Cerpen Mustofa W Hasyim (Kedaulatan Rakyat, 18 Juni 2017)
KARENA tiga tahun berturut-turut gagal mudik, padahal Pardi sudah mengirim kabar ke desa, untuk tahun ini dia kapok memberi kabar ke desa. Ia trauma. Dan tidak ingin mengecewakan keluarga. Mereka pasti menganggapnya sebagai anak kurang berbakti. Sungkem setahun sekali saja tidak mau. Begitu prasangka mereka. Soalnya memang bukan mau atau tidak mau, tetapi tidak mampu mudik. Kalau tidak ada uang dan sedang menunggu anggota keluarga di rumah sakit, apa dipaksakan pulang?
Sejak pertengahan tahun lalu, Pardi dan isteri berhemat betul. Menabung. Penghasilan isteri dari membuka warung es jus memang lumayan. Tetapi dana untuk membeli buah juga banyak, apalagi untuk membeli gula, membayar listrik. Dan lagi semua anaknya, gara-gara ibunya menjual es jus, setiap hari minta jatah segelas, kadang dua gelas es jus. Tentu ini mengurangi keuntungan.
Pardi lalu melarang anaknya minta jatah es jus ibunya. Kalau mau minum es jus harus membeli, membayar seperti orang lain. Uangnya, toh dari ayah. Kecuali anak sulung yang di kampus dipercaya menjadi koperasi mahasiswa sudah punya uang saku sendiri. Dua adiknya, belum punya penghasilan. Pardi dengan cerdik mengatur pemberian uang saku anaknya.
“Kalau kita tidak ketat, mana mungkin kita bisa sungkem Lebaran nanti,” bisik Pardi.
Dan benar, seminggu setelah bulan puasa berlangsung, Pardi dan isterinya membuka tabungan. Ditambah THR dari pabrik tempat Pardi bekerja, jumlahnya lebih dari cukup kalau untuk biaya membeli tiket kereta api dan membeli oleh-oleh.
Selama seminggu ini anak sulung kalau malam diminta dosennya untuk menyusun laporan sebuah penelitian. Tebal juga halaman penelitian itu. Ketika laporan itu selesai, dia mendapat honor yang lumayan besar.
“Saya mau beli motor, bisa untuk mudik,” kata anak sulung, sore menjelang berbuka puasa..
Pardi dan isterinya terkejut.
“Beli motor? Pulang mudik naik motor? Terus ayah, ibu dan adik-adikmu bagaimana?”
Leave a Reply