Cerpen Wawan Setiawan (Jawa Pos, 28 Mei 2017)
“Untuk menghindarinya, aku pergi ke tempat-tempat sepi. Tapi ternyata, di tempat-tempat sepi itu pula aku bertemu dengannya lagi. Malah lebih sering. Ternyata dia tidak hanya suka tempat-tempat ramai.”
Itulah gumamku suatu malam. Akhir-akhir ini tak banyak yang kulakukan selain bergumam, menggumamkan sesuatu yang tak jelas, atau agak jelas. Dan aku bergumam sepanjang jalan itu, jalan cemara berjajar yang lampunya sering padam, mengingatkanku pada suatu masa kecil agraris.
Di masa kecil itu, hati tenteram. Seolah hidup tanpa persoalan. Yang ada hanyalah kenikmatan demi kenikmatan. Kedua orang tua selalu mengayomi. Udara bersih. Air sungai jernih. Di sana-sini sawah menghijau lalu menguning. Oh, nasibku kini.
Tapi, baik lampunya gelap atau terang, aku tetap suka keduanya dengan selisih yang sedikit. Karena kalau melihat langit malam, manusia dikepung kegelapan, bintang-bintang seakan kalah oleh kegelapan. Karena itu, jangan benci atau terlalu benci pada kegelapan.
Saat enaknya berjalan sendirian itu, ada lemparan kerikil ke pundakku. Orang usil rupanya. Jangan-jangan aku di kira waria. Kukejar orangnya yang segera menghilang ke arah selatan, ke kompleks makam Kembang Kuning yang lebih gelap. Orang sinting dia atau hantu penasaran. Malam-malam sepi begini, mestinya orang tidur atau nonton TV, atau main kartu, atau kegiatan yang lain, untuk bisa menikmati hidup sesuai kondisinya masing-masing. Memang, sebenarnya tak boleh ada orang mengganggu. Tapi untung aku tadi masih dilempar kerikil, bukan batu; kena pundak, bukan kepala.
“Jangan mimpi terus. Kalau kamu ingin sehat, kamu diberi penyakit. Kalau kamu ingin uang, kamu diberi pekerjaan. Kalau kamu ingin tempat sepi, kamu dilempar kerikil. Dan kalau ingin Tuhan, kamu dikasih setan.” Gumamku tetap tak jelas. Tapi apa salahnya orang bergumam. Hanya bergumam saja kok. Bergumamlah apa adanya atau seadanya. Dunia tak akan hancur oleh orang yang bergumam, atau berbisik, apalagi setelah lama diam dalam bahasa pohon.
“Citra… engkaulah bayangan,” ada suara sayup. Suara itu muncul dari arah cemara paling tua. Biasanya di bawah cemara tua itu ada warung rokok. Penjual rokok suka nyetel lagu-lagu nostalgia kalau malam dari pemancar radio terdekat. Rombongnya ditutup dan ia lelap dalam rombong itu. Ia lupa mematikan radio. Dari dalam rombong itu lalu keluar lagu sendu itu.
“Citra…. suratan yang duka,” lirik lagunya menyayat. Tapi ketika cemara tua itu kuhampiri, tak ada orang di dalam rombong. Hanya cemara saja dan ditemani rombong kosong. Jangan-jangan orang melempar kerikil tadi yang menyanyi. Tapi, tidak, yang menyanyi tadi wanita dari sebuah radio.
“Lho, yang lempar kerikil tadi kamu kira pasti pria? Bisa juga perempuan yang lempar. Sekarang kesetaraan gender.”
Aku kembali jalan sesuai arahku. Malam-malam begini agak gerimis. Aku harus berteduh di mana? Rumah-rumah sepanjang jalan ini selalu lelap, tak mungkin salah satunya mau membuka pintu atau jendela. Maklumlah mereka orang rumahan, sedang aku orang jalanan.
