Cerpen Iksaka Banu (Koran Tempo, 10-11 Juni 2017)
Itu bukan suara sepatu beradu dengan tanah. Bukan! Alas kaki tidak terlalu akrab untuk sebagian besar dari mereka. Sialnya, meski sudah berulang kali menjadi topik bahasan maupun gurauan di lingkungan militer, baik di Breda maupun di Batavia, tetap saja kaki-kaki telanjang itu sanggup mengecoh kami. Membuat pemiliknya mampu melangkah sesenyap kucing saat melakukan aksi penyergapan, seperti yang terjadi tiga hari lalu.
Ya, bukan derap sepatu, melainkan suara tongkat kayu setebal ibu jari, yang diseret dan dipukul-pukulkan ke atas tanah berkerikil. Teror yang semakin mendekat itulah yang barusan membuatku terjaga. Ini sudah berlangsung tiga malam. Para jahanam itu sengaja melakukannya. Mereka tahu, suara tongkat yang datang pada jam selarut ini tak pernah gagal membangkitkan rasa gentar. Dan mereka benar. Tanpa bisa dicegah, badanku menggigil. Jantungku berdebur tak terkendali. Apalagi setelah pintu kayu berlapis seng di depanku terbuka.
“Kaluar, siah! Belanda perdom! Ngeunah sare di kandang hayam?” seseorang menyorotkan senter ke arah mataku. Mereka bertiga. Kegelapan malam dan cahaya senter menghalangi pandangan. Tetapi dari suara dan siluet tubuh, mereka bukan orang-orang yang sama seperti kemarin. Mereka rajin menukar petugas. Siasat jitu membuat pesakitan seperti aku selalu berada dalam keadaan takut dan hanya bisa mengira-ngira, apakah mereka lebih ganas dibandingkan petugas sebelumnya?
Perlahan aku merangkak menuju pintu. Saat kepalaku menjulur keluar, seseorang menghantam dahiku dengan tongkat, membuatku ambruk mencium tanah.
“Gancang! Tincak siah ku aing!” si pemukul menekan sebelah kakinya ke atas kepalaku.
“Sudah! Mati dia nanti. Biarkan bangun,” kata yang lain.
“Angkat kepala!” orang ketiga menungguku tengadah, lalu membebat mataku dengan kain. “Berdiri!” lanjutnya seraya menarik-narik kerah bajuku.
Aku terhuyung, mendorong tubuh ke atas. Kepalaku membentur kusen pintu yang memang terlalu rendah untuk ukuran tubuhku. Kandang ayam, kata orang tadi. Aku akan sangat bersyukur bila rongsokan yang menjadi atap tidurku selama tiga hari ini benar-benar sebuah kandang ayam. Setidaknya kandang ayam memiliki dinding yang terbuat dari jalinan kawat. Tidak pengap. Sementara bangunan berukuran sekitar dua meter persegi ini melulu tersusun dari batang bambu dengan atap seng. Mungkin awalnya ini tempat menyimpan perkakas pertanian. Tak ada jendela. Udara hanya lolos dari kuda-kuda penyangga atap atau batang bambu yang kebetulan tidak menempel rapat. Menciptakan neraka saat matahari berada di atas kepala.
Setelah berjalan sekitar lima menit, dan menerima sejumlah tendangan di pantat, aku diminta berhenti melangkah. Terdengar derit pintu dibuka. Tak lama kemudian, sepasang tangan menekan kedua bahuku, memaksaku duduk di atas sebuah kursi kayu. Lalu, kain penutup mataku dibuka.
Aku mengejap-ngejapkan mata. Sebuah ruangan cukup besar, agak remang-remang. Sumber cahaya berasal dari lampu minyak tanah berukuran kecil, menempel di tiga sisi dinding. Yang berikutnya hadir memenuhi rongga penglihatan adalah seorang pria berambut panjang, dengan bau ketiak menyengat. Ia yang memaksaku duduk. Dua lelaki lain berdiri di belakangnya. Salah seorang menggenggam tongkat kayu. Pastilah dia si bedebah yang tadi memukul wajahku. Mereka mengikat tanganku ke belakang sandaran kursi, lalu lenyap di balik tirai pintu, meninggalkanku sendirian di tempat itu.
