Cerpen Yus R Ismail (Tribun Jabar, 11 Juni 2017)
SIT-uncuing bernyanyi di atas pohon. Tapi entah pohon yang mana. Nining sudah beberapa kali mengamati pepohonan tinggi yang tumbuh di sekitar rumahnya. Jambu air, sawo, mangga, rambutan, yang tumbuh di halaman belakang, diperhatikan sampai hafal jumlah dahan besarnya. Burung itu masih tidak tertemukan meski suaranya begitu jelas dan nyaring.
Pagi datang sedikit muram. Entah kenapa matahari yang tadi cerah tertutup lagi awan yang semakin tebal. Sepertinya gerimis sebentar lagi turun. Apakah ini pertanda dari pesan malapetaka sit-uncuing? Mungkin benar mitos itu, pikir Nining. Mitos bahwa bila burung sit-uncuing bernyanyi maka itu adalah nyanyian kematian. Ah, tapi ada atau tidak pun burung itu bernyanyi, kematian pasti datang. Pasti datang kepada yang dikehendaki-Nya.
Seandainya burung sit-uncuing itu tertangkap wujudnya, Nining ingin melemparnya, mengusirnya jauh-jauh. Tapi percuma bila hal itu dilakukannya. Karena kabar itu sudah datang. Nunung, kakak Nining satu-satunya, menjadi salah seorang korban kecelakaan kereta api. Hujan besar telah menyebabkan longsor yang menimpa rel di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Nunung, yang bekerja di Surabaya, rencananya pulang selama seminggu ke Bandung.
Semalam Nining menerima kabar dari orang yang mengaku Tim Pengendalian Bencana.
“Sebaiknya ada keluarga yang datang ke sini,” kata orang Tim Pengendali Bencana itu.
Mang Sakri dan Wa Enjum malam itu juga berangkat ke tempat bencana. Tugas Nining adalah menyampaikan kabar buruk itu kepada Ambu. Semua saudaranya, amang-ibi-alo-uwa sampai nini-akinya, merasa tidak sanggup menyampaikan kabar itu kepada Ambu. Nining, sebagai sarjana psikologi dan anak yang dekat dengan Ambu, mereka anggap akan lebih bisa menyampaikan kabar itu.
Menurut kabar televisi, kecelakaan kereta api itu menelan puluhan korban jiwa.
“Nunung mengalami patah tulang kaki dan tangan. Itu yang paling beratnya. Sementara di kepala, pinggul, tangan, tidak terlalu parah,” kata Mang Sakri melelui telepon genggam. “Kamu harus bisa menyampaikan kabar ini kepada Ambu, harus hati-hati.”
Ambu adalah ibu Nining dan Nunung. Usianya enam puluh satu tahun. Abah, suaminya, ayah Nunung dan Nining, sudah meninggal lima tahun yang lalu. Sejak Abah meninggal Ambu sakit jantung, sakit yang membuat wajahnya kurang segar. Tidak boleh terlalu lelah, tidak boleh tertekan, tidak boleh terkejut. Menurut riwayat sakitnya, tiga kali mendapat serangan jantung parah. Penyebabnya hanya karena tertekan ada yang bertanya kenapa kedua anak gadisnya belum juga menikah, mendapat kabar kematian sahabatnya, dan jengkel karena anak tetangga semalaman menyalakan kembang api saat tahun baru.
***
SEKALI lagi Nining memandang Ambu yang sedang duduk di bangku taman. Tadi waktu Nining membawa susu hangat dan kue untuk sarapan, Ambu bertanya tentang Nunung. “Mestinya kakakmu itu datang pagi ini, ya? Tapi, kok, belum juga datang. Memangnya sekarang pukul berapa?” tanyanya.
Nining tidak menjawab apa pun. Ya, apa yang harus dijawabnya? Bagaimana menceritakan kabar buruk itu? Nining memilih menjauhi Ambu. Dan sekarang, setelah menatap Ambu sekian lama, Nining akhirnya masuk ke kamarnya.
Di kamar Nining mereka-reka apa yang ingin dikatakannya kepada Ambu.
“Ambu, ada beberapa hal yang kita sebagai manusia tidak bisa menghindarinya,” kata Nining sambil memandang bantal.
“Ya, iya, atuh, Ning. Kalau kita bisa menghindari semuanya, Ambu pasti ingin menghindari sakit jantung ini.” Sepertinya Ambu akan berkata seperti itu.
“Bukan hanya sakit, Ambu. Kecelakaan pun seringkali tidak bisa dihindari meski kita sangat hati-hati sekali”
“Iya, betul.” Ambu pantasnya sambil memandang Nining lebih tajam, mungkin mulai curiga kenapa Nining membicarakan itu.
“Kecelakaan itu sering terjadi, jadi tidak usah membuat kita terkejut.” Nining berhenti sebentar, memandang bantal lebih saksama seolah-olah bantal itu adalah Ambu. “Teh Nunung mengalami kec….”
Ah, Nining tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ambu pasti terkejut mendengar kabar seperti itu. Dadanya akan berdebar, napasnya turun-naik lebih cepat. Kalau sudah begitu, Nining pasti akan khawatir. Sebaiknya bukan begitu cara mengabarinya.
