Cerpen Beni Setia (Koran Tempo, 03-04 Juni 2017)
PADA Buku Laporan Kehilangan Orang di Polsekta X bilangan Jakarta Timur, tertanggal 28/11.200x, dengan pelapor Mansur Munsyi sebagai majikan, dan Hadiana sebagai ketua RT 01x RW 1x dari kompleks perumahan T, tertulis berkas seperti ini:
Jum, Jumariah hilang. Pembantu rumah tangga keluarga Mansur Munsyi resmi melapor ke RT 1x RW 1x Kelurahan X di kompleks perumahan T. Identitas berdasar KTP yang masih berlaku, beralamat di RT 0x RW 0x, Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupaten B, Jogjakarta. Di hari Sabtu, jam 09.00, telah meninggalkan rumah karena disuruh Nia Ardianati, nyonya rumah, buat berbelanja di Mini Market A Perumahan T. Rutin. Sering dilakukannya, bahkan sering belanja bareng pembantu lainnya. Belanja.
Tapi hari itu Jum tak pernah kembali. Ditunggu sampai pukul 11.00, sesuai tenggat ideal buat bergegas memasak, sebab keluarga Mansur Munsyi akan kedatangan tamu yang dijamu makan siang. Ketika disusul serta dicari di Mini Market A, pelayan Nihon, yang apal semua pelanggan dari perumahan T, mengatakan bahwa hari itu Jum tidak terlihat sampai ke tempat itu. Ada kepanikan. Seusai Mansur Munsyi memesan menú makan siang seadanya—lewat telepon—ia menanyai pembantu sebelah untuk menyelidiki kira-kira ke mana dan dengan siapa Jum pergi. Memang. Tapi tidak ada jawaban jelas, meski Fathonah bilang, kalau Jum itu sengaja pergi ke Jakarta setengah mencari Harwianto—suami yang diusir orang tuanya.
Anehnya, tidak ada barang yang hilang. Bahkan—selain KTP dan surat nikah—semua barang bawaan Jum dan beberapa barang yang dibeli dari gaji 2 bulan bekerja utuh. Lebih tepatnya, giwang, cincin emas 18 karat, dan uang Rp 450.500 utuh dalam dompet yang tertinggal. Dengan kata lain, ada sesuatu yang membuat Jum itu merasa perlu meninggalkan rumah tanpa mempedulikan lagi hartanya. Apa? Kenapa? Membingungkan. “Jadi Jum itu pergi ke mana? Menghilang apa ada yang menculik? Kami butuh kepastian agar tak punya beban pada keluarga Jum,” kata Mansur Munsyi, berulang. Karena itu, teks resah Mansur Munsyi disertakan sebagai catatan khusus di bawah tanda tangan pelapor dan si penerima laporan, Keri Malawing.
***
DI B, keluarga Jum mengetahui hal menghilangnya Jumariah sejak Minggu pagi. Sebab, Sabtu malam Mansur Munsyi sudah menelepon Paklik Wi—Sukarwi. Yang dulu mendatangkan Jum ke Jakarta, yang bersigegas menyampaikan kabar menghilangnya Jum, yang tak membawa apa-apa itu—selain uang belanja yang cuma Rp 200.000. Dan Mansur Munsyi pun—sebenarnya—minta untuk segera dicek, apakah Jum sudah ada di B atau tidak, atau di sanak keluarga yang lain atau tidak. “Kami butuh kepastian,” kata Mansur. Pada Minggu pagi, Paklik Wi menelepon balik dan mengatakan bahwa Jum itu tidak ada di B, atau di sanak keluarga lainnya di seantero Jogjakarta.
“Ada apa, ngger?” kata Paklik Wi, menyelidik. Mansur Munsyi pun mengatakan tidak ada apa-apa—bahkan terus terang, kalau ia tidak mengerti ada apa karena ia dan istrinya itu selalu ada di luar, kerja. Dan sekaligus mempertanyakan, apakah memang benar Jum itu ke Jakarta setengah mencari suami yang diusir orang tuanya, setelah ia berbulan-bulan menganggur, tidak bekerja setelah sebulan sakit. Jawaban Paklik Wi positif. Tegas—meski dengan kalimat yang dibisikkan. Mengiyakannya. Minta maaf karena dulu tidak menyampaikan informasi yang benar tentang Jum, ihwal galau hati istri yang ditinggalkan suami tersayangnya.
