Cerpen Fakhri Cahyono (Suara Merdeka, 04 Juni 2017)
Bagi Mas Agus, tidak ada di dunia ini yang mampu menggetarkan hatinya, menyerikan wajahnya, menaikkan tinggi-tinggi sudut bibirnya —hingga giginya yang putih itu cukup untuk membuatmu menutup mata — melambatkan sekelilingnya, kecuali sepiring mendoan. Bahkan perempuan seayu dan sebahenol Mpok Neuneu pun tak cukup untuk menampik kebengongan Mas Agus dari secuil mendoan sekalipun! Padahal, orang-orang akan seketika berhenti beraktivitas dan menganga setiap kali Mpok Neuneu lewat menjajakan gorengan.
Namun ternyata itu tidak berlaku bagi Mas Agus.
“Kau lihat itu, Mas Agus?”
“Tentu!”
Mereka berdua memandang lekat-lekat yang sedang lewat. Sinar hangat yang mampir dari celah dedaunan membuat wajah mereka makin semringah. Kepul knalpot yang tiap waktu bertambah tak mereka hiraukan.
“Ah, berarti Mas Agus masih normal,” kata teman Mas Agus. “Hal beginian langsung nyahut.”
“Berarti kaupikir aku ndak normal?” jawab Mas Agus setengah berteriak dengan tangan kiri memukul trotoar, tetapi pandangan tetap lurus.
Temannya tertawa.
“Lihatlah, Mas Agus, lenggokannya itu lo. Duh! Bikin….” Menggebu-gebu benar teman Mas Agus.
“Setuju!” potong Mas Agus cepat. “Mendoan memang tak tertandingi!”
“E… ladalah!” sekonyong-konyong teman Mas Agus memekik, sampai-sampai Mas Agus tersentak. “Kok mendoan?”
“La terus apa kalau bukan racikan gorengan yang renyah dan uenak itu?”
“Bemo saya!” jawab teman Mas Agus kesal. “Ya bokong Mpok Neuneu-lah! Piye ta?”
Mas Agus terpingkal-pingkal jika mengingat temannya. Namun, sungguh, ia sedih dan lemas setelah itu karena teringat mendoan.
***
Kini, hari-hari Mas Agus penuh kekosongan. Tidak ada getaran-getaran di dada yang dulu sering mampir. Bagi Mas Agus, melihat sepiring mendoan dengan harum yang khas yang seakan memanggil untuk segera ditandaskan bersama secangkir kopi sama seperti kamu melihat calon gebetan tak kunjung tersentuh-tersenyum padamu. Degdegan. Semriwing. Semacamnya.
Sayang, Mas Agus tidak lagi bisa menemukan sepiring mendoan. Jangankan sepiring, sepotong pun teramat susah. Bukan karena Mpok Neuneu yang kabarnya berhenti jualan gorengan dan berganti haluan menjadi kupu-kupu malam. Bukan. Namun karena memang tidak ada lagi warung atau pedagang asongan yang menjual gorengan.
Pada era serbainstan dan kekinian, katanya gorengan terlalu kampungan. Toh sekarang kampung-kampung sudah berganti menjadi kota. Sawah-sawah ditanami rumah-rumah*. Warung-warung disulap menjadi kafe ala Eropa atau Korea. Gorengan berganti menjadi tom yam, yang kata Mas Agus, “Makanan macam apa pula ini.”
Tahun-tahun kemarin, manusia lebih memilih memanjakan perut dan berfoya-foya ketimbang bekerja. “Sekarang, manusia lebih memilih dipuja karena paling kekinian dan tren ketimbang memanjakan perut,” kata Mas Agus.
Mata Mas Agus nanar melihat rintik hujan yang tempias di kaca jendela ruang kerja. Dari gedung pencakar langit ini, seharusnya Mas Agus bisa melihat segala hal: genting yang basah, orang-orang yang berlarian mencari tempat berteduh, npendar cahaya lampu kota. Namun Mas Agus hanya melihat kekosongan. Sekosong hatinya saat ini.
Belum pernah luput dari ingatan Mas Agus, betapa dulu kekasihnya getol benar membuatkan mendoan dan menyeduh secangkir kopi bagi dia ketika turun hujan. Belum pernah lupa pula jawaban sang kekasihnya ketika dia mempertanyakan perihal kegetolan membuatkan makanan kesukaannya itu. “Bukankah tidak ada yang lebih syahdu daripada sepiring mendoan dan secangkir kopi ketika hujan? Setidaknya mereka tidak akan membiarkanmu kedinginan.”
Maka, ketika hujan bertandang, Mas Agus pun murung semurungnya. Memang benar, hal paling menyakitkan dalam hidup adalah kehilangan. Dan kesakitan paling perih bagi Mas Agus adalah kehilangan sesuatu dan orang terkasih.