Aku suka keluar malam sampai menjelang subuh untuk berburu udara segar. Malam-malam hening begini terjadi peralihan udara. Setelah siangnya diaduk seperti kopi, malam serbuknya mengendap ke bawah. Udara kotor menjadi udara bersih. Maklum, jejak karbon selalu sepanjang hari.
Memang sudah cukup lama di dalam diriku terjadi perubahan, dari bukan pemuja pohon menjadi pemuja pohon. Biarlah perilakuku dianggap aneh. Daun-daun gugur kukumpulkan, kumasukkan tas ransel. Aku yakin di dalam daun-daun gugur yang setengah kering itu masih ada zat hidup, yaitu oksigen, lumayan untuk persediaan.
Aku terus berjalan. Aku terus menembus malam. Jalan besar, yaitu Jalan Diponegoro, masih cukup jauh. Jalan kecil bercemara ini, yaitu Jalan Amir Hamzah, cukup panjang. Di ujung timurnya ketemu Jalan Prapanca, belok kiri ketemu Jalan Chairil Anwar. Barulah, dari Jalan Chairil Anwar ke timur aku ketemu Jalan Diponegoro.
Kutinggalkan tangan usil dan lagu “Citra”. Keduanya konkret sekaligus abstrak. Lemparan kerikilnya konkret, pelemparnya abstrak. Suara lagu “Citra” itu? Wa duh, aku bingung dibuatnya. Kasus lagu itu konkret atau abstrak, ya? Dan sebelumnya, karena masalah konkret dan abstrak ini, makanku sering tak enak, tidur tak nyaman.
“Kalau aku disuruh memilih, aku lebih suka memilih jadi Ontorejo, dewa bumi, dewa tanah. Tahu-tahu muncul di suatu tempat, tanpa disangka-sangka. Tentu karena ada panggilan tugas. Ia muncul dari permukaan tanah. Bagaimana cara ber napasnya, ya?”
Gumaman-gumaman itu terus menampari kepala. Kucari kenikmatannya, belum ketemu. Tubuhku mulai kembali segar setelah kakiku melangkah beberapa ratus meter. Gara-gara lemparan kerikil tadi langkah kakiku di Jalan Amir Hamzah terganggu. Aku minta maaf kepada arwah Amir Hamzah, kudoakan dia tinggal di surga termulia. Juga doaku untuk pacarnya ketika Amir Hamzah kuliah di Solo, Ilik Soendari. Kasih tak sampai. Oh, aku tak mampu membayangkan revolusi sosial di Kesultanan Langkat. Terlalu keji. “Mangsa aku dalam cakarmu,” [2] kata Amir dalam puisinya.
***
SEKARANG aku mulai masuk Jalan Chairil Anwar. Aku mengawalinya dari arah Jalan Kembang Kuning, belok kanan ketemu Jalan Chairil Anwar. Di jalan ini, hampir semua cemaranya tua-tua. Batang-batangnya besar-besar. Daun-daunnya lebat bersatu menjulang ke langit, seperti orang yang menagih janji.
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam [3]
Masih kuingat suara guru bahasa Indonesia ketika membacakan salah satu bait dari puisi Chairil Anwar yang paling indah itu. Ketika itu aku masih kelas dua SMA, guru bahasa Indonesiaku yang tampan ternyata fanatik dengan puisi yang ada cemaranya itu, sampai aku hafal aksen suaranya. Karena seringnya sang guru membacakannya di kelas, akhirnya aku ikut-ikutan menyukai puisi itu.
Dan, ternyata, ikut-ikutanku tidak sepenuhnya gagal. Malah sebaliknya, menjadikan puisi sebagai kebutuhan. Dan, ternyata kemudian, aku juga gandrung lirik lagu-lagu pop. Bukankah lirik-lirik lagu itu juga puisi? Salah satunya lagu “Citra” Rafika Duri yang terdengar dari radio yang tak kutemui letaknya itu.