“Terus kowe arep napa, ngger?” selidik Paklik Wi. Mansur Munsyi pun bilang akan melapor karena takut ada apa-apa dan disalahkan pihak keluarga Jum dan polisi. Paklik melarangnya karena akan berkonsultasi dulu dengan keluarga. Baru hari Kamis mendapat persetujuan keluarga—dengan catatan tidak menyertakan fakta Jum itu galau rindu kepada suaminya. “Jangan memakai embel-embel itu, itu memalukan keluarga,” kata Paklik Wi. Serta menurut Paklik Wi, izin itu baru keluar setelah keluarga Jum meminta petunjuk dari tiga orang wong pinter. Dukun, yang menyatakan: Jum masih hidup, Jum tak apa-apa, dan Jum itu pergi tanpa dipaksa atau diculik. Sukarela, serta Jum itu (kini) ada di sebelah barat-selatan Jakarta. Ya!
Dan baru di hari Jumat pagi, dengan membolos dari acara olahraga di kantor—tapi diketahui Kepala Kantor dan dengan seizinnya—Mansur Munsyi melapor ke Polsekta X, yang dengan cermat dicatat oleh Keri Malawing—yang mengatakan pelaporan itu telat, meski langsung mengerti ketika diceritakan proses rumit menjelang pelaporan itu; bahkan ia bilang kalau kriteria itu bisa dimasukkan termin orang hilang paling cepat baru bisa dilaporkan 3 x 24 jam dari setelah menghilang, serta (lagi pula) yang berhak melaporkan orang hilang itu, sesungguhnya, keluarga.
“Tapi apa Jum bisa diketemukan?”
“Kita akan mencacat, kita akan menembuskan laporan ini ke semua Polsekta dan Polsek di Jakarta, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Kita berusaha mencarinya semampu kita. Maaf. Kami kurang personil serta dana operasional,” kata Keri Malawing santai—setengah menenangkan, dengan penekanan tersirat pada fakta bahwa Jum itu hanya si orang lain bagi Mansur Munsyi, dan mereka sebenarnya terlalu cape karena sangat banyak mengurus berbagai masalah. Tapi apakah itu wajar? Mansur Munsyi termenung. Setelah seminggu, dengan uang pribadi, Mansur—dan sepengetahuan istrinya— : berita Jum hilang dipaksakan masuk TV. Tapi sampai seminggu setelah itu tidak ada kabar apa pun. Mutlak clep kaclep—seperti batu dilempar ke kolam.
Pergi ke mana Jumariah? Dengan siapa? Kenapa ia tidak mau berkabar?
***
DI pertengahan Desember, Paklik Wi muncul bersama orang tua Jum dan seorang Dukun. Orang tua Jum minta maaf karena Jum tiba-tiba menghilang dan meresahkan Mansur Munsyi—dan karena tak mau disalahkan, Mansur Munsyi memanggil Hediana, Kepala RT, serta beberapa orang sebagai saksi. Sekalian memberi izin pada orang tua Jum dan Dukun itu untuk memeriksa barang-barang Jum, untuk melakukan pelacakan spiritual—semacam kepastian wangsit kalau Jum belum jauh meninggalkan Jakarta ke arah barat. “Tapi apa ia selamat?” kata Mansur. Si lelaki tua berjanggut putih panjang melambai itu mengangguk—dan pada orang tua Jum ia bersumpah, kalau Jum tak apa-apa, malah terasa ada aura berbahagia yang kuat berhembus. Dengan kata lain, sebenarnya Jum lari menuju ke kebahagiaan. Dengan siapa? Si Dukun itu menggeleng.
“Tak apa-apa. Tidak perlu digelisahkan,” katanya menenangkan Mansur Munsyi dan Nia Ardianati di hadapan para saksi. Karenanya, saat ketiga orang itu pulang ke Jogja, Mansur Munsyi merogoh saku untuk membelikan oleh-oleh dan tiket kereta api. Tapi benarkah Jum telah bertemu dengan sebentuk kebahagiaan? Dengan siapa Jum itu (kini) berbahagia? Apa dengan suaminya—Harwianto—yang katanya menjadi si kuli gali parit di Jakarta? Tapi mereka bertemu di mana? Kapan? Bagaimana bisa tiba-tiba saja lari dan menghilang bagaikan ditelan bumi? Apa si kebahagiaan yang dilihat oleh Dukun itu bukan keterbebasan dari beban dunia—alias mati? Mansur Munsyi ingin mendesak Dukun, tapi lelaki itu mengoyangkan tangan dan menyunggingkan senyum. Ada yang tak bisa dijejaki—pikir Mansur.
