Cerpen Zainul Muttaqin (Kedaulatan Rakyat, 04 Juni 2017)
TIDAK diketahui mengapa laki-laki tua itu menangis terisak-isak sampai badannya yang tampak seperti batang lidi berguncang-guncang di atas sajadah. Seorang takmir masjid, Kasdu mengajaknya bicara dan ia tetap pada posisinya, bersila di atas sajadah dengan pejam mata yang terus berair.
‘Saya sedang menunggu…’ laki-laki itu baru membuka mulutnya ketika Kasdu selesai mengumandangkan azan Subuh. Tidak berlanjut kalimat yang terlontar dari mulut laki-laki tua itu.
‘Apa yang kau tunggu?’ Kasdu mendesak jawaban. Laki-laki tua itu kembali menangis. Gemuruh di dadanya perlu ditenangkan. Sejenak ia mengatur alur napasnya.
‘Menunggu Izrail.’ jawabnya diantara tarikan napasnya yang terdengar goyah. Mendadak jantung Kasdu seperti akan copot dari tangkainya. Kasdu belum paham, apa maksud ucapan laki-laki tua itu? Apa ia berharap mati di dalam masjid? Lagi pula, apa untungnya mati dalam masjid, terlebih masjid yang ia tempati kini jarang didatangi warga, bahkan akhir-akhir ini tak seorang pun ada orang mau salat di masjid itu.
Satu-satunya orang yang tetap merawat masjid itu adalah Kasdu. Ia datang hanya untuk mengumandangkan azan setiap masuk waktu salat, itupun jika tidak berhalangan dengan pekerjaan lain di rumahnya. Terkadang Kasdu salat sendiri di masjid, terkadang pula lebih memilih salat jemaah di rumah bersama anak istri.
‘Kenapa kau memilih masjid ini? Saya khawatir…’ Kasdu mengambil napas dalam-dalam. Memandang wajah laki-laki itu sekilas, sebelum akhirnya berujar, ‘Saya hanya khawatir tak ada yang mengetahui kematianmu bila itu terjadi, sebab tak ada orang yang mau ke masjid ini kecuali saya.’
‘Saya lihat banyak rumah disini. Kenapa mereka menjauh dari rumah Tuhan?’ Pertanyaan laki-laki tua itu membuat Kasdu mengelus dada, coba menelusuri sebab musabab mengapa orangorang kampung tak lagi berbondong-bondong ke masjid, salat berjemaah sebagaimana dulu.
‘Semua orang di kampung ini sudah tidak ada, mereka pergi ke kota, diangkut truk. Mereka belum pulang.’ Tanpa bisa mengurangi debar-debar ketakutan di dalam dadanya, Kasdu melihat ke luar masjid dengan perasaan was-was.
‘Untuk apa mereka pergi ke kota?’ Laki-laki tua itu mengejar jawaban dari mulut Kasdu. Dengan mendekatkan mulutnya ke telinga si laki-laki tua, Kasdu berbisik ‘Membela Tuhan.’
Mendengar jawaban Kasdu, laki-laki tua itu tertawa terpingkal-pingkal. Kening Kasdu berkerut seperti garis yang terombang-ambing. Belum sempat Kasdu bertanya, mengapa ia tertawa? Laki-laki tua itu sudah mengajak Kasdu untuk salat berjemaah. Detak jam terseok-seok berbunyi di atas dinding. Tak lupa begitu mereka selesai salat, Kasdu langsung menyergap laki-laki tua itu dengan pertanyaan yang sejak semula ia simpan.
‘Kenapa kau tertawa?’ Kasdu menekan suaranya, bertanya.
‘Tuhan siapa yang dibela? Jika mereka yang kita caci, kita serang, kita bunuh masih satu Tuhan yang sama.’
‘Apa itu alasanmu tertawa?’
‘Tidak!’
‘Lalu?’
‘Izrail.’
‘Izrail?’
‘Tak sadarkah kau? Jika dari waktu ke waktu, dari menit ke menit, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, apa yang kita tunggu?’ Pertanyaan laki-laki tua itu dijawab gelengan kepala oleh Kasdu. Tasbih di tangan laki-laki keriput itu tetap berputar berseiring dengan suara jarum jam.
‘Kita hanya menunggu Izrail. Kematianlah yang kita tunggu.’ Laki-laki tua itu menjawab pertanyaannya sendiri.
‘Kenapa kau ingin menjemput ajalmu di masjid ini? ‘
‘Entahlah!’ Laki-laki itu mendesah. Kemudian berlinang air matanya, lirih ia berujar pada Kasdu, ‘Saya hanya berharap ada orang yang mau mensalatkan jenazah saya di masjid ini. Mungkin hanya ini satu-satunya masjid yang bisa mensalatkan jenazah saya nanti.’ q – g
Pulau Garam, Mei 2017
*) Zainul Muttaqin, Lahir di Garincang, Batang-batang Laok. Batang-Batang, Sumenep Madura 18 November 1991. Salah satu penulis dalam antologi cerpen; Dari Jendela yang Terbuka (2013) Cinta dan Sungai-sungai Kecil Sepanjang Usia (2013) Perempuan dan Bunga-bunga (2014).Gisaeng (2015). Tinggal di Madura.
Leave a Reply