Memang, di Jalan Chairil Anwar ini cemaranya tua-tua. Tegar dalam kesunyian. Kadang sedikit bergoyang untuk menghormati angin. Senang bergaul dengan mereka. Terasa sekali kebijakan mereka. Teduh rasanya. Ketenteramannya mendalam. Kudekati salah satu pohonnya. Kucium batangnya dengan gemas. Tak kupikirkan lagi bahwa di tiap pohon ada penunggunya.
“Wahai cemara tua, memang indah dan dalam akhir hidupmu. Karena itu, penyair sekaliber Chairil Anwar kepincut sama kamu. Sampai akhirnya, gara-gara kamu, dia dapat menulis puisi terindah dalam hidupnya. Kamu wajib bersyukur, meski kamu hanya sebatang pohon,” begitu bisikan hatiku.
Rumah-rumah di Jalan Chairil Anwar tetap model kuno seperti rumah-rumah di Jalan Amir Hamzah. Cuma, bedanya, rumah-rumah di Jalan Chairil Anwar ada renovasi di sana-sini, namun tetap menjaga keaslian masing-masing. Tampaknya, meski tanpa komando, ada keseragaman dalam merenovasi. Kebanyakan rumah-rumah itu ada tambahan tiga puluh persenan dari kondisi aslinya.
Yang mencolok adalah tanaman bunga-bunganya di setiap halaman. Secara serempak pula, seolah mereka sama menganggap bahwa sang penyair suka bunga atau suka wanita. O ya, sejarah mengatakan kesukaan Chairil pada wanita ada yang bersifat platonis, ada yang bersifat materialis. Yang platonis, contohnya, pada wanita Sri Ayati. Sang penyair hanya menggaulinya secara emosional dan intelektual. Hal ini disebabkan Sri Ayati sudah ditunangkan oleh orang tuanya. Tunangannya seorang dokter, ganteng. [4]
Salah satu wanita riilnya dapat dilihat pada pergaulan Chairil Anwar dengan pelukis Aff andi. Setelah berhubungan dengan seorang perempuan, Chairil meninggalkan alamat pelukis Affandi di bawah bantal. Tak ayal, sang perempuan langsung ke rumah Affandi, menagih uang lelah.
Kurang jelas, berapakah jumlah perempuan fisikal, termasuk pacar-pacarnya, yang digauli sang maestro ini? [5] Namun para pengagumnya memaklumi. Ada pendapat, kalau tidak demikian, Chairil tak dapat menciptakan puisi-puisi cemerlang.
Isi otakku terlalu penuh sehingga tubuhku mudah lelah dan wajahku tegang. Sudah ada komputer tapi isi otak tetap meluber. Kenapa isi otak itu tidak disimpan di tas lalu ditaruh di almari? Kalau butuh sewaktu-waktu bisa diambil seperlunya.
Aku tadi berpikir Amir Hamzah di Jalan Amir Hamzah, berpikir Chairil Anwar di Jalan Chairil Anwar. Memangnya dua penyair besar itu pernah tinggal di dua jalan itu? Mereka tinggal di otakku dan otak orang-orang lain. Nama kedua jalan itu digoreskan untuk mengenang dan menghargai jasa-jasa mereka dalam menyemarakkan semangat kemanusiaan dan hidup berketuhanan.
Tubuhku bergerak-gerak seperti ondel-ondel meninggalkan Jalan Chairil Anwar. “Ini muka penuh luka, siapa punya?” [6] Chairil Anwar menodongku dengan kalimat-kalimat jitu. Memang aku sering ditodong kalimat-kalimat jitu oleh para penyair.
