Cerpen, Kartika Catur Pelita

Masjid Wali

0
(0)

Cerpen Kartika Catur Pelita (Republika, 28 Mei 2017)

Masjid Wali ilustrasi Rendra Purnama- Republika

Masjid Wali ilustrasi Rendra Purnama/Republika

Pertunjukkan orkes dangdut sangat meriah.Pentas digelar di halaman depan rumah Haji Wahdi, pesta khitanan putra bungsunya. Penyanyi semok berkostum seksi mendendangkan tembang dangdut koplo goyang rancak. “….Gak mau pulang, maunya digoyang. Gak mau pulang…, eh, eh, Bang Jono, lama abang gak pulang- pulang…”

Penonton beragam usia menonton dengan antusias. Barisan teruna ngibing, berjoget dangdut beragam gaya khas. Ada yang angguk-angguk kepala, geleng- geleng, geol bokong, sampai cukup goyang ibu jari.

Sam, Rino, dan Helmi, tiga sekawan asal Dukuh Pungruk, turut merayakan tontonan gratis. Tiga jantan lulusan MTs itu sengaja datang dari kampung ke tempat hajatan yang berjarak 25 km. Naik motor berboncengan tiga, alias cenglu. Semua dilakukan demi bisa nonton dangdut. Menikmati suara biduan yang mendayu, juga goyang yang bikin serser darah muda. “…langit hang dadi saksi, bumi milu nyakseni,…sun linglung koyo wong edan turun.”

Sambil berjoget, mereka menenggak minuman beralkohol yang dijual di sekitar area pentas. Serasa melayang, nggeleyang, asoi asyiknya.

Pertunjukkan orkes berakhir pukul dua belas tengah malam. Sam, Rino, dan Helmi mampir ke warung kucing, menyantap beberapa bungkus nasi, sate besusul, mendoan, dan minuman penyegar. Sebelum lima belas menit kemudian motor mereka menerabas jalanan.

Gara-gara pengaruh minuman keras, ngebut, motor meleng, dan menabrak pohon di pinggir jalan. Ketiganya tersuruk di sawah yang berlumpur kerontang.

Helmi sempoyongan. Rino mendorong motor. “Motornya soak,” kutuknya.

Sam membersihkan lumpur di celana jeans-nya. “Kita mesti nuntun. Siapa tahu di depan ada bengkel.”

Sepanjang jalan yang ditemui hanya lahan empang dan pesawahan. Langkah mereka berhenti ketika bersua sebuah masjid yang terletak di atas tanah berbukit.

“Kita istirahat di masjid aja,” usul Sam.

Baca juga  Abang Yun

“Mau ngapain?” gumam Rino.

“Sembahyanglah. Gini-gini, aku masih suka sembahyang meski kadang mabuk dan nonton orkes,” Sam menjawab dengan gerakkan menirukan orang mabuk yang melakukan sembahyang.

“Iyalah. Setuju. Kita mampir di masjid. Capek juga nih nuntun motor.”

“Akur!”

Rino menghentikan menuntun motor. Helmi celingukan. Sam menemukan engsel pintu gerbang masjid kuno. Sepasang pohon balsia memayungi masjid yang luas. Pekarangan rimbun, daun-daun berjatuhan, tak ada yang membersihkan.

Sam merebahkan pantat di ubin masjid. Ubin kuno dan dingin. Pada serambi masjid terdapat beduk berukuran besar. Rino tanpa melepas sandal melangkah ke masjid. Jejak lumpur tergores di lantai. Rino hanya nyengir saat Sam mengingatkan. Sementara Helmi memilih melepas sandal, tapi hasilnya sama saja, kakinya berlumpur, hingga ceceran peceren sawah tertoreh di lantai.

“Kalian jorok,” gumam Sam.

Enggak apalah, Bro. Kan enggak ada yang lihat,” elak Rino. “Besok ada marbut yang bersihin.”

Rino dan Helmi berlarian lomba melangkah cepat. Ternyata mereka sama-sama kebelet buang air kecil. Sesampai di tempat wudhu, Rino pun membuang hajatnya. Helmi berbuat sama. Hmm… rasanya lega melepas ketegangan kandung air kemih. Saat mereka sedang pipis, Sam ternyata menyusul. Sontak Sam kaget melihat ulah dua karibnya.

“Heh, mengapa kalian buang air kecil di sini?! Ini kan tempat whudu. Kalian enggak lihat tuh ada tulisan dilarang kencing di sini.”

“Kita tadi enggak baca, Bro. Lagian tulisannya kecil,” kilah Helmi merasa tiada bersalah.

“Saya tadi kebelet, Bro. Ya, udah, salurkan saja, si Helmi ikut-ikutan.”

“ Hehehe, bukankah kau yang memberi contoh buruk? Ya, udah, aku meniru.”

“Kalian sama-sama jorok,” Sam buru-buru mengambil air wudhu. Sesaat melangkah ke serambi masjid. Berniat sembahyang jamaah. Tapi di sana yang dilihatnya si Roni sudah mengorok, sementara Helmi malas-malasan tiduran.

