Cerpen Tjak S Parlan (Media Indonesia, 28 Mei 2017)

Daun-daun Beluntas ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
LATIFA sedang memetik daun-daun beluntas, saat Masirah datang merengek-rengek, memamerkan boneka terbarunya, yang tangannya patah sebelah.
“Patah lagi, ya?”
Masirah mengangguk dengan sisa tangis yang tertahan.
“Sudah, tak apa-apa. Nanti Ibu akan menjahitnya lagi. Nah, sekarang bantu Ibu, ya,” ujar Latifa seraya mengusap cairan bening yang keluar dari hidung anaknya.
Bocah perempuan itu segera menirukan apa yang dilakukan ibunya. Jari-jari mungilnya berusaha menggapai-gapai, memetik daun-daun beluntas. Ia tampak riang kembali. Hilang sudah rasa kalah dan marah yang dibawanya dari rumah kawan sepermainan yang kerap menjahilinya. Kini, ia seolah telah mendapatkan mainan kegemarannya.
“Bu, Siya mau main belanja-belanjaan. Uang Siya sudah banyak.”
Seraya menggenggam daun-daun beluntas tua, Masirah berlalu ke teras rumah. Biasanya ia akan berlama-lama di sana, sendirian melanjutkan permainan apa saja yang disukainya.
Saat genggaman tangannya sudah penuh, Latifa memindahkan daun-daun beluntas muda itu ke nampan kecil. Dua genggaman lagi, ia akan membersihkan daun-daun beluntas itu. Saat memasak air tadi pagi, Latifa melihat masih ada sepapan tempe di dapur, sisa belanja di pasar kemarin. Jika dipadukan dengan tiga genggam daun beluntas muda, pastinya akan menjadi menu sederhana yang tak kalah nikmatnya. Untuk ke sekian kalinya Latifa akan memasak botok tempe beluntas—resep turun-temurun yang digemarinya sejak ia kembali ke rumah ini.
Setiap kali memasak botok tempe beluntas, Latifa selalu teringat ayahnya. Ayah Latifa telah mengalami sakit yang panjang, sebelum akhirnya meninggal. Ketika itu gundukan perut Latifa semakin membesar dan tak ada satu pun hal yang bisa menutupinya. Adik perempuannya diam-diam menuduhnya bahwa salah satu penyebab kematian ayah mereka adalah karena tak sanggup menanggung aib yang menimpa Latifa. Ibunya sendiri lebih banyak diam sejak Latifa kembali.
“Ibumu itu pandai memasak beluntas. Ayah selalu suka. Anehnya, ibumu justru kurang menyukainya,” ujar ayahnya suatu kali.
Ayah Latifa memang menyukainya. Mungkin karena itulah, ayahnya memagari pekarangan rumahnya dengan beluntas. Pada hari-hari tertentu ketika cabang-cabang beluntas itu mulai meninggi dan terlihat liar ke sana kemari, ayahnya akan memangkasnya, membuatnya rapi kembali.
“Fa, tak bosan-bosannya kamu memasak itu,” ujar ibunya yang muncul dengan sebuah rantang.
Latifa menoleh ke arah ibunya sebentar dan berusaha tersenyum. Mungkin ibunya baru saja pulang dari rumah adik perempuannya. Biasanya adik perempuannya itu akan membekali ibunya lauk pauk tertentu. Adik perempuannya yang belum lama menikah itu memang pandai memasak.
“Ikannya untuk Ibu dan Masirah saja,” ujar Latifa seraya memilah-milah kembali daun-daun beluntas muda.
Sebenarnya Masirah tak begitu menyukai ikan, kecuali jika Latifa membujuknya dengan iming-iming sesuatu. Bocah perempuan itu memiliki kecenderungan seperti dirinya. Masirah selalu berselera ketika Latifa menghidangkan menu botok tempe daun beluntas. Dulu sekali, semasa ia beranjak remaja, ayahnya sering mengatakan padanya bahwa daun beluntas bisa menghilangkan bau badan yang kurang sedap. Ia sendiri tak terlalu peduli sebenarnya. Ia merasa tak ada masalah dengan bau badan. Kalau pun ia menyukainya, itu karena memang masakan ibunya lezat. Namun sejak ia kembali ke rumah dengan segala hal yang harus ditanggungnya, daun-daun beluntas itu seolah telah menjadi keluarga terdekat, atau semacam teman setia untuk mengusir segala hal yang berbau busuk dalam dirinya.
“Besok pagi, Bibi Rahma akan kemari, Fa. Melanjutkan pembicaraan soal Masirah. Ibu setuju, demi kebaikannya. Tapi, terserah kamu,” ujar ibunya saat Latifa melintas di teras rumah.
Sesampai di dapur, Latifa segera membereskan daun-daun beluntas itu. Ia mencucinya dalam sebuah ember plastik, sebelum kemudian menyiapkan segala sesuatunya untuk mulai memasak. Latifa melakukan semua itu sembari memikirkan apa yang dikatakan ibunya. Bagaimanapun ia tidak rela jika Masirah harus hidup bersama Bibi Rahma, adik kandung ibunya. Ia teringat apa yang telah dikatakan perempuan itu ketika perutnya semakin membuncit. Dari bibir perempuan itulah ia mendengar bahwa anak yang dikandungnya itu kelak harus dijauhkan dari keluarga untuk menghindari rasa malu yang lebih besar. Sekarang, ketika Masirah mulai tumbuh besar dan menjelma gadis kecil yang cantik, perempuan itu berniat mengadopsinya dengan berbagai macam alasan yang menyudutkan Latifa.