Aku memandang berkeliling. Butuh sedikit waktu menangkap keadaan sekitar karena kelopak mataku terhalang daging kening yang membengkak sebesar telur angsa. Ini bukan kamar yang biasa dipakai menyiksaku. Tempat ini cukup bersih. Dindingnya dari anyaman bambu, lantainya tanah keras. Tak ada perabot lain kecuali sebuah meja kayu bundar dan empat buah kursi. Aku duduk di salah satu kursi itu. Kutengok lantai sekali lagi. Tak ada martil, catut, atau kawat pemelintir yang kemarin meremukkan jari kakiku. Tak kulihat pula kehadiran si kurus yang gemar menyulut lenganku dengan rokok menyala, atau pria kekar dengan cincin akik yang gemar menggocoh wajahku di setiap ujung pertanyaan yang tak bosan-bosannya ia lontarkan: “Di mana TNI ditawan? Di mana teman-teman kami?”
Aku sudah hampir setahun berada di Hindia. Bergaul cukup dekat dengan penduduk setempat dan tentara KNIL pribumi. Belajar bahasa Melayu ditambah beberapa patah kata dalam bahasa Sunda. Aku tahu yang mereka bicarakan. Namun untuk setiap pertanyaan, hanya kuberikan satu jawaban: “Weet ik veel!”
Akibatnya, setiap malam aku menjadi bulan-bulanan amarah mereka. Ya, bangsa yang katanya paling halus di dunia ini ternyata bisa menjelma menjadi setan-setan sadis. Namun nasib baik macam apa yang bisa diharapkan seorang tawanan di masa perang?
Tiga hari lalu, ada informasi bahwa rombongan TNI dari Jogyakarta dalam jumlah besar memasuki Desa Rancamanggung. Mereka prajurit Siliwangi yang kembali ke daerah asal setelah gagalnya pihak Belanda dan Republik mematuhi Perjanjian Renville. Dari mata-mata, diperoleh keterangan bahwa mereka menginap di Desa Ciseupan dan Pasirserah, yang merupakan wilayah militer kami. Tentu saja tak bisa dibiarkan.
Aku dan sejumlah pasukan dari sektor Cikaramas mendapat tugas mengusir mereka keluar dari daerah itu. Kontak senjata yang meletus pada pukul 05.00 pagi berhasil membuat mereka mundur ke arah Rancamanggung. Beberapa tewas, dan tiga orang kami bawa ke markas sebagai tawanan. Semula kami pikir mereka akan pergi meninggalkan kedua desa itu. Ternyata kami keliru. Pukul 08.00 pagi, mereka mengendap, menyerang secara mendadak saat kami sedang berkumpul di lembah, dekat sebuah empang. Banyak di antara kami, termasuk dua orang perwira, tewas di tempat.
Aku tak sempat meraih senjata dan terpisah cukup jauh dari pasukan. Tak berkutik di bawah todongan bedil. Mereka lalu memecah pasukan ke pelbagai jurusan. Mungkin untuk menghindari serbuan balasan. Agak sulit menebak di desa mana aku berada saat ini karena mereka menggiringku dengan mata tertutup seperti yang mereka lakukan belum lama tadi.
“Goede nacht, Kapten Martijn van Oijen!” mendadak terdengar suara dalam bahasa Belanda bercampur logat setempat. Aku menoleh. Seorang pria pendek berbalut seragam TNI warna khaki menghampiriku seraya memasang senyum di bawah kumisnya yang tebal. Tanda pangkat di bahu menjelaskan ia seorang mayor menurut hierarki TNI. Di belakangnya, mengekor dua orang pengawal dengan senapan Lee Enfield di tangan. Boleh jadi itu hasil rampasan penyergapan kemarin.
“Maaf, saya dan rombongan terlambat datang, sehingga Tuan harus mengalami segala siksaan itu,” ia menarik kursi, duduk di seberangku.
“Tuan akan ditangani juru kesehatan. Dan saya akan memberi sanksi keras kepada para pelaku penyiksaan,” lanjutnya, masih dalam bahasa Belanda yang tak begitu lancar. Ia mengangkat telunjuk. Seorang pengawal maju, membuka ikatan tanganku.
