Cerpen Aris Rahman (Koran Tempo, 01-02 Juli 2017)
(1)
Saat Dum masuk ke sebuah kafe sambil menodongkan sebuah pistol, para pengunjung di sana sebetulnya sedang dalam keadaan santai menikmati suasana malam Minggu yang syahdu. Di Meja 1 misalnya, kita bisa melihat di sana ada seorang pria bau tanah dengan kulit yang kisut dan telah mengendur di beberapa bagian, sedang duduk dengan seorang gadis seksi berpakaian serba minim yang usianya dapat kita perkirakan sekitar 21 tahun. Apa yang mungkin dapat kita pikirkan dari deskripsi semacam itu mengenai hubungan mereka? Tak perlu rasanya diperpanjang bahasan mengenai hal tersebut karena kita sekarang bisa melihat Dum telah berjalan menuju meja kasir sambil terus menodongkan pistol ke setiap orang yang dilihatnya. Seorang lelaki di Meja 2—yang berperawakan agak besar dengan luka codet di pelipisnya—berdiri dan sontak membuat Dum agak panik. Dum mengarahkan moncong pistolnya di hidung si lelaki sambil memegangi gagangnya dengan agak gemetaran.
“Kau sedang apa? Cepat duduk Bajingan!”
“Ada ide?”
“Ide apa, cepet duduk Anjing!”
“Aku sudah selesai makan, dan seperti selayaknya pengunjung yang baik, setelah selesai makan harus membayarnya. Atau kamu mau membayarnya?”
Dum melangkah lebih dekat, kali ini ia benar-benar telah mengarahkan moncong pistolnya tepat di dahi si lelaki dan bukan di hidung. Si lelaki, meski menyadari bahwa nyawanya sedang terancam, tampak sama sekali tak gemetar. Ia dapat menguasai dirinya dengan baik dan dalam waktu sepersekian detik, si lelaki menyambar pistol yang dipegang Dum. Ia kemudian melakukan sebuah gerakan menekuk pergelangan tangan Dum dan dengan tenaga yang sangat minimal, ia bisa membanting Dum hingga terjerembab ke meja. Kini si lelakilah yang menodongkan pistol ke batok kepala Dum.
Lelaki itu bisa kita sebut dengan nama Rak.
Rak meraih badan Dum dan menendang bagian belakang lutut sehingga kini Dum dalam posisi setengah duduk dengan lutut sebagai penyangga. Dum sedikit menangis, asal kalian tahu, ini adalah pengalaman pertama Dum melakukan suatu perampokan dan sialnya, ia langsung mendapati situasi yang mengenaskan di pengalamannya yang pertama ini.
“Kau tadi bilang apa? Bajingan ya kalau tidak salah?”
Tubuh Dum bergetar hebat. Rasa-rasanya sekarang ia ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya sambil pipis di celana jinsnya sebebas-bebasnya. Tapi dia menahan rasa kebelet itu sekuat tenaga sambil dengan agak merintih ia memohon ampun kepada Rak. Rak adalah seorang lelaki yang memiliki harga diri tinggi. Ia sudah berulang kali keluar-masuk penjara dan pada saat ini ia sedang ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa keberanian yang ada pada dirinya sama sekali tak berkurang sedikit pun. Rak, tanpa rasa ragu sedikit pun, menembak batok kepala Dum dan membuat lantai kafe penuh dengan cipratan darah.
Merasa tak cukup sampai di situ, si Rak, yang memang sedari tadi sangat terganggu dengan pemandangan yang dilihatnya di Meja 1, segera melangkah menuju ke meja tersebut dan lagi-lagi melesatkan sebutir peluru ke kepala seorang pria bau tanah yang dapat kita sebut dengan nama Hem. Hem seketika menggelepar dengan batok kepala bolong tertembus peluru. Si wanita menjerit. Rak tak peduli. Ia lekas melangkah keluar dari kafe dan menaruh selembar uang di atas mejanya.
Dum, berusia 21 tahun, seorang mahasiswa, tewas. Hem, 54 tahun, seorang pengusaha, tewas.
