Cerpen Yuditeha (Suara Merdeka, 28 Mei 2017)
Pagi ini aku bangun tergagap oleh suara tangis bayi. Di telingaku tangisan itu terdengar seperti suara rintihan yang menyayat hati. Ketika aku benar-benar sadar, suara tangisan itu sangat jelas terdengar. Rasa-rasanya bayi itu seperti berada di dekatku. Ya, aku merasa dia berada di belakangku. Aku sedang memunggunginya. Pada saat aku membalikkan badan, astaga, bayi itu benar-benar berada di situ. Spontan aku berteriak memanggil suamiku.
Suamiku tak segera muncul, sementara bayi itu makin keras menangis. Rasa ibaku tak kuasa kutahan. Kubopong dia, lalu kuelus-elus punggungnya perlahan. Bayi itu akhirnya terdiam dalam gendonganku. Aku mengamati dengan saksama. Bayi itu memakai kalung berbandul bentuk hati. Sembari menimang-nimang, kuraih bandul itu. Rupanya bandul itu bisa dibuka dan ketika aku membuka, kudapati sebuah potret bergambar dua wajah orang muda, lelaki dan perempuan. Aku mengira itu gambar orang tuanya. Sejenak aku tertegun, lalu pikiranku melayang menuju kisah semalam, mengingat lagi apa yang kupikirkan sebelum terlelap tidur .
Tadi malam hatiku telah mantap memutuskan untuk berpisah dari suamiku. Sebenarnya aku tidak menginginkan hal itu, tetapi aku merasa sudah tidak tahan atas kelakuannya. Banyak sikapnya yang tak pernah bisa kupahami. Sepertinya selama ini dia tidak pernah menganggapku ada.
Aku tak tahu pukul berapa persisnya kemarin dia pulang. Tahu-tahu kudapati dia sudah tidur pulas di kamar, yang sebelumnya menghilang begitu saja, pergi beberapa hari tanpa kabar. Sikap seperti itu sudah berulang kali terjadi dan aku bingung menghadapi. Bagaimana dia bisa seenaknya bersikap begitu, sedangkan jelas-jelas kini dia sudah tidak sendiri lagi, sudah ada aku sebagai istri. Namun tampaknya keberadaanku hanya dia anggap angin lalu. Jika aku bertanya, jawabnya selalu tidak mengenakkan hati dan sering kali justru menyulut emosi. Aku seperti tidak mengenali siapa sesungguhnya dia. Usia pernikahan kami baru dua bulan, tetapi aku merasa sudah tidak tahan.
Semasa pacaran dulu sama sekali aku tak pernah menangkap ada gejala-gejala perilakunya yang aneh. Jika pun aku diminta menyebutkan sesuatu yang sekiranya pantas dicurigai adalah dia mudah sekali terkejut. Dia hampir selalu kaget jika mendadak mendengar suara keras. Pada saat begitu sejenak kemudian dia seperti orang linglung. Dalam beberapa saat setelah terkejut dia bisa tiba-tiba berteriak histeris. Untuk masalah itu aku memang tidak begitu menggubris. Pikirku, itu hanya masalah kondisi fisik dan perasaan sesaat pada waktu itu juga. Lagipula aku meyakini setiap orang pasti punya sisi gelap. Karena itu, aku menganggap hal tersebut wajar sebagai manusia.
Namun begitu kami hidup serumah, kebiasaan mudah terkejut itu ternyata sering terjadi. Sesungguhnya aku ingin dia bisa berbagi cerita denganku tentang apa yang menyebabkan dia bisa mengalami kaget begitu rupa. Atau tentang perilaku-perilaku anehnya yang lain. Namun setiap kali aku mencoba mengajak bicara, dia selalu tak pernah mau menanggapi dan jika sudah begitu lantas dengan seenaknya dia akan pergi begitu saja tanpa pernah mau peduli padaku. Selain itu masih banyak lagi sikap yang menunjukkan dia tidak menghargaiku sebagai istri, antara lain sebuah ketentuan bahwa aku tidak boleh menyentuh barang-barangnya yang sengaja dia simpan, termasuk kotak kuno yang dia simpan di salah satu kamar. Jangankan membuka kotak itu, untuk masuk ke kamar itu pun aku dia larang.
Karena hal-hal itulah aku merasa sudah kewalahan memahami dia. Jadi apa yang akan aku putuskan bukan main-main, aku ingin berpisah dari dia. Ya, kupikir lebih baik aku pergi dari kehidupannya. Mungkin dia lebih senang sendiri. Mungkin selama ini kehadiranku mengganggu kenyamanannya. Dan pagi ini di saat aku akan menyampaikan maksudku, keburu dia pergi dan menciptakan masalah baru. Dia meninggalkan bayi di rumah. Bayi ini milik siapa dan apa maksudnya, aku tidak mengerti. Semua itu membuat keanehan-keanehan pada dirinya makin terasa ganjil.
Andai kemunculan bayi ini kulaporkan polisi, bisa jadi justru aku akan kerepotan untuk menjelaskan. Satu pertanyaan tentang bagaimana dia bisa tiba-tiba berada di rumahku saja sudah membuatku bingung. Jadi kupikir mau tak mau aku harus merawatnya. Untung, rumahku berada di daerah perkotaan, dengan tidak adanya rasa kepedulian antartetangga cukup menguntungkan dalam hal ini. Aku menjadi lebih nyaman, tak akan ada tetangga yang mencurigai. Tentang tangis bayi yang kadang meledak kusiasati dengan cara menghidupkan musik sepanjang waktu.