***
Setelah keluar dari Jalan Chairil Anwar yang inspiratif, aku masuk jalan utama yang penuh kenangan, yaitu Jalan Diponegoro. Jalan utama ini kembar. Sisi yang satu dari Pasar Kembang ke arah arah Terminal Joyoboyo. Sisi satunya dari Joyoboyo ke Pasar Kembang. Di sepanjang jalan kembar ini menyabang sejumlah jalan. Nama-nama jalan ada yang berhubungan dengan nama-nama pahlawan dan sungai-sungai.
Kakiku melangkah menuju Joyoboyo, terminal legendaris milik Surabaya. Ternyata terasa bukan Jalan Diponegoro kalau malam. Pohon-pohonnya besar-besar, pohon cemara dan sono seakan bersaing memamerkan oksigen. Kendaraan sepi, hanya satu dua yang larinya bak setan mabuk.
Ada sirine mobil ambulans, dari arah Pasar Kembang ke Joyoboyo. Larinya luar biasa kencang, diikuti dua motor yang juga kencang dan knalpotnya meradang. Setelah bunyi sirine dan knalpot, kembali sunyi berkuasa. Dari sunyi ke bunyi, lalu kembali ke sunyi. Bunyi apa yang dapat mengalahkan sunyi?
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, ke belakang, tak ada orang sama sekali. Ketakutan menyerbuku, tapi aku melawannya dengan cara membiarkannya. Lalu kudengar derap-derap kaki kuda Sang Pangeran, begitu gagahnya. Sang Pangeran dan kudanya, Kyai Gentayu, dipertemukan di paro pertama abad sembilan belas. Sang Pangeran yang suka berkuda ini memiliki enam puluh perawat kuda. Namun, dari sekian banyak kuda, Kyai Gentayulah yang paling disayang.
Pertempuran hebat selama lima tahun terjadi, sampai akhirnya melalui tipu daya, tentara Belanda berhasil menangkap dan mengasingkannya ke Manado, dan dipindah ke Makassar sampai wafat. Untunglah selama di pembuangan Sang Pangeran ditemani istrinya yang paling muda, RA Retnoningsih. [7]
Terbayang pula tujuh istri Sang Pangeran yang cantik dan jelita. Istri keempat yang paling dikasih, Roro Ayu Maduretno. Aku selalu gagal membayangkan kecantikannya, karena terlalu cantiknya. Apakah wajahnya seperti Ratu Ken Dedes, sang putri dari Singosari itu?
“Apa saja bisa tumbuh subur di tanah Jawa,” ucap Sang Pangeran suatu ketika. Sang Pangeran yang suka berkebun, minum anggur, makan sirih, jalan kaki dan berkuda ini memang luar biasa kharismanya.
Kudengar derap-derap kaki kuda di aspal jalan, di bawah bulan, memecah kesunyian malam. Derapnya kadang mendekat, kadang menjauh, kadang cepat, kadang pelan. Terdengar pula ringkiknya, ringkik kesetiaan. Itulah ringkik Kyai Gentayu yang merana karena berpisah dengan Tuannya.***
Surabaya, Desember 2016
Catatan:
- Judul puisi “Derai-Derai Cemara” karya Chairil Anwar, dari buku: Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, oleh H.B. Jassin.
- Dari puisi Amir Hamzah, “Padamu Jua”, dalam kumpulan puisinya, Nyanyi Sunyi.
- Salah satu bait puisi “Derai-Derai Cemara”, lihat catatan nomor 1.
- Adri Darmadji Woko, “Biografi Sri Ajati.”
- Arief Budiman, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, 2007.
- Puisi Chairil Anwar, “Selamat Tinggal”.
- “Pangeran Diponegoro dan Wanita-Wanita Cantik” oleh Fadjriah Nurdiasih, 27 April 2016, 20.51 WIB, Liputan 6. Hasil wawancara tertulis dengan Peter Carey, penulis biografi Pangeran Diponegoro, Selasa, 26 April 2016, Liputan6.com.
WAWAN SETIAWAN, cerpenis yang dosen di Universitas Negeri Surabaya
Leave a Reply