(2)
Rak menghentikan langkahnya setelah sekitar 600 meter berjalan meninggalkan kafe yang baru didatanginya. Ia kencing sebentar di pelataran sebuah rumah yang dijaga oleh seekor anjing penjaga. Si anjing langsung menyalaki Rak habis-habisan, tapi si Rak tampak makin bersemangat untuk menggoda anjing tersebut. Ia mengarahkan kencingnya tepat di muka si anjing dan itu membuat si anjing naik pitam. Dengan mengerahkan segenap tenaganya, si anjing bisa melepaskan diri dari tali kekang, melewati celah pagar yang kebetulan sedikit longgar, dan dengan ketangkasan yang luar biasa segera menggigit penis Rak. Rak, yang meski adalah seorang lelaki pemberani tulen dan berkali-kali telah mendekam di penjara karena mencari masalah dengan orang-orang yang sering dianggapnya biadab, seketika berteriak sekencang-kencangnya menyadari harta paling berharganya kini telah raib dari tempat yang seharusnya. Rak berguling-guling di jalanan sambil terus berteriak kesakitan dan pistol yang ada di sakunya jatuh ke jalan dan lekas diambil oleh si anjing dengan cara menggigit gagangnya.
Si anjing bisa kita sebut dengan nama Rem.
Rem membawa pistol itu ke dalam rumah. Rak berguling-guling sambil berteriak-teriak dan segera memancing masyarakat yang tinggal di sekitar keluar dari rumah mereka sambil membawa tongkat bisbol.
Sekarang pukul 1 dini hari dan siapapun yang mengganggu di jam-jam tidur ini, mesti diberi pelajaran.
Rak, 24 tahun, menderita luka lebam dan kehilangan harta yang paling penting dalam hidupnya.
(3)
Rem menaruh pistol itu di dalam keranjang mainan. Ia rebahan di atas sebuah karpet beludru berwarna merah, tepat di sebelah kasur anak majikannya yang usianya masih balita. Sekitar beberapa menit setelahnya, si anak balita bangun dan berjalan menuju keranjang mainan. Si anak balita melihat Rem telah terlelap, ia berniat mengerjai Rem dengan salah satu mainannya. Mainan apa ya yang cocok? Kurang lebih begitu barangkali apa yang tengah dipikirkan oleh si anak balita.
Ia lantas memutuskan untuk mengambil tiga benda; mobil-mobilan, robot-robotan dan pistol. Si anak balita terdiam sejenak, menimbang-nimbang manakah mainan yang mesti ia gunakan untuk mengerjai Rem. Tapi dalam beberapa detik kemudian ia merasa sudah mantap memilih pistol sebagai pilihan terbaiknya.
Pistol itu terasa agak berat, lebih berat ketimbang yang biasa ia gunakan untuk bermain. Bahkan untuk menarik pelatuknya saja, ia mesti menggunakan dua jarinya dengan susah payah sampai berhasil. Meski terasa berbeda, ia tetap saja sudah terlatih menggunakan pistol karena ia sudah memiliki pengalaman cukup banyak untuk bermain pistol-pistolan dengan pistol mainan yang memang dibuat semirip mungkin dengan yang asli.
Selanjutnya, seperti yang dapat kita terka, si anak balita mengarahkan moncong pistol ke badan Rem. Melesatlah sebutir peluru menembus anjing berbadan ceking dengan bulu-bulu putihnya yang lembut itu. Si anak balita amat terkejut melihat apa yang baru saja terjadi. Ia bengong lama, dan setelah itu berteriak sambil merengek dengan suara keras dan membuat papa dan mamanya tergesa-gesa menghampirinya.
“Apa yang terjadi ini, Ma?”
“Ya, mana tahu, Pa. Coba tanya saja sendiri sama anak kita.”
“Kamu gila, Ma?”
“Kamu yang gila, Pa. Makanya, anak itu ya diperhatikan dengan baik.”
“Maksudmu apa? Kamu kan mamanya! Ya harusnya kamu yang ngurus, kok bisa-bisanya nyalahin aku.”
“Kamu pikir aku gak capek, Pa, kerja dari pagi sampai malam? Jadi suami yang pengertian sedikit dong. Lagian yang beli rumah ini aku, yang beli perabotan aku. Kamu lupa, Pa? Kerjaanmu gak cukup untuk biaya hidup kalau aku juga gak kerja.”
Si papa naik pitam. Ia menyambar pistol yang masih digenggam anaknya dan menembak si mama dan anaknya dengan gelap mata.
Dor. Dor.
Si papa—yang memiliki nama asli Wiw—lalu mengarahkan moncong pistol ke mulutnya dan dengan perasaan kalut, segera menarik pelatuk. Sayangnya, peluru sudah habis. Ia gagal membunuh dirinya sendiri.
Di depan jasad anak dan istrinya, ia menangis sekencang-kencangnya.
Meh, 4 bulan, seorang anak yang masih polos, meninggal. Tek, 23 tahun, seorang wanita pegawai dinas perpajakan, meninggal.
