Cerpen Gunawan Budi Susanto (Suara Merdeka, 18 Juni 2017)
Perih! Itulah yang dia rasakan setiap kali menjelang lebaran. Sekarang, sudah dua puluh kali lebaran sejak dia menghilang. Dua puluh kali lebaran pula dia tak pernah pulang. Padahal, setiap kali lebaran menjelang, kerinduan selalu memberual.
Jauh dari kampung halaman, rasa sepi mengecambah, lalu pelan-pelan membelukar. Dan setiap kali lebaran, dia tersesat dalam belukar kesepian. Dia merasa tak berarti, merasa sia-sia.
“Pulanglah. Telah kelewat lama kau lari.”
Desakan ingin pulang makin hari kian kuat. Namun kenapa untuk meyakinkan diri pernah dan masih hidup mesti pulang ke tanah kelahiran?
“Kau pergi lantaran merasa tak mungkin hidup sebagaimana kauinginkan. Kini, setelah sekian lama menghilang, kau merasa bisa hidup sebagaimana kauinginkan. Orang pun mengenalmu sebagaimana kauinginkan. Namun kau justru merasa hampa, merasa tak berarti bukan?”
Dia merenungi perjalanan hidupnya, sekian lama jauh dari kehangatan keluarga, jauh dari canda tawa dan ledekan kerabat dan kawan. “Kenapa mesti pulang untuk meyakinkan diri aku ada? Kenapa aku berharap diterima saat pulang dan bisa hidup di kampung sebagai pribadi baru—yang mereka kenali berjejak jauh dari masa lalu?”
Dia tertunduk. Air matanya merebak. Dia menahan isak.
“Pulanglah. Kau butuh kepastian: hidupmu bukan kekeliruan. Kau butuh kesaksian dan pengakuan. Itu hanya bisa kau peroleh dari orang-orang terdekat, terutama Ibu dan Bapak. Jangan tunda lagi, sebelum terlambat dan kau bakal menyesal.”
Isaknya pecah. Dia menangis, tersengal-sengal. “Kenapa mereka tak mencariku? Apakah bagi mereka, lebih baik aku tak ada ketimbang ada tetapi tidak hidup sesuai harapan mereka?”
“Pulang dan kukuhkan: kau hidup sesuai dengan pilihanmu. Bukan berdasar kehendak orang lain, sekalipun mereka ibu dan bapakmu. Tak perlu ragu. Jika pulang, kau bakal tahu: mereka menerimamu apa adanya atau menganggapmu tak pernah ada.”
“Apa setelah itu aku bisa tetap hidup seperti sekarang? Atau harus mengubah diri seperti harapan mereka?”
“Pulanglah dan kau bakal tahu.”
***
Kini, di kamar hotel di kota kabupaten, dia mematut-matut diri di depan cermin. Pria tampan berbaju koko, bersarung palekat, dan berpeci hitam serbabaru itu tersenyum.
Lalu dia melepas peci, baju koko, sarung palekat dan menggantungnya di lemari. Dia ambil pakaian dari koper, memilih, dan berdandan. Di dasar koper tersisa mukena putih. Mukena lama, seusia masa pelariannya.
Dia letakkan mukena itu di kasur. Dia buka lipatan. Menguar bau kapur barus. Dia tempelkan mukena itu ke tubuh di depan cermin. “Cingkrang, kurang panjang, tapi masih bisa kupakai.”
Beberapa saat kemudian dia sudah mengarahkan mobil menuju kampung halaman. “Cuma 15 kilometer. Aku tak perlu tergesa-gesa.”
Memasuki jalanan desa, mobil memelan. Dadanya berdebar, hatinya berdenyar. Namun sekonyong-konyong kegugupan menyeruak. Dia menepikan mobil di jalan yang terapit hamparan sawah. Bulir-bulir padi kuning merunduk.
“Sebentar lagi panen,” gumam dia.
Turun dari mobil, dia berjongkok di tepi parit. “Bukan beras ketan.” Dia teringat, dulu saat bocah, ketika bulir padi merunduk, dia dan adik-adiknya acap ke sawah itu. Mereka mengambil setangkup, lalu memecah kulit padi, menggigit dan mencecap. Gurih!
Mereka juga membuat peluit dari dami, batang padi. Meniup berbarengan atau bergantian, unggul-mengungguli. Pemilik peluit bersuara paling keras dan panjang, boleh menggigit dan mengunyah bulir padi yang dikupas sang pecundang.
Dia seperti melihat kembali ketiga adiknya berseru-seru di ujung pematang. Menunjuk-nunjuk ke sesela rumpun padi. Dia turun ke lumpur. Adik-adiknya berseru riang.
“Itu, Mbak, itu di depanmu! Lagi, lagi…. Itu, Mbak, itu, di kiri!”
Matanya menerawang, jauh ke ujung jalan. Di sana, di pengujung jalan itulah rumah mereka. Di sana, di dapur rumah masa bocah itu, sepulang dari sawah mereka merebus keong sawah. Sedap!