“Nama saya Tatang,” ia menatap mataku. “Para penyiksa terbawa amarah karena kematian rekan-rekan mereka, sehingga berlaku liar. Kami tidak menanyakan di mana kalian menahan anggota TNI. Kami sudah tahu,” ia mengangsurkan dompet bambu berisi rokok kretek. Aku menarik sebatang, lalu memburu nyala korek api yang disodorkan olehnya. “Yang kami inginkan hanyalah tanda tangan Tuan di atas surat ini,” tangannya terulur. Kuamati kertas itu.
“Semoga Tuan mau bekerja sama,” Tatang bangkit, meraih lampu dari dinding dan menaruhnya di meja agar aku lebih jelas membaca. “Perang hampir usai. Permintaan kami tidak banyak. Tanda tangan dan nama Tuan di situ cukup menjadi jaminan penukaran kawan-kawan kami denganmu.”
Aku membisu cukup lama, sebelum menjawab: “Tuan baik sekali. Tetapi maaf. Kalau harus ditukar, tolong tambahkan satu persyaratan lagi bahwa seluruh senjata rampasan, termasuk dua buah mortar, dikembalikan kepada kami.”
“Tidak bisa, Kapten,” Tatang melipat tangan ke atas meja. “Yang dapat kami janjikan adalah, kami akan pergi secepatnya dari sini. Ya, seluruh pasukan, tanpa kecuali. Bukankah pihak Tuan sudah banyak mendapat daerah strategis dari Perjanjian Renville kemarin?”
“Maaf,” aku menggeleng.
Tatang menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursi.
“Baiklah,” katanya. “Memang sulit berunding dengan bahasa terbatas. Untuk itu, saya akan membiarkan teman saya mengambil alih peran. Ia jauh lebih fasih bicara Belanda. Sampai besok, Kapten! Jangan lupa tanda tangan,” Tatang melempar pandang satu kali kepadaku, sebelum masuk ke balik tirai pembatas ruangan tanpa diikuti kedua pengawalnya.
Aku masih termangu menatap asap putih yang meliuk-liuk dari ujung rokok di antara jemariku, ketika seraut wajah berkulit putih dan berambut pirang menjatuhkan tubuh ke atas kursi kayu di depanku.
“Kapten Van Oijen,” ia mengangguk.
“Siapa kau?” aku menarik tubuh ke arah sandaran kursi, sambil memastikan bahwa yang duduk di hadapanku dalam seragam TNI ini benar-benar seorang kulit putih yang bicara dalam logat Belanda asli.
“Panggil aku apa saja. Si Sontoloyo, atau Jan Kapir, seperti mereka memanggilku dulu. Tidak penting. Jauh lebih penting bagimu untuk mulai berpikir bahwa perang ini sia-sia. Sama sekali tidak terhormat,” kata orang itu sembari merogoh pipa gading dari saku baju. “Tempat ini sangat tersembunyi. Rekan-rekanmu akan sulit melacak. Semakin cepat engkau menorehkan tanda tangan di atas surat itu, semakin baik. Kau bisa kembali ke tengah kesatuan, dan kami dapat segera meneruskan perjalanan ke Bandung bersama tawanan pihakmu.”
“Kami? Apakah aku sedang bicara dengan seorang landverrader?” tanyaku. “Lihat baik-baik bajumu! Apakah engkau lahir di sini dan terlalu lama menetek kepada babu Jawa, sehingga hilang ingatan? Sadarlah. Kau sedang mencoreng martabat bangsamu sendiri!”
“Sekali lagi, silakan menyebutku apa saja,” Jan menyulut tembakau di dalam pipanya. “Tetapi martabat seperti apa yang sedang kau risaukan sebenarnya? Apakah pilot P-40 yang tempo hari menembaki rombongan tentara Siliwangi yang sedang melakukan long march itu punya martabat? Para pejuang Republik itu membawa anak-istri mereka, cita-cita mereka, masa depan mereka. Berjalan kaki sejauh 900 km dari Jogya, hanya untuk kemudian terkapar berserakan, mandi darah di sawah seperti hama tikus!”
“Teman-temanmu membantai kami tiga hari lalu. Dua perwira Belanda gugur, juga belasan lain. Kau tidak memikirkan keluarga dan masa depan mereka?” sahutku.
“Turut berduka. Tetapi para Belanda itu tidak membawa anak-istri saat ditembak. Itu beda!” balas Jan.
