Cerpen, Pensil Kajoe, Radar Banyumas

Berhala

Berhala - Cerpen Pensil Kajoe

Berhala ilustrasi Radar Banyumas

0
(0)

Cerpen Pensil Kajoe (Radar Banyumas, 04 Oktober 2020)

ARIEF bangun lebih awal, sementara Patricia masih terlelap di balik selimut tebalnya. Perempuan yang dinikahi setahun lalu memang membuat laki-laki empat puluh lima tahun itu tergila-gila. Bukan hanya karena kecantikan istrinya, namun perempuan yang usianya jauh lebih muda memiliki karier lebih bagus dibanding dirinya.

Lelaki itu sangat beruntung, betapa tidak, dia dapat merebut hati seorang perempuan cantik dan memperistrinya. Meningkatlah gengsinya di mata teman-teman sekantor.

“Wah pengantin baru nih. Bagai mendapat durian runtuh kamu, Rief. Bisa memiliki istri secantik dan sekaya Patricia. Kasih tahu kami mantra pelet yang kamu baca agar kami bisa seberuntung dirimu,” seloroh teman sebelah mejanya.

Arief hanya tersenyum menanggapi.

“Akhirnya, pejantan kita terbukti benar-benar tangguh. Meski usianya tak lagi muda, tapi dia bisa menaklukan seekor ayam betina kualitas super… Hahaha.”

Mendapat gurauan seperti itu wajah Arief memerah menahan malu. Tetiba telepon selularnya berdering. Sebuah nama berkedip-kedip di layar, Patricia. Istrinya memanggil.

“Mas, jangan lupa apa yang aku pesan. Semua sudah kutulis dalam kertas itu, jangan sampai lupa kalau tidak ingin tak dapat jatah nanti malam.”

Arief berjalan menjauh, agar tak ada yang ikut menguping pembicaraan dengan istrinya.

“Iya, Ma,” Arief menjawab dengan nada gugup.

“Ehm ada yang dipantau terus nih. Mentang-mentang pengantin baru selalu saja ingin berdekatan,” ledek Edi.

***

Hanya saja baru beberapa minggu kehidupan keluarga baru Arief sudah menunjukan gelombang-gelombang kecil. Penyulutnya perjanjian antara dirinya dan Patricia sebelum pernikahan mereka lakukan. Perjanjian tersebut justru membuat dirinya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Baru dalam hitungan minggu ia telah merasa menjadi robot yang harus tunduk dan patuh pada setiap perintah istrinya.

“Mas, masih ingat kan apa yang pernah kamu tanda tangani sebelum menikah denganku? Aku harap Mas tidak pernah melupakan atau mengabaikan kalau tidak ingin nasibmu kembali seperti sebelum menikah denganku.”

Baca juga  Empat Puluh Hari Sebelum Mati

Arief hanya mengangguk, dia benar-benar merasa menjadi seorang hamba. Hamba yang harus menuruti apa yang diinginkan tuannya.

Mulai ada sesal ia telah menandatangani perjanjian itu, tapi apa mau dikata. Kertas bermaterai itu telah sah dan kuat sebagai jaminan kalau dia harus menyanggupi semua peraturan yang dibuat istrinya.

“Kepahitan dulu ternyata masih lebih manis daripada apa yang kualami sekarang,” batinnya.

Memiliki istri cantik, kaya memang menjadi impiannya sejak duduk di bangku SMP. Waktu itu ada teman sekelasnya seorang perempuan manis, berkulit kuning langsat. Arief pertama kali jatuh cinta pada perempuan anak seorang pegawai pajak. Kerap curi-curi pandang saat di dalam kelas, dia tak memiliki keberanian untuk menyatakan isi hati pada gadis idamannya. Arief sadar siapa dirinya, hanya anak seorang pegawai kelurahan. Kalau saja tak ada orang dermawan yang membiayai, dia tak akan pernah bisa bersekolah di tempat itu.

“Mas, jam tujuh malam nanti aku akan keluar. Ada acara bareng teman-teman kuliahku.”

Arief mengangguk kecil tanpa melihat ke wajah istrinya. Laki-laki itu tak berani protes meskipun dirinyalah yang semestinya menjadi kepala keluarga, tapi posisinya tak berarti apa-apa di dalam rumah tersebut.

“Ini salahku sendiri. Kenapa dulu mau saja menandatangani surat perjanjian itu?” sesalnya dalam hati.

Bisa saja dia menceraikan istrinya tapi dengan konsekuensi semua aset yang sudah diberikan akan ditarik kembali dan dia harus siap-siap terlempar ke jalanan seperti dulu.