Kesibukan mengurus bayi rupanya justru melupakan permasalahan dengan suamiku. Untuk sejenak aku seperti tak peduli lagi pada dia. Terlebih sejak ada bayi itu, ada hal-hal lebih aneh telah terjadi tetapi keanehan itu selalu berhubungan dengan bayi itu. Beberapa kali aku bermimpi tentang penganiayaan seorang anak oleh orang tuanya dan pada waktu lain, saat aku sedang memandikan bayi itu aku menemukan beberapa luka di sebagian tubuhnya. Dan luka-luka itu tampak seperti akibat tindak kekerasan. Meski sebenarnya hal itu kuanggap peristiwa ganjil, pada saat itu aku lebih memikirkan tentang nasibnya, aku makin menaruh iba padanya dan muncul keinginan di dalam hatiku untuk sungguh-sungguh merawatnya. Meskipun begitu aku tetap sembari mencari informasi siapa orang tua kandungnya.
Pada waktu aku sibuk mengurus bayi itu, pada saat itu juga suamiku tidak pulang cukup lama. Lebih lama dari biasanya. Tidak adanya suamiku dalam waktu yang lama itu memancingku ingin tahu, sebenarnya apa yang dia sembunyikan dariku di kamar itu, atau yang lebih khusus di kotak itu, hingga pada suatu hari aku memberanikan diri membuka paksa pintu kamarnya dan mencongkel kunci kotak itu. Kotak itu berhasil kubuka. Di sana terdapat beberapa dokumen, antara lain surat-surat dan koran-koran usang. Ada juga beberapa foto lama. Sembari tetap merawat bayi itu, hampir seharian aku mengamati isi kotak itu.
Hasil pengamatanku dari membaca surat-surat dan koran-koran usang di dalam kotak dan melihat foto-fotonya aku menjadi tahu siapa sebenarnya jati diri bayi itu. Aku yakin bayi yang selama ini kurawat itu adalah suamiku. Dokumen-dokumen itu telah memberi tahuku banyak hal, bahkan salah satu foto di kotak itu ada yang persis dengan foto di bandul kalungnya. Ternyata versi penuhnya dari foto itu, sang ibu sedang menggendongnya. Ada satu bendel foto. Itu adalah foto-fotonya berurutan sejak dia bayi hingga dewasa. Hal itu termasuk meyakinkanku bahwa bayi itu adalah benar-benar suamiku. Dokumen-dokumen yang lain adalah sebuah bukti yang semuanya memberi tahuku betapa menderita dia pada masa lalu. Berbagai jenis kekejaman pernah menimpa dia dan pelaku utama penganiayaan itu adalah sang ayah. Dalam perenungan yang kulakukan, aku kini menyadari, mungkin karena penderitaan itulah dia tumbuh menjadi pribadi aneh. Mungkin pada saat dia bersamaku sudah berjuang mati-matian untuk bisa menjadi lebih baik.
Setelah aku tahu semuanya, rasanya aku menyesal pernah punya prasangka buruk kepada dia. Aku juga menyayangkan, mengapa dia tidak mengizinkan aku dulu mengetahui semuanya itu. Andai aku tahu sebelumnya, bisa jadi aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa memahami dia. Kini, dia kembali menjadi bayi dan aku tak tahu lagi harus bagaimana. Namun paling tidak aku merasa tenang karena selama ini aku telah merawatnya dengan baik. Sekarang aku ingin melihat dia dan hatiku sangat berharap, semoga ketika aku melihat nanti dia sudah kembali seperti sediakala. Namun ketika aku sampai di kamar, aku tak melihat perubahan itu, suamiku masih berwujud bayi. Bahkan ketika aku sampai di kamar itu dia sedang menangis. Tangisannya sangat keras .Aku meraihnya, menimang-nimang dia, menepuk-nepuk pantatnya perlahan dan tak lama kemudian dia telah terdiam dan akhirnya terlelap dalam gendonganku.
Saat ini adalah malam pertama setelah aku mengetahui bayi itu adalah suamiku. Pada malam itu juga aku berdoa dan berharap, semoga esok hari, pada saat aku bangun pagi nanti, aku akan mendapati suamiku telah kembali ke wujud semula. Aku akan berusaha menerima dia apa adanya. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik bagi dia. Aku akan memercayainya. Karena hal itu rasanya aku sudah tidak sabar menantikan kejadian itu. Sengaja aku segera membaringkan tubuhku. Aku ingin cepat tertidur dan pagi datang.
Aku membuka mata. Sepertinya pagi telah datang, tetapi aku merasa mataku belum sempurna membuka, karena aku merasa mataku belum bisa melihat dengan jelas. Aku juga ingin segera bangkit dan melihat apa yang terjadi, tetapi ketika aku ingin membangunkan badanku rasanya berat sekali. Aku hanya bisa berguling-guling. Pada saat itu entah bagaimana ceritanya aku jatuh ke lantai. Aku ingin mengaduh, tetapi mulutku seperti sulit mengucap itu. Yang bisa kulakukan hanya menangis. Aku ingin memanggil suamiku, tetapi hanya tangisan yang makin keras yang bisa kusuarakan. Tak lama kemudian, suamiku datang. Dia seperti terkejut melihatku. Lalu perlahan meraihku. Menimang-nimang aku. Dia mengelus-elus punggungku perlahan-lahan. Aku nyaman berada dalam gendongannya. (44)
– Yuditeha, aktif di Sastra Alit Surakarta. Buku terbarunya kumpulan cerpen Balada Bidadari (Penerbit Buku Kompas, 2016). Kumpulan cerpen Kematian Seekor Anjing pun Tak Ada yang Sebiadab Kematiannya akan diterbitkan Basabasi.
Leave a Reply