“Seharusnya kau tahu. Hal semacam itu disebut ekses,” kataku. “Reaksi di luar kendali. Maklum, kelakuan para ekstremis selalu sama: menghadang konvoi Belanda, melepas tembakan, lalu lari ke tengah perkampungan. Bisa juga ke tengah kerumunan long march itu. Memancing amarah dan rasa frustrasi kami. Lalu semua terjadi, tanpa kendali. Persis seperti kawan-kawanmu saat menyiksaku kemarin.”
“O, ya, ya. Tentu saja. Ekses!” Jan tertawa sinis. “Berapa umurmu, Kapten? Mungkin kita sebaya. Tetapi di manakah engkau saat Rotterdam dihujani bom dan diduduki Jerman? Main boneka bersama adik perempuanmu? Aku bersama pejuang bawah tanah kala itu.”
“Aku bukan pengkhianat seperti dirimu. Aku berjuang, ikut ke Maastricht,” jawabku geram.
“Baiklah, aku memang tidak melihat engkau memakai gaun. Jadi aku percaya kau ikut mengangkat senjata di sana,” Jan kembali terbahak, tetapi sebentar kemudian wajahnya berubah serius.
“Suatu petang, di Jembatan Oldenallerbrug, antara Putten dan Nijkerk, pecahan unit kami menyerang sebuah mobil patroli Jerman berisi dua perwira dan dua orang kopral. Salah seorang perwira luka parah kemudian mati, tetapi sempat memberi tahu rekan-rekannya.”
“Sebagai militer, kau tentu mendengar yang terjadi keesokan harinya,” Jan mengangkat tubuh dari kursi, lalu berjalan hilir-mudik. “Seratus rumah dibakar. Enam pria dan seorang wanita ditembak karena melawan. Ratusan sisanya dikirim ke tempat kerja paksa.”
“Itulah ekses!” Jan mendekatkan wajahnya hingga tinggal sejengkal di depan wajahku. “Yang terbunuh 1 orang, lalu muncul aksi pembalasan kelewat batas. Itu pun hanya 7 orang Belanda yang mati. Bandingkan dengan insiden di Karawang. Pernah mendengar yang terjadi di Kampung Rawagede saat berlangsung Operasi Produk 1947, Kapten?” asap pipa Jan memenuhi mataku. “Tidak ada penyergapan oleh tentara Republik sebelumnya. Hanya ada pertempuran singkat. Letaknya pun jauh, serta sudah lama berlalu. Tetapi suatu hari Belanda datang, lalu melampiaskan kekesalan ke sejumlah desa karena tidak menemukan senjata apa pun di situ. Berapa berapa ratus orang mati? Entah. Ada yang mengatakan 150 orang. Mereka diambil acak, dibariskan, lalu dibantai. Itu bukan ekses, tetapi sebuah aksi terencana. Contoh bagi desa lain supaya tidak melindungi TNI. Dan hari ini kau risau soal martabat?”
“Kau tak mengerti,” aku menggeleng. “Aku ditugaskan ke Hindia menemani ribuan pemuda belia, para wajib militer, untuk membebaskan tanah ini dari cengkeraman Jepang. Sebagian besar pemuda itu, seperti kau tahu, belum pernah memegang senjata. Apalagi membunuh orang.”
Aku berhenti sebentar. Jan masih berada dalam posisi berdiri. Mulutnya sedikit terbuka, tetapi tidak menunjukkan niat memotong kalimatku, maka segera kulanjutkan bicara.
“Setiba di sini, Jepang sudah lama angkat kaki, sementara garong dan ekstremis merajalela. Menindas penduduk tak berdosa. Engkau tahu garong? Tanyakan kepada penduduk, berapa banyak yang mengaku pejuang itu keluar-masuk desa. Merampok, membunuh, memperkosa. Maka tugas tentara Belanda dan KNIL bukan lagi mengusir Jepang, melainkan membantu penduduk. Mengembalikan mereka ke zaman normal yang tenang.”
“Kopi, Kapten?” seolah tidak menyimak kalimatku, Jan melangkah ke balik tirai, lalu keluar lagi membawa termos dan dua buah gelas.
“Tidak terlalu panas lagi, tetapi cukup menemani kita bicara,” ia memenuhi gelasku dengan kopi. Aku mereguknya seperti seorang pemadat bersua opium.