Matanya berkaca-kaca. Dia gamang.
“Bangkitlah! Temui mereka!”
Dia bangkit, masuk ke mobil, memasuki desa. Jalanan teduh, terpayungi tajuk pohon besar trembesi di kiri-kanan. Menyegarkan.
Mobil memelan dan berhenti di depan balai desa. Beberapa lama dia masih terduduk. Sejenak ragu, tetapi akhirnya dia turun dan memasuki balai desa. Ah, dia baru ingat: ini Minggu. Pantas balai desa lengang. Cuma ada seseorang duduk di sana, membaca koran.
“Kula nuwun!”
“Mangga!” sahut lelaki di balai desa itu sembari menurunkan koran.
Dia tersentak kaget. “Dwicipta?” desis dia seraya merandek.
“Mari, silakan masuk,” ujar lelaki itu berdiri, melipat dan meletakkan koran ke meja. “Maaf, Bapak siapa? Ada keperluan apa?”
Dia mendekat, mengulurkan tangan. “Saya Hendra. Kebetulan lewat desa ini, lalu teringat punya kawan SMA di sini. Memang sudah sangat lama, tapi siapa tahu bisa bertemu. Bapak…?”
“Dwicipta, kepala desa ini. Silakan duduk.”
“Oh!” Sembari menekan kegugupan, dia duduk. Sejenak dia tertunduk. “Dia tak mengenaliku!” batin dia.
“Kawan SMA? Siapa, Pak?”
“Reni. Dulu bapaknya lurah,” sahut dia. Dadanya berdegup kencang. Dia mengusap dahi yang membasah, berkeringat.
Lelaki di hadapannya terdiam. Menerawang ke kejauhan. Sejenak lelaki itu mendongak, menatap tajam, lalu berucap pelan, “Dia mbakyu saya. Kami tak tahu di mana dia sekarang. Sudah kami cari ke mana-mana. Dia menghilang. Tak pernah berkabar, tak pernah pulang.”
“Menghilang…?”
“Ya. Kini, Bapak dan Ibu sudah sepuh. Sebelum meninggal, mereka ingin bertemu. Namun….”
“Ah, maafkan saya. Saya pamit,” ujar dia tiba-tiba sambil bangkit. Sembari menahan gemuruh di dada, dia bersicepat melangkah, masuk mobil, dan melaju. Meninggalkan sang kepala desa yang terlongong.
Di kamar hotel, dia termangu di tepi pembaringan. “Mereka mencari-cari kamu kan? Apalagi yang kautunggu? Mau lari ke mana lagi!?”
Dia membaringkan diri, miring, menekuk lutut nyaris menyentuh dada. Mlungker. Matanya memejam. Segala kenangan berseliweran dalam benak. Silang-sengkarut, serupa gambar-gambar tumpang-tindih tak keruan.
“Berapa kali sudah kau diusir dari kos? Berapa kali lagi kau harus berurusan dengan polisi?” hardik sang ayah ketika dia pulang dengan wajah dan tubuh lebam. “Kaupikir dengan lagak jagoan, orang percaya kau lelaki jantan!? Copot celanamu, pakai rok! Kau kusekolahkan di kota bukan untuk jadi bergajulan macam itu. Melawan kodrat!”
Akhirnya, setelah terjadi berkali-ulang, dia tak lagi menggubris. Dia ganti pakaian, lalu kabur dengan motor protolan. Tak memedulikan tatapan sayu sang ibu yang menekan tangis. Berhari-hari dia tak pulang. Berbulan-bulan, bertahun-tahun. Dia menghilang, sampai sekarang.
***
Dia menekan perut yang melilit-lilit. Nyeri. Dia bangkit. Sambil menekan perut, dia terhoyong-hoyong masuk kamar mandi. Dan ah…, belum sempat mencopot celana, darah sudah membanjir.
Dia menggelosor di lantai bersandar dinding. “Kenapa Kau tak memberiku pilihan? Kenapa!?”
Sesaat kemudian dia keluar. “Halo! Mbak, bisa minta tolong room service membelikan pembalut?” ujar dia lewat saluran telepon internal.
“Bisa, Ibu. Nanti kami antar ke kamar.”
“Ya, Mbak, saya tunggu. Terima kasih.”
Dia naik ke pembaringan, bergelung telanjang di bawah selimut. Meringkuk, merutuki nasib. Kini, dia tak mungkin kembali ke tanah kelahiran untuk salat id saat lebaran. Jangankan dengan peci, sarung, dan baju koko serbabaru, salat dengan mukena lama pun musykil dia lakukan. (44)
Patemon, 14 Juni 2017: 04.30
– Gunawan Budi Susanto berasal dari Blora, kini tinggal di Semarang. Buku cerpennya Nyanyian Penggali Kubur (2011, 2016) dan Penjagal Itu Telah Mati (2015). Kumpulan cerkak-nya, Cik Hwa, sedang dalam proses penerbitan.
Leave a Reply