Cerpen Farizal Sikumbang (Media Indonesia, 18 September 2016)
AKU bertemu dengan Angku Mudin pada siang hari. Angku terlihat sudah sangat tua kini. Seluruh rambutnya sudah memutih. Kulit tubuhnya mengkerut. Tulang pipinya menonjol. Punggungnya sedikit membungkuk. Tak ada lagi yang tersisa dari tubuh kukuhnya yang dulu. Yang abadi mungkin kesetiaannya saja. Kesetiaan pada pekerjaannya sebagai pembersih rumput sekaligus penjaga makam pahlawan itu.
“Sudah pulang dari rantau kau Buyung,” kata Angku Mudin dengan suara bergetar saat melihatku muncul di depannya. Angku Mudin lalu menatapku tajam. Dan aku merasa, sangat merasa, bahwa tatapan mata itu masih ada rupanya. Tatapan yang menyimbolkan bahwa Angku adalah salah seorang pasukan harimau itu. Mata itu, kuning muda. Tajam sorotnya. Mata yang sangat aku takutkan dulu.
“Ya Angku. Aku baru pulang dari rantau orang. Bagaimana keadaan Angku. Apakah Angku sehat-sehat saja.”
“Aku sudah tua,” katanya tersenyum. “Sering sakit-sakitan,” tambahnya sambil memasukkan selembar daun kamboja tua ke tong sampah yang baru jatuh ke tanah.
Aku ingat ketika masih anak-anak usia belasan tahun sering kemari bersama beberapa orang kawan lama. Tapi mereka kini sudah pergi jauh tentunya. Ada yang merantau seperti aku, sebagian lagi mati karena berbagai sebab. Hanya aku yang kini tersisa di antara mereka. Dan, ketika aku berada di kampung ini tanpa mereka, perasaanku semakin asing saja. Untuk menghilangkan kesuntukan aku kunjungi saja Angku Mudin ke tempatnya.
“Kelihatannya wajahmu cepat sekali tuanya sekarang,” kata Angku seperti menyindirku.
“Ya Angku. Rantau telah menguras pikiran dan tenagaku. Susah hidupku di rantau Angku. Kurus badanku ini dibuatnya.”
“Semoga kau tak seperti orang rantau lain, pulang kampung karena tak sanggup hidup sulit. Tapi aku tahu kau orang tegar dan kuat.”
“Di antara kawan-kawan kau dulu, hanya kau yang keras kepala,” kata Angku sedikit tersenyum. “Kau pemimpinnya. Aku tak lupa, dulu kepala belakangmu berdarah karena aku lempar dengan batu,” kata Angku.
“Ah, Angku. Aku jadi malu.”
“Tapi kini aku yang malu dan merasa berdosa. Bila kuingat, Abakmu tak berani mendatangiku,” kata Angku lagi sambil menunduk. “Tapi Abakmu sudah tak ada sekarang. Belum sempat aku minta maaf padanya.”
“Sudah dimaafkan Angku,” kataku.
“Ah, Kau.”
Lalu tiba-tiba aku ingat Abak. Kata-kata Abak.
“Jangan lagi kau buat dia memarahimu. Apa kalian tak ada kerja. Orang tua jangan dipermainkan. Awas kau. Kulecut dengan ikat pinggang kau nanti,” kata Abak dulu, ketika tahu kami mengusik Angku.
Tapi kami, anak-anak usia belasan tahun lebih sering membuat kegaduhan. Kegaduhan yang paling sering kami buat adalah melempar-lempar pohon kamboja yang tumbuh di area permakaman itu. Jika pohon itu kami lempar dengan batu, akan banyaklah daun-daunnya berserakan ke tanah. Dan lebih menyenangkan lagi ketika angin kencang. Daun-daun itu serupa layang-layang yang berterbangan. Lalu kami melonjak-lonjak kegirangan. Bersorak-sorak.
“Itu layang-layangku.”
“Itu punyaku.”
“Terbangnya jauh.”
“Hus, hus, hus.”
Ketika Angku melihat kami. Ia akan berteriak keras sekali. Suaranya seperti rauangan harimau.
“Hoiiiiiii. Huoiiiii. Hoiiiiiiiiiii….” begitu suaranya.
Lalu, kampung seperti gaduh. Ayam di kandang laksana kedatangan musang hitam. Kami lari tunggang langgang. Tapi esok hari, bila Angku tak ada, kami akan mengulanginya lagi. Perbuatan itu kami lakukan berulang-ulang. Sampai suatu hari aku ketiban sial. Kali ini kami tak melempar daun-daun kamboja itu dengan batu. Tapi kami colok-colok dengan galah di tangan. Saat itu angin kencang sekali. Entah angin apa namanya. Rasanya seperti berada di tepi pantai. Daun yang kami colok terbangnya sangat jauh. Kami girang sekali. Kami lupa diri, dan tak menyadari Angku sudah berada di belakang kami. Kami lemparkan galah di tangan. Kami lari. Namun, batu sebesar kelereng mengenai bagian belakang kepalaku. Sampai akhirnya aku tahu darah mengalir ke baju. Aku larikan tubuhku pulang ke rumah. Mande yang mendapatkan aku terluka di kepala pucat dan gemetar. Ia memang sangat takut bila melihat darah. Sedangkan Abak mengeluarkan sumpah serapah.
“Mati kau. Kena kau. Tak mendengar kata orang tua,” kata Abak dengan muka memerah.
Abak menarik tanganku dengan sangat tergesa. Ditekannya luka di kepalaku dengan baju usangnya. Kulihat Abak menjangkau sarang laba-laba yang tergantung di sudut dinding rumah.