“Mengusir Jepang, melindungi penduduk,” Jan kembali menjejali pipanya dengan tembakau. “Aku pun dulu dicekoki doktrin seperti itu. Kita begitu naif.”
“Faktanya, penduduk tak ingin lagi Belanda tinggal di sini. Sama seperti kita menolak Nazi Jerman bercokol lebih lama di negeri kita. Mereka ingin merdeka. Dan orang-orang ini sama sekali bukan garong atau ekstremis. Kalau kau tinggal di tengah mereka, bernapas seperti mereka, ikut long march bersama mereka, bahkan kehilangan istri pribumi selamanya karena peluru Belanda, matamu akan terbuka. Betapa orang Belanda itu banyak lagak dan biadab.”
“Istrimu pribumi?” aku menyela.
“Saidah. Wanita mulia. Mencintaiku segenap jiwa,” mata Jan berkaca-kaca. “Sebuah granat jatuh di ruang tamu kami dalam sebuah penyisiran desa oleh marinir Belanda. Aku melompat ke luar, naik ke bukit, dan melihat rumahku diliputi asap. Ruang tamu berantakan. Masih pula diguyur mitraliur. Setelah serangan berakhir, aku mengais reruntuk, melongok sisa rumah. Kujumpai istriku tertelungkup penuh debu. Kepalanya berlubang kena peluru. Kukira bisa segera melupakannya. Ternyata tidak.”
Suasana berubah hening. Aku mengambil korek milik Jan, menyalakan kretek yang sempat padam di tangan.
“Perang dengan Jerman atau Jepang lebih mudah dibandingkan menuntaskan urusan di sini,” Jan memulai kembali percakapan. “Saat aku baru tiba, setiap hari yang kusaksikan hanyalah kekejaman mentor kami, para tentara KNIL. Pernah melihat mereka menyiksa tawanan? Siksaan yang kau terima kemarin belum separuh yang kusaksikan. Mengingatkanku kepada almarhum adik lelakiku. Punya adik pria, Kapten? Aku punya satu. Kira-kira seusia mereka,” Jan mengibaskan tangan ke arah dua pengawal di belakang kami.
“Suatu sore ia dan seorang rekannya ditangkap Jerman, dipukuli, disetrum alat kelaminnya, dicabuti kuku tangannya. Rekannya selamat, walau kemudian menjadi gila. Tetapi adikku tewas. Mayatnya teronggok dekat kanal, tak jauh dari rumah kami. Dibunuh hanya karena menempel poster anti-pendudukan Jerman, dan tidak mau menunjukkan siapa yang menitipkan poster itu. Maka, tidakkah engkau merasa aneh? Di sana kita berteriak-teriak anti-pendudukan, sementara di sini kita ingin kembali menguasai tanah tropis ini. Membantai rakyatnya. Itulah salah satu hal yang membuatku menyeberang dua tahun lalu,” Jan membuang abu pipa, kemudian bangkit berdiri.
“Terima kasih untuk percakapan malam ini. Kutinggalkan engkau di sini, Kapten,” ia menjabat tanganku. “Cermati kembali surat itu. Segera setelah engkau membubuhkan tanda tangan, kedua penjaga ini akan mengantarkanmu ke tempat baru. Sebuah kamar bersih dengan veldbed. Juru kesehatan akan menyusul. Pena kutitipkan kepada salah seorang penjaga.”
Aku tak menjawab. Kutatap tubuh jangkung Jan, sampai lenyap di balik tirai. Kuhela napas panjang. Masih kuperlukan sekitar setengah jam merenung, sebelum kubaca ulang surat yang tergeletak di atas meja. Rasanya aku bisa melupakan syarat pengembalian senjata itu.
Jakarta, 2 Mei 2017
Kepada ‘Poncke ‘ Princen
Kaluar: Keluar
Ngeunah sare: Enak tidur
Gancang! Tincak siah ku aing!: Cepat! Kuinjak kau!
Weet ik veel: Tidak tahu
Goede nacht: Selamat malam (sekitar jam 12 malam)
Landverrader: Pengkhianat
Iksaka Banu, lahir di Yogyakarta, 7 Oktober 1964. Salah satu penerima Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2014 untuk Semua untuk Hindia, dan Penghargaan Pena Kencana (2008 dan 2009). Ia bekerja sebagai praktisi periklanan.
Leave a Reply