***
Keesokan harinya, ketika bibinya pulang kembali dengan tangan hampa,ibunya mencoba memberikan beberapa penjelasan kepada Latifa.
“Bibimu punya niat baik, Fa. Setidaknya jika tinggal di sana, akan lebih terjamin segala sesuatunya. Sekolahnya, lingkungannya…”
“Saya bisa menyekolahkannya, Bu. Saya akan pergi bekerja kembali.”
“Seluruh kampung ini terlanjur tahu. Anak-anak kecil juga tahu. Ibu juga sakit hati kalau melihat Masirah selalu menangis setiap pulang bermain. Ibu juga sedih.”
“Masirah tak akan tinggal di sini, Bu. Tidak juga bersama Bibi.”
Percekcokan kecil itu menyulut kembali ingatan Latifa tentang masa lalunya. Setiap kali itu terjadi, ia merasa sekujur tubuhnya berbau busuk. Ia merasa bodoh, karena tak berdaya melawan sosok iblis yang mencederai kehormatannya sebagai perempuan. Namun ia terus bertahan, sebab bagaimanapun ia harus tetap hidup. Ia tak ingin mati sia-sia di negeri orang. Ia merasa bersyukur karena dirinya telah berhasil membatalkan niatnya merusak janin itu. Dengan terus berusaha bersikap wajar, ia akhirnya bisa meninggalkan negara petrodolar itu.
Namun tak ada yang mudah bagi dirinya. Kepulangannya disambut kasak-kusuk seisi kampung. Dalam keluarga besarnya sendiri, Latifa merasa seperti bangkai busuk yang harus dijauhi. Pada saat-saat seperti itulah, ia sebenarnya justru lebih dekat dengan kedua orangtuanya—terutama ayahnya yang menderita sakit menahun. Namun sayang, kedekatan itu tak berlangsung lama. Ayahnya meninggal tepat dua hari sebelum ia melahirkan Masirah.
Latifa menyayangi anak malang itu. Anak yang membuatnya selalu merasa berbau busuk saat dalam pikirannya terlintas seorang laki-laki yang tak diinginkannya. Setiap kali itu terjadi, Latifa selalu ingin muntah. Perutnya kerap mual tak berkesudahan seperti saat hamil. Jika itu terjadi, satu-satunya hal yang lebih mudah dan cepat mengobatinya adalah daun-daun beluntas itu. Ia sering membuatnya sebagai lalapan, juice, botok, atau jenis masakan yang lainnya.
Sekarang, ketika Masirah semakin tumbuh besar, setiap kali melihat bola matanya yang bulat bening, alisnya yang hitam tebal, hidungnya yang lebih mancung dibanding teman-teman sepermainannya di kampung, Latifa hanya ingin melindunginya dengan caranya sendiri.
***
Setelah mengurus segala sesuatunya, Latifa memanggil seorang perempuan yang telah ditunjuk mendampinginya sejak kedatangannya di tempat itu. Latifa mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari tasnya dan menyerahkannya pada perempuan itu.
“Maaf, Bu. Jangan lupa, tolong ini berikan padanya pada saat makan siang nanti. Dia sangat menyukainya,” ujar Latifa.
“Baik, akan saya usahakan, Bu. Kalau boleh tahu, ini apa?” tanya perempuan itu.
“Oh, itu botok tempe beluntas, kesukaannya,” jawab Latifa.
Perempuan itu segera mengemasi barang-barang Masirah dan membawanya ke sebuah ruangan. Latifa tetap diam di tempatnya berdiri, ia melayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Matanya mulai terasa panas, dadanya sesak. Untuk sementara, itu hal terbaik yang bisa dilakukannya untuk Masirah. Latifa berjanji akan bekerja sebaik-baiknya dan lebih berhati-hati di tempatnya yang baru nanti.
Saat perempuan itu kembali menawari Latifa untuk melihat-lihat seisi asrama sekali lagi, Latifa menolaknya dengan sopan. Ia justru bertanya di mana pintu keluar terdekat dari asrama itu. Latifa mengikuti petunjuk yang disampaikan perempuan itu. Saat ia bergegas menuju sebuah pintu, lamat-lamat ia mendengar suara Masirah sedang bercakap-cakap dengan teman-teman barunya.
“Kenapa dengan bonekamu itu?”
“Oh, ini. Tangannya patah.”
“Kasihan, ya?”
“Tak apa-apa. Nanti Ibuku akan menjahitnya.”
Latifa mempercepat langkahnya. Di sepanjang jalan belakang Panti Asuhan yang lengang itu, tubuh Latifa berguncangan oleh sedu sedan.
2017
Tjak S Parlan lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Cerpen dan puisinya tersiar di sejumlah media. Ia bermukim di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id
Leave a Reply