“Sini,” kata Abak sambil menempelkan bekas sarang laba-laba itu di kepalaku.
“Untung kau tak dilemparnya dengan batu besar. Bisa-bisa mati kau. Hanya kulitnya sedikit tergores. Tak apa. Kau jangan menangis,” kata Abak lagi ketika aku meringis menahan pedih. “Kau tak tahu siapa dia ya,” kata Abak dengan suara agak pelan.
Malam harinya Abak memanggilku. Aku disuruh duduk di hadapannya.
“Abak tak ingin lagi kau membuat Angku marah. Ini terakhir kalinya. Untuk itu kau dengarlah cerita Abakmu ini. Semoga kau tak lagi keras kepala,” kata Abak.
“Kampung kita ini ditakuti oleh kampung lain. Tak ada orang kampung luar yang berani macam-macam pada orang kampung kita. Kau tahu kenapa? Karena kita orang Kuranji. Orang Kuranji sangat ditakuti. Itu ada muasalnya. Dan muasalnya itu ada pada Angku Mudin.”
Aku hanya terdiam memperhatikan Abak bertutur. Tapi aku menyimak dengan jelas.
“Angku Mudin itu adalah seorang pahlawan, Nak. Beliau seorang pejuang. Dulu, pada zaman penjajahan beliau tergabung dalam Kompi Harimau Kuranji. Banyak cerita tentang kegigihan pasukan Harimau Kuranji berperang. Mereka tak pernah takut. Pasukan pemberani. Mendengar namanya saja pasukan sekutu sudah bergetar. Mereka tahu kegigihan pasukan Harimau Kuranji.”
“Dan, peristiwa yang sangat dikenang itu adalah ketika pasukan itu menyerang tentara sekutu di Rimbo Kaluang. Menurut cerita yang sangat patut dipercaya, saat itu jumlah mereka hanya sekitar lima puluh orang, termasuk Angku Mudin. Kau bayangkan betapa pemberaninya mereka, dari lima puluh orang itu hanya lima belas orang yang membawa senjata. Pelontar roket mereka bawa, granat tangan, sten mereka bawa. Kau tahu apa itu sten? Senjata jenis pistol. Itu semua hasil rampasan dari tentara sekutu,” kata Abak bersemangat. Aku hanya mengangguk pelan.
“Itu tahun 45. Banyak yang mengatakan itu perang yang sengit. Langit merah api karena ledakan di sana sini. Peluru berdesing-desing. Entah berapa banyak tentara sekutu yang tewas. Tapi satu orang pasukan Harimau Kuranji tewas terkena mortir. Mereka kalah jumlah. Lalu mundur. Tapi kegigihan pada perang itu sangat dikenang orang.”
“Kau perhatikan Angku itu. Dia bukan hanya pahlawan, tetapi juga orang yang setia kawan. Tidak hanya pada kawan ketika masih hidup, yang sudah meninggal pun masih diperhatikannya. Dia rawat makam kawan-kawannya yang telah tiada. Abak bukan hanya segan padanya, tapi juga takut. Matanya itu. Kuning muda. Mata harimau. Katanya semua anggota Harimau Kuranji bermata kuning muda. Entah iya entah tidak. Sampai kini pun, tidak ada yang tahu kenapa mereka menamai pasukan mereka dengan nama harimau. Apa dulu di sini banyak harimau? Entahlah,” kata Abak.
***
“Hoi Buyung, berapa lama kau di kampung?” tanya Angku Mudin yang membuyarkan lamunanku.
“Belum tahu Angku.”
“Cari uang zaman sekarang susah. Untung pemerintah memberikan upah karena merawat makam ini. Kalau tak, makan apa aku?” kata Angku, sendu.
Angku Mudin lalu mengajakku duduk di bawah pohon kamboja. Batang pohon itu cukup besar. Daunnya rindang. Dua mata angku menatapku dengan teduh. Aku seperti berada di masa kanak-kanak yang rapuh. Butuh perlindungan.
“Mata ini sudah tua. Sudah kabur. Mungkin harimau yang kami bunuh dulu itu telah memintanya,” kata Angku datar. “Harimau yang aneh. Setelah kami bunuh tiba-tiba semua mata kami menjadi kuning muda. Mata harimau,” tambah Angku lagi.
Aku tak menyahut. Tapi mulai berpikir kenapa Angku Mudin dan kawan-kawannya dulu memberi nama pasukannya dengan Harimau Kuranji.
Aku lalu menyandarkan tubuh pada pohon kamboja yang tumbuh di pemakaman itu. Kantuk tiba-tiba menyerangku. Aku tahu kantuk ini sebenarnya disebabkan oleh pengaruh obat penenang yang telah kuminum di rumah beberapa menit yang lalu. Memang sudah satu minggu ini aku mengonsumsi obat itu. Ini kulakukan karena setelah mengonsumsi obat itu, pikiranku lebih tenang sehingga aku bisa melupakan istriku, yang kini pergi bersama laki-laki lain. Aku mengutuk perempuan celaka itu karena dia membuat pikiranku sangat kacau. Aku bisa gila bila terus memikirkannya.
Kini, kantuk itu cepat sekali menyerangku. Sebegitu cepatnya, tiba-tiba saja di sekitar makam terasa gelap. Dua mata Angku, mata bulat berwarna kuning muda terang itu menatapku. Seperti mata seekor harimau yang hendak mengoyak tubuhku. (*)
Banda Aceh, 2016
Farizal Sikumbang, cerpenis kelahiran Padang. Ia seorang guru di daerah terpencil Kabupaten Aceh Besar. Karya-karyanya tersiar di sejumlah media.
Leave a Reply