menatap Upik dengan saksama. Sambil mengelus rambut Upik, aku mulai berkisah.
“Uni Rosma itu kena guna-guna dari seorang laki-laki yang patah hati padanya. Uni Rosma pernah menolak lelaki itu bahkan sampai menyakiti dengan ucapannya yang sangat menyakitkan. Tentu bagi yang mendengarnya sangat sakit seperti sembilu. Nah, sampai sekarang guna-guna itu masih melekat di tubuh Uni Rosma sebelum lelaki itu mau memaafkannya,” panjang lebar aku memberi tahu Upik.
Upik hanya menyimak. Kemudian ia kembali bertanya.
“Amak tahu siapa lelaki yang tega mengguna-guna Uni…?”
“Sudah malam! Besok kan kamu sama Unai berangkat pagi ke sekolah. Ayo lekas ke kamar.” Aku langsung memenggal ucapan Upik. Sedangkan Upik masih penasaran oleh ucapanku.
Akhirnya dengan gontai Upik masuk ke kamarnya. Unai sudah lebih dulu memejamkan mata. Aku pun menyusul kemudian.
***
Seminggu kemudian Rosma masih seperti sedia kala. Merayapi tembok dan atap rumah kemudian menjerit dan meronta-ronta. Lagi-lagi aku diberi tahu oleh Upik jika sepulang sekolah ia kembali melihat Rosma melakukan hal aneh.
Menurut Upik, seusai Rosma merayap seperti cicak ia langsung dibawa ke kamar. Lalu diikat oleh kedua orang tuanya—yang sudah aku anggap mamak dan etek itu—agar tidak lagi berulah. Aku hanya bisa mengelus dada.
***
Malam selanjutnya Upik kembali bertanya padaku. Malam itu begitu sunyi apalagi. Ditambah di luar sana dipenuhi orkestra suara hewan nokturnal. Semua menjadi makin senyap malam itu. Tapi, di malam itulah semua rahasia Rosma terungkap.
“Mak, kemarin sepulang sekolah etek bilang kepadaku, jika Upik ini adalah anak dari lelaki yang menggunai-gunai anak gadisnya itu. Apakah yang dimaksud etek adalah apak, Mak?” Upik begitu penasaran menanyakan hal itu padaku.
Aku diam sesaat.
“Iya, yang dimaksud itu adalah apak-mu! Tapi amak sudah membujuk apak untuk memaafkan Uni Rosma. Tapi apak-mu tidak mau!”
Akhirnya meluncur jugalah semua rahasia asal muasal Rosma yang seperti hewan melata itu. Semua keluar dari mulutku sendiri.
“Apak-mu bilang, biarlah itu jadi balasan orang yang sudah menolak pinangan dari seorang laki-laki melalui mulut pedasnya itu,” lanjutku kembali menjelaskan pada Upik.
Upik yang mendengarkan ucapanku langsung terpaku. Dia terus bertanya padaku demi menjawab keingintahuannya.
“Jadi, apak melakukan itu saat amak belum menjadi istri apak, begitu ya? Saat apak masih bujang?” tanya Upik menegaskan kembali.
“Iya, Sayang! Juga maafkan amak ya, tidak bisa membantu Uni Rosma, membujuk agar apak-mu mau mencabut guna-guna sijundai itu. Guna-guna yang memang sangat menyakitkan. Maka dari itu, kamu sebagai anak gadis amak satu-satunya, jagalah sikapmu pada semua orang. Jaga perangai dan cakapmu, khususnya pada kaum lelaki. Jangan pernah menyakiti mereka. Mengerti kan maksud amak-mu ini, Pik?”
Kali ini ucapanku membuat Upik limbung sekaligus termenung. Tampak dari pelipis keningnya keluar butiran bulat berwarna bening yang jatuh ke permukaan parasnya. Hingga tetiba kejadian di sekolah, lebih tepatnya di dalam kelas, Upik pun langsung bercerita padaku. Ia teringat pernah menyakiti teman sekelasnya bernama Agam. Saat ketua kelas itu ingin menyatakan rasa cintanya pada Upik. Tapi Upik malah meludahinya.
“Iya, Mak, aku meludahi Agam, teman sekelasku. Karena ia ingin menjadikan aku kekasihnya. Karena kesal, aku bilang saja begini, “Aku tidak sudi punya cowok macam kamu. Apalagi jika apak-nya hanya seorang tukang angkek!”
Aku yang mendengar ucapan Upik, seketika itu tubuhku kaku dan lidah pun kelu. Aku langsung membayangkan jika Upik nanti akan seperti cicak. Melata di tembok dan di atas atap seperti Rosma. Malam itu juga aku membawa Upik ke rumah Agam, teman sekolahnya itu, sebelum guna-guna sijundai ia lakukan pada Upik. ***
.
Keterangan:
Guna-guna sijundai adalah ilmu hitam yang terkenal di Sumatera untuk menyakiti seseorang. Terutama kaum perempuan sebagai bentuk balas dendam. Penerima guna-guna menjadi tidak sadar (gila) hingga bisa merayap menjadi cicak.
.
.
Kak Ian. Penulis dan aktivis anak. Aktif di Komunitas Pembatas Buku Jakarta.
.
.
Hapsah Amir
Idenya kerenn kk kr masih jarang penulis yang menggali cerita2 lokalitas seperti ini. Terus berkarya ya, kak
Kang Aep
Mantap ceritanya