“Hel, ayo shalat,” ajak Sam

“Enggaklah, lagi ‘m’…”

Baca juga  64 Tangga Surau Kami

“M… apaan?”

“Malas.”

“Si Rino tadi udah shalat?”

“Shalat apaan. Habis buang air kecil, bersuci pun tak. Hahaha.”

“Sudah. Saya mau shalat. Kalau mau ikut kita bisa jamaah.”

Enggak deh. Aku titip salam aja sama Allah.”

“Sam tak menggubris omongan temannya yang ngawur. Ia sembahyang Isya, kemudian berdoa. Sesaat ia menghampiri Helmi yang belum tidur. Tiduran di lantai serambi masjid.

“Belum tidur, Hel?” Sam merebahkan diri di dekat Rino. Menumpukan tangan untuk bantal.

“Belum nih. Nyamuk banyak banget,” gumam Helmi. Plak-plak-plak! Sibuk menepoki nyamuk. Beberapa gepeng di tangannya. Helmi tersenyum puas. Tapi tak lama ia mengaduh, mengumpat sial, saat nyamuk mengigitnya.

“Sialan, banyak banget nyamuk. Kayak di kebun aja.”

“Iyalah, namanya juga tidur di masjid,” Sam memiringkan tubuh. Sekilas ia melihat Rino yang sudah tidur mengorok, tak peduli nyamuk menggigit. Sam perlahan bangkit dan menepuk nyamuk yang tengah menggigit lengan Rino. Nyamuk gepeng, memuncratkan darah di tangan. Rino sekilas bangun, menguap, terjaga, menggaruk lengannya yang gatal, ia kemudian tidur lagi.

“Belum tidur, Bro?” tanya Helmi, yang mulai menguap, menutupi tubuh dengan jaket. Namun apa daya, jaketnya kekecilan. Hanya sebagian tubuh tertutupi. Ini alamat ia bakal diserbu nyamuk.

“Aku belum ngantuk,” cetus Sam. Ia kembali tidur telentang. Kali ini memandang langit kamar masjid. Bangunan terbuat dari kayu kuno. Beberapa kelelawar bersarang di atap-atap masjid. Mengapa dibiarkan.

“Kayaknya…,” Sam ingin mengatakan sesuatu pada Helmi.

“Aku mau tidur, udah mengantuk,” tukas Helmi.

“Ya, udah tidurlah. Biar saya yang jagain.”

“Bangunin sebelum subuh, ya. Sebelum subuh kita cabut dari masjid ini,” pesan Helmi mulai memejamkan mata. Tak peduli nyamuk yang menggigit. Toh kalau ia tidur nanti tak terasa digigit nyamuk, pikirnya.

“Tentu setelah sembahyang Subuh,” Sam berkata. Ia memang tak merasa mengantuk.
Entah. Ia tak terbiasa bisa tidur lena di tempat asing.

Baca juga  Syahid Sang Azazil [*]

“Terserah deh. Udah mengantuk nih,” kata Helmi benar-benar memejamkan mata.
Sesaat suara napasnya mengalun lembut. Sekilas Sam melirik. Ia memilih bangkit, wudhu, dan hendak menjalankan shalat Tahajud. Ia berencana begadang malam ini. Kalaupun mengantuk mungkin hanya ‘tidur-tidur ayam.’

***

Dingin air memercik tubuh. Dingin. Sungguh menggigit. Ah, siapa sih yang iseng-iseng memercikkan air ke tubuhnya. Sam membuka mata. Ranting pohon menyeruak dan embun menetes. Sam mengucek mata. Ia berada di mana? Bukankah tadi ia tiduran di serambi masjid, mengapa kini ia berada di atas pohon, telanjang pula?

Sam terlongong mencari di mana Rino dan Helmi. Demi masa, Sam serasa tak percaya saat melihat Helmi dan Rino telanjang dan tiduran di bibir sumur besar di serambi kiri masjid. Ya, Allah siapa yang memindahkan mereka?

Sam berteriak, hendak memanggil Helmi dan Rino, bersamaan Rino dan Helmi yang membuka mata. Mereka tertegun. Tertidur pada bibir sumur kuno. Helmi menggeliat. Ia menggelinding dari bibir dan meluncur ke dalam sumur. Rino turut menggeliat, dan plung, ia pun jatuh ke dalam sumur!

Pagi jelang Subuh itu di sebuah masjid kuno—yang di plang depan tertulis ‘Masjid Wali’—terdengar teriakan minta tolong seorang lelaki belia telanjang yang kebingungan berlari bolak-balik mengeliling masjid, seraya berteriak- teriak histeris, Tolong. Tolong.
Temanku kecebur sumur. Tolong-tolong-tolong!

 

Kota Ukir, 09-13 Februari 2017

Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1970. Cerpen, puisi, esai dimuat di media cetak dan daring. Buku fiksi Perjaka, Balada Orang-orang Tercinta, dan Bintang Panjer Sore. Bermukim di Jepara, bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ).

 

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!