Sorenya Nining pergi ke taman kota. Dia bilang kepada Ambu akan membeli keperluan dapur sekalian membeli pulsa. Ambu tadi memintanya untuk menghubungi Nunung, tapi Nining beralasan pulsanya habis. Ambu sendiri, sejak mengidap sakit jantung itu, tidak lagi memegang HP sendiri, tidak juga boleh menonton televisi dan mendengarkan radio.
Di taman kota Nining duduk di bangku sambil membaca buku. Tepatnya pura-pura membaca buku. Karena pikirannya masih melayang kepada Ambu. Nanti malam, sebelum tidur, Nining akan menyampaikan kabar buruk itu.
“Waktu kecil Ambu selalu mendongeng buat Nining dan Teh Nunung. Kali ini Nining yang akan mendongeng buat Ambu.” Begitu Nining akan memulai pembicaraannya.
Ambu pantasnya akan tersenyum.
“Zaman Nabi Sulaiman as, ada seorang sahabat yang sangat besar jasanya. Suatu hari sahabat itu melihat kedatangan malaikat Izrail ke kotanya. Dia terkejut. Mau mendatangi siapa malaikat pencabut nyawa itu? Karena takut Izrail akan mencabut nyawanya, sahabat itu meminta Nabi Sulaiman as untuk menerbangkannya ke tanah India. Jarak dari Yerusalem tempat Nabi Sulaiman as berkuasa ke India tentu saja sangat jauh, dipisahkan lautan dan negara-negara Timur Tengah. Tapi sahabat itu yakin Nabi Sulaiman bisa meminta angin menerbangkannya ke India.”
Ambu pantasnya mendengarkan dongeng sambil membelai rambut Nining. Ambu berbahagia.
“Akhirnya Nabi Sulaiman as menerbangkan sahabatnya itu ke India. Selang beberapa menit malaikat Izrail yang menghadap Nabi Sulaiman as karena bingung. Bingung karena dalam catatan ketentuan, dia harus mencabut nyawa di India, tapi orangnya, kok, ada di Yerusalem? ‘Jangan bingung-bingung, Tuan Malaikat. Silakan saja Tuan pergi ke India, orang itu sekarang sudah ada di India,’ kata Nabi Sulaiman as.”
Ambu pantasnya akan tersenyum mendengar dongeng itu.
“Nah, Ambu, seperti juga kematian yang sudah ada catatannya, kecelakaan pun….”
Lamunan Nining berhenti sampai di sana. Mendongeng dan menyampaikan kabar buruk yang sebenarnya mempunyai ketegangan yang sangat berbeda. Nining lalu pulang berjalan kaki. Sepanjang jalan masih juga terpikir cara menyampaikan kabar buruk yang lain.
“Ambu, dari kemarin burung sit-uncuing bernyanyi di pepohonan. Kata mitos orang dulu, nyanyian burung kecil itu membawa pesan buruk. Tidak hanya pesan ada kerabat atau kenalan yang meninggal. Tapi juga pesan kabar buruk lainnya. Misalnya kecelakaan….”
Ah, Nining selalu tidak yakin, bagaimana menyampaikan kabar buruk yang sebenarnya? Apalagi saat sampai di rumah banyak saudara dan tetangga yang menengok Ambu. Teh Encih, Aa Ajim, Mang Iwan, Nini Jumsih, Aki Atang, Uwa Oo, Kang Asep, Pa Ujang; terlihat geumpeur dan menahan tangis. Ambu terbaring di kasur, napasnya turun-naik cepat. Tidak lama kemudian terdengar sirene ambulans. Ambu dibawa ke rumah sakit.
***
HANYA sehari Ambu di rumah sakit. Alhamdulillah, kata dokter tidak apa-apa. Selain didiagnosis jantungnya baik, Ambu ingin cepat pulang karena Teh Nunung pun rencananya pulang siang harinya.
Siang itu sekali lagi ambulans dengan suara sirene mencekam datang lagi ke rumah Ambu. Mang Sakri mendorong kursi roda Teh Nunung. Kaki dan tangan digips dan dibalut perban membuat Teh Nunung seperti setengah mumi. Tapi kali ini bukan waktunya tertawa. Teh Nunung menangis meski belum ketemu Ambu. Tangis yang semakin mengeras meski ditahan ketika bertemu tangis Ambu yang terbaring di kasur.
“Ambu, alhamdulillah Ambu sehat dan kuat mendengar kabar ini,” kata Teh Nunung sambil memeluk Ambu dengan tangan sebelah.
“Kabar kecelakaanmu menjadi tidak seberapa, Nung, setelah kemarin kabar Nining tertabrak mobil sampai meninggal.”
Tangis Nunung mengeras sebentar, setelah itu tidak ingat apa-apa. Nining, yang merasa berdiri di sebelah kakaknya, sama terkejutnya. Dia sudah meninggal kemarin tertabrak mobil? Dia sudah meninggal kemarin? Meninggal?
***
Leave a Reply