Sepanjang sisa Desember, tiap Sabtu dan Minggu, dan di seluruh hari libur Natal serta tahun baru bersama, Mansur Munsyi berkeliling Jakarta. Menemui satu kelompok kuli gali migran ke kelompok kuli gali migran berikutnya. Mencari tahu apa ada yang kenal, dan tahu di mana kira-kira (kini) Harwianto itu—yang berasal dari B, Jogjakarta—berada. Menjelang tutup tahun baru, ketahuan kalau Harwianto itu ikut jadi kuli gali kelompok Jempana. Dan selalu diingat Jempana, kalau Herwianto itu tak pernah mudik saat libur, jeda kerja, dan bahkan saat Lebaran, dan (lalu) tiba-tiba saja ia menghilang. “Itu sekitar Sabtu,” kata Jempana, sambil mengambil catatannya, “Di 28/11. Bahkan ia tak mengambil upah lima hari kerja dan satu hari lembur—Minggu.”
“Bapak tak tahu di mana Har itu kini berada? Kalau Bapak tahu, suruhlah dia itu mengambil upahnya. Bilangin, yang bener kalau mau keluar—ngomong dulu, jangan menghilang kayak kambing,” kata Jempana. Mansur Munsyi melengos. Menggerutu dan tanpa menjawab ia menjauh. Dan pada pertengahan minggu ketiga Januari, ketika makan siang, HP Mansur Munsyi berdering. Suatu nomor asing mengontak—itu telah lima kali menghubungi tapi tidak pernah diterima—yang dengan enggan diterimanya berkontak. Iseng di tengah jemu menunggu datangnya menu pesanan membuat Mansur Munsyi tersentak, kaget. Di seberang itu ternyata (ada) Jum. Dan setelah lama bungkam, karena melulu diberondongi tanya, dan—saat Mansur Munsyi tersadar siapa tahu Jum memakai telepon umum—barulah ia cuma pasif dan mendengarkan, bahkan ketika Jum mengaku kalau ia dan Har kini berada di Riau. Terbata bilang bila mereka itu baru bisa kembali berkumpul sebagai suami-istri. Berbahagia meski serba kekurangan.
Lalu Jum meminta agar Mansur Munsyi menyampaikan kabar baik tentang dirinya itu pada keluarganya di B—sebetulnya meminta agar barang-barang miliknya dikirimkan kepadanya, tapi menyerah seusai dikatakan bila semua itu telah diambil ayahnya. “Maaf,” katanya sebelum kontak diputus. Mansur Munsyi sebetulnya mau mengebel balik tapi terpikir buat apa. Akhirnya cuma menyimpan nomor telepon yang dipakai Jum itu ke memori HP. Lantas mengebel istri, mengebel Hadiana, serta Paklik Wi—padanya ia juga mengirimkan nomor telepon yang tadi dipakai Jumariah. Lega ketika Paklik Wi menggerutu—“Jumariah edhan …!” katanya.
***
Lahap menyantap menu meski makanan yang terlambat itu telah dingin. Mansur Munsyi merasa terbebas. Merdeka. Malamnya mengajak Nia Ardianati makan di luar. A candle light dinner. Merayakan berkumpulnya lagi pasangan suami-istri Jumariah dan Harwianto, yang di keserbakekurangannya berani menempuh hidup bersama—dan nanti Jum riang memilih hamil dan Har pun senang punya dua atau tiga anak. Alamiah.
“Kita terlalu rasional sehingga terus menangguhkan punya anak—padahal sangat ingin. Kita harus berani mempunyai anak, agar tidak melulu hidup untuk mencari uang serta menambah tabungan thok …” katanya sambil tersenyum.
Tapi Nia Ardianati itu hanya tersipu—tak menolak dan tidak mengiyakan. Datar. Rasional seperti biasanya. “Edhan,” guman Mansur Munsyi. Terlongo. Bingung.
Catatan:
*) Cerita ini didasari cerita rakyat Jawa “Suminten Edhan”.
Edhan: gila, lebih pasnya, bertingkah irasional karena tekanan batin.
Paklik: paman
Ngger: nak
Wong pinter: orang pintar, yang punya pengetahuan spiritual dan mistik.
Kowe arep napa: kamu mau apa
Wangsit: pengetahuan supranatural
Beni Setia, lahir di Bandung pada 1954. Ia menulis cerpen, puisi, dan esai sosial-budaya. Tinggal di Caruban, Jawa Timur.
Leave a Reply