(4)
Tetangga Wiw menelpon polisi setelah mendengar suara tembakan. Saat terjadi kegaduhan tersebut, si tetangga ini sedang pulas-pulasnya tidur bersama selingkuhannya, sampai akhirnya suara tembakan membangunkan mereka berdua. Karena rasa kesal itulah, ia memutuskan langsung menelpon polisi tanpa merasa perlu mengecek lebih dahulu apa yang terjadi sesungguhnya di sana.
Sekitar setengah jam setelahnya, terdengar suara sirene mobil polisi datang. Tetangga Wiw yang merasa lega segera melanjutkan kegiatan mencumbu selingkuhannya lagi.
Ternyata hanya ada satu polisi yang datang ke kediaman Wiw. Si polisi ini—yang memiliki rambut cepak dan dengan badan yang proporsional—lekas turun dari mobil dan menerobos masuk ke dalam rumah yang ternyata tidak terkunci. Di pelataran rumah ia bisa melihat dengan jelas ada bekas darah dan sepotong penis tergeletak begitu saja seperti sepotong sosis goreng dengan saus tomat.
Ini adalah pertanda yang tidak baik, pikirnya.
Dengan keberanian sebagai seorang penegak keadilan ia dengan tangkas masuk ke rumah dan mulai menyiapkan sebuah pistol untuk mengantisipasi hal-hal yang tak terduga. Ia sadar sedang berhadapan dengan seorang pembunuh sadis sekaligus psikopat berdarah dingin dan ia tak boleh melakukan kesalahan ataupun lengah sedetik pun. Selama di akademi, ia sering dilatih untuk menangani situasi semacam ini dan ini adalah pertama kalinya ia berkesempatan untuk mempraktikannya sendiri, dengan tanpa teriakan atau sumpah serapah dari pelatihnya.
Pertama yang harus dilakukan adalah berada dalam kondisi siaga. Ia mengacungkan pistol dan melangkahkan kakinya dengan hati-hati juga tak lupa memasang kuda-kuda yang sempurna. Ia mulai membuka pintu dengan tangan kanan sambil tangan kirinya tetap memegang pistol. Saat pintu telah sedikit terbuka, si polisi begitu terkejut melihat Wiw yang sedang berdiri di depan pintu sambil menodongkan pistol ke arahnya. Secara refleks, si polisi melesatkan peluru ke jantung Wiw karena merasa nyawanya sedang terancam.
Ini tindakan yang tepat batinnya.
Membunuh seorang psikopat akan membuat karirnya naik dan ini berarti ia akan berpeluang mendapat kenaikan pangkat. Kekasihnya pasti senang sekali mendengar kabar semacam ini.
Wiw, 25 tahun, seorang penulis, meninggal dengan segenap kehormatannya sebagai seorang lelaki yang terenggut.
(5)
“Apa-apaan kau? Mengapa kau di sini? Dan siapa lelaki ini?”
“Heh, jawab, Jalang!”
“Memangnya kenapa? Apa urusanmu?”
“Apa urusanku? Aku yang sebentar lagi melamarmu, Bajingan!”
“Hei, hei hei, sebentar, Kawan. Seorang lelaki sejati tak membentak-bentak wanita. Apa kau tidak malu dengan seragammu?”
“Bajingan!”
…
“Kalian berhenti tolong plis! Kalian plis berhentilah… tolong… berhenti…”
Dor. Dor. Dor.
…
Seorang lelaki masuk ke dalam sebuah rumah. Di sana ia melihat ada tiga jasad teronggok begitu saja di lantai. Ia tak ambil pusing dengan jasad itu, ia bahkan tak peduli dengan penyebab mengapa ketiga orang itu mati sedemikian rupa. Si lelaki hanya berjalan dengan mantap menuju jasad seorang lelaki berseragam polisi dan mengambil sebuah pistol yang jatuh di dekat tubuh si polisi itu.
Si lelaki itu, seperti yang kita tahu, kelak akan membawa pistol itu ke sebuah kafe, dan kita juga tahu bahwa ia memiliki nama yang agak aneh, yakni Dum. *
Aris Rahman, lahir di Sidoarjo, 12 Juli 1995. Mahasiswa Universitas Airlangga Jurusan Antropologi. Cerpennya, berjudul Seekor Kuda Melesat di Angkasa dan Rekaman-Rekaman yang Diselamatkan oleh Tuhan, terpilih masuk cerpen pilihan UNSA 2015 dan Kampus Fiksi Emas 2017.
Sita Ashita
Waduh!
Eva Lailatur Riska
Kereeen kak Aris 😊😊😊
Nanda Insadani
Mantap! Membacanya seakan menonton film action-thriler! 👍