“Tidak, tidak, aku tak mau lagi menjadi pengangguran. Aku malu kalau harus menggelandang, menawarkan ijazahku yang hanya sampai SMA. Biarlah aku menjadi seekor kerbau, asal mereka menganggapku sebagai laki-laki sukses. Toh mereka tak tahu apa yang terjadi di dalam rumahku,” Arief menenangkan diri. Meyakinkan bahwa apa yang telah menjadi pilihannya akan membawa kebahagiaan dalam hidupnya.

Baca juga  Kalah

Hampir jam setengah satu malam, Patricia belum juga pulang. Berkali-kali Arief menelepon selalu saja ponsel istrinya tak bisa dihubungi. Meski sebagai suami perjanjian, hati Arief merasa khawatir, di satu sisi ada rasa senang jika istrinya memang tak kembali dia akan terbebas dari tekanan “Si Bossy Patty”, begitu panggilan mesra Arief pada istrinya.

“Bagaimanapun juga perempuan itu istri sahku. Aku harus bertanggung jawab dan peduli pada keselamatannya. Aku tak ingin dianggap sebagai suami dzolim.”

Sambil menahan kantuk, Arief duduk di sofa dekat pintu. Dia menunggu istrinya pulang.

Arief benar-benar tak punya taring di depan istrinya, dia seorang suami yang takut istri. Apa yang diucapkan oleh istrinya harus dia kerjakan meskipun itu bertentangan dengan hati kecilnya.

Baru saja dia akan meluruskan badannya di sofa, terdengar suara klakson mobil. Arief menyingkap tirai jendela, dilihatnya seorang laki-laki turun dari mobil dan membukakan pintu.

“Patty? Dengan siapa dia pulang sampai selarut ini?” dada Arief bergemuruh, seperti ada kobaran api yang membakar.

Laki-laki itu mencium kening istrinya, tangan Arief terkepal, matanya memerah melihat perempuan yang dinikahinya dijamah oleh laki-laki lain.

“Belum tidur, Mas?” ucap isterinya sambil melangkah masuk tanpa melihat suaminya.

“Belum,” jawab Arief.

“Oh iya, tadi aku diantar teman kuliahku dulu. Dia sekarang menjadi direktur di tiga perusahaan miliknya.”

Kata-kata Patricia seolah sedang menyindir Arief yang hanya menjadi suami wayang. Arief pura-pura tak acuh.

“Loh mobilmu mana, Ma?”

“Tadi pas mama mau pulang, tetiba ada kerusakan pada mesinnya, padahal belum lama diservis kan?” ujar Patricia menjelaskan.

Arief tak berani bertanya lebih lanjut, dia lebih memilih bersikap pasif agar tak menimbulkan keributan di dalam rumah.

“Ya untung saja tadi ada Sapto yang mau mengantarkan Mama. Sayang, orang sesukses dan sekaya dia, sampai saat ini masih belum punya istri.”

Baca juga  Īn Nīz Bogzarad

Arief tak habis pikir, kenapa dari tadi istrinya selalu saja memuji laki-laki lain di depannya. Apalagi Patricia mengatakan kalau temannya masih single. Arief seperti seekor siput yang tak berani mendongakan kepala.

“Sudah, Mas. Mama mau tidur dulu. Fiuh … Seharian reuni membuat mama capek, tapi senang sih bisa bertemu kawan-kawan lama,” ujar Patricia berjalan meninggalkan Arief yang masih duduk di sofa.

Mata Arief menerawang langitlangit ruang tamu rumahnya. Dia merasa gerah walaupun dalam ruangan ber-AC.

Rasa takut membayanginya. Dia tak ingin kehilangan apa yang selama ini telah dimilikinya meskipun harga diri sebagai seorang laki-laki ditanggalkan demi mendapatkan apa yang selama ini menjadi impiannya.

Di kantor Arief memang seorang atasan, dia menjadi kepala bagian dari sebuah perusahaan kecil yang bergerak di bidang produksi sparepart produk elektronik. Dia sedikit punya wibawa di hadapan para anak buah. Namun saat di rumah dia adalah seorang suami yang taat pada perintah dan larangan istrinya. Tidak boleh sedikitpun membantah atau abai kalau tidak ingin dilemparkan lagi ke jalanan. Arief harus benar-benar tunduk pada perjanjian yang disepakatinya. Dia telah menjadi hamba dari berhala yang berwujud harta, tahta dan wanita. ***

.

.

Tumiyang, Pekuncen, 26 Agustus 2019

Pensil Kajoe. Lahir di Banyumas pada bulan Januari. Tulisan-tulisannya baik cerpen maupun puisi, sudah banyak yang dimuat di koran-koran tanah air. Dia juga sudah menulis 16 buku dan 20 antologi bersama.

.
Berhala. Berhala. Berhala. Berhala. Berhala.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d