***
Hari ini seisi kota dikejutkan oleh berita yang memenuhi halaman depan berbagai koran. Berita itu juga membuat Mas Agus tersedak kopi pagi-pagi. Berita yang begitu ramai, sehingga judulnya pun dicetak lebih besar daripada biasa. “Kembalikan Budaya Kami!”, “Rebut Budaya yang Telah Dicuri!”, “Sejumlah Janda Melakukan Aksi Demo Pemulihan Budaya”.
Ketika Mas Agus berangkat kerja, arus di jalanan macet oleh orang-orang yang berunjuk rasa. “Membuat penat saja,” batin Mas Agus.
Orang-orang demonstrasi, menyoal budaya yang katanya diklaim negara tetangga. Itu sangatlah biasa. Sudah terjadi berulang-ulang. Pernah Mas Agus bertanya pada salah seorang demonstran, kenapa baru ribut dan merasa kehilangan setelah ada yang lebih memedulikan, demonstran itu menjawab simpel dan bikin sebel.
“Seperti mantan yang terlihat lebih cantik setelah jadi kepunyaan orang.”
Halah, anjing! Memang sejatinya orang-orang kembali peduli setelah yang “dibuang” itu masyhur, jadi tren, booming? Mas Agus sudah terbiasa menghadapi kekonyolan macam itu. Namun kali ini berbeda. Berita pagi ini sangat mengganjal pikirannya. Bagaimana tidak? Orang berkata yang “diklaim” negara jiran itu adalah mendoan!
Di dalam mobil Mas Agus terus merenung. Perkara itu seharusnya membahagiakan. Dan akhirnya Mas Agus menemukan penjual mendoan. Meski dari luar negeri, itu bukan soal. Yang penting menuntaskan rindu. Karena, bagi Mas Agus, kerinduan adalah sepiring mendoan. Lewat mendoan, dia bisa tetap mengenang sang kekasih.
Namun itu tak semudah menggambar alis—saat ini ada alat penggambar alis instan. Apa jadinya jika di tengah keributan itu, dia malah enak-enakan ngopi dan makan mendoan impor dari negara tetangga? Orang-orang kekinian kan suka lebay, ribet. Hal kecil dilebih-lebihkan.
Mas Agus membayangkan sore yang gerimis ditemani secangkir kopi dan sepiring mendoan lengkap dengan cabe. Lalu segerombolan orang tiba-tiba datang dengan kain terikat di kepala, megafon, bendera-bendera, kertas karton besar bertulisankan “Pengkhianat Negara”, “Pendukung Negara Pencuri”, “Tidak Setia Budaya”, dan semacam itu. Memikirkan hal itu membuat kepala Mas Agus pening.
Di persimpangan jalan, lamunan Mas Agus dipecahkan oleh ketukan tangan pengemis kecil di jendela mobil. Sejenak pandangan Mas Agus teralih pada sesuatu yang dipegang si pengemis. Anak itu memegang othok-othok, mainan dari sandal bekas dan bambu berbentuk burung yang bisa berbunyi othok-othok saat didorong. Dulu, mainan itu banyak dijual di pasar malam dan pedagang kaki lima.
“Dari mana kaudapat mainan itu, Nak?” tanya Mas Agus setelah membuka jendela mobil dan memberikan beberapa recehan.
Anak itu mengernyitkan dahi. “Ini?” Si pengemis mengangkat othok-othok.
“Iya. Othok-othok itu. Mainan itu sudah lama punah kan? Apa mungkin sekarang masih ada yang menjual?”
Pengemis kecil memasukkan recehan dari Mas Agus ke dalam kantong plastik. “Aku membuatnya sendiri,” ujarnya lalu bergegas pergi ke jendela mobil lain sebelum lampu hijau menyala.
Mendengar jawaban si pengemis, pada pagi yang gerimis, seketika Mas Agus merasa ada secercah cahaya menampar-nampar wajah. Menyadarkan dia dari kebodohan yang dulu kerap ia maki, tetapi sekarang ia lakukan. “Ya, ya, jika rindu atau kebahagiaan tak kunjung bertandang, meski telah dicari-cari, cukup membuat pertemuan atau kebahagiaan itu sendiri,” batin Mas Agus seraya membentur-benturkan kepala ke klakson mobil hingga bising.
Lalu ia memutar balik mobil. Wajahnya cerah. Ia tersenyum, semringah. Mas Agus membayangkan sewajan mendoan menunggu di rumah. (44)
Semarang, 6 April 2016
Catatan
* Gubahan dari salah satu baris puisi “Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana” karya Gus Mus: Kau menyuruhku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah.
– Fakhri Cahyono, lahir di Kudus. Alumnus angkatan 12 Kampus Fiksi, pegiat Komunitas Fiksi Sastra Rumpun Nektar. Menulis cerpen dan puisi. Kini, bekerja sambil kuliah di Semarang.
flomenulis
Wahhh suka sekali cerpen ini… followed 😁😁
Fakhri Cahyono
Terima kasih sudah membaca. 🙂
Fakhri Cahyono
Saya baru sempat mengecek. Apa cuman dari ponsel saya, atau memang pemuatan cerpen ini di laman Lakon Hidup terpenggal di bagian pembukaan?