Cerpen Gus tf Sakai (Koran Tempo, 08-09 Juli 2017)
Satu, tentang Hoja
Jauh di kedalaman tidur, mimpi kanak-kanakmu melekap, melekat, tak mau berpisah dari kisah-kisah masa lalu yang kelak enggan kau ingat. Maka, mimpi kanak-kanak itu pun berpegang bergelantungan pada lengan Hoja, memaksa lelaki dari Akshehir itu tak balik pulang ke dunia nyata.
Tetapi Hoja, yang di dunia nyata memang kau kenal sebagai tukang cerita, seperti biasa, lugu berkata, “Lalu eh, bila selamanya aku berada dalam mimpimu, bagaimana aku bisa dikenal sebagai Nasruddin?”
Kau pun tertegun, terdiam, tak bisa membantah Hoja. Maka, dengan perasaan kesal luar biasa, engkau, engkau kanak-kanak itu, memutuskan untuk memilih hanya seratus dari lebih seribu kisah. Pekerjaan tak mudah. Berbulan-bulan, bertahun-tahun, “si seratus” akhirnya terpilih; dan engkau pun remaja.
Saat kembali membaca “si seratus”, tak mudah bagi engkau remaja untuk menerima keseratus kisah itu dan memutuskan untuk memilih hanya sepuluh. Pekerjaan yang tambah tak mudah. Berbulan-bulan, bertahun-tahun, “si sepuluh” akhirnya terpilih; dan engkau pun dewasa.
Saat kembali membaca “si sepuluh”, tak mudah bagi kau dewasa untuk menerima kesepuluh kisah itu, dan memutuskan untuk memilih satu. Pekerjaan yang tambah-tambah tak mudah. Berbulan-bulan, bertahun-tahun, “si satu” belum juga terpilih. Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, “si satu” masih tetap belum terpilih.
Dan kau tiba-tiba sadar: telah tua. Dan, tak kalah kesal dibanding ketika kau kanak-kanak dulu, engkau tua pun tak peduli. Dan lalu melupakan. Ditulis atau tidak, dikisahkan atau tidak, terserah Hoja.
Dua, tentang Gravitasi
Empat belas tahun setelah Einstein meninggal, partikel subatomik ternyata masih bisa dibagi menjadi Kuark dan Gluon. Dalam mimpi kanak-kanakmu, kau melihat Einstein kecil duduk menunggang Gluon, menggesek biola dengan kompas kantung diikatkan tergantung di leher biola.
Senarnya, tali gravitasi itu, bergetar, menggema halus ke lorong telinga. Gluon terus berputar mengelilingi Kuark. Di lapis luar, Elektron terus berputar mengelilingi Kuark dan Gluon. Semua berputar, semakin besar. Gravitasi menjulur, semakin lebar.
Dalam mimpi kanak-kanakmu itu engkau tertidur. Dan lalu terbangun dalam skema ini: Engkau, bersama Einstein, duduk menunggangi “sesuatu” berputar mengelilingi Bumi. Terus berputar. Di lapis luar, “sesuatu” bersama Bumi terus berputar mengililingi Matahari. Terus berputar.
Di lapis luarnya lagi, “sesuatu” dan Matahari terus berputar mengelilingi Bimasakti. Terus berputar. Di lapis luar-luarnya lagi, “sesuatu” dan Bimasakti terus berputar mengelilingi gugus galaksi. Terus berputar. Di lapis luar-luar-luarnya lagi, “sesuatu” dan gugus galaksi terus berputar mengelilingi … ah, tali gravitasi itu, getar yang semula halus mengelus telinga, perlahan meninggi, terus meninggi, dan lalu menghentak, nyaring, lengking, memekak bagai memecah gendang telinga. Semua gemetar.
Dengan mata kepala sendiri, engkau melihat jarum kompas kantung yang tergantung di leher biola Einstein seperti menggigil, lalu bergerak kacau tak tentu arah. Di satu titik, kompas itu meledak, hancur, bersama Einstein, bersama dirimu-bersama semesta, bersama mimpimu, dan lalu terbangun dalam mimpi kanak-kanak itu. Mimpi kanak-kanak yang, saat kau terbangun, kembali melihat Einstein kecil menggesek biola menunggang Gluon.
Tiga, tentang Kotak Mainan
Pada malam orang bernama Ibnu Rusyd itu pertama masuk ke mimpi kanak-kanakmu, siangnya ada dua pertanyaan yang dimasukkan Ibu ke kotak mainan. Pertanyaan pertama: Bagaimana kau bisa percaya kepada orang yang mempercayai kebenaran, tanpa orang itu pernah mencarinya? Pertanyaan kedua: Kau gunakan ukuran-ukuran sendiri untuk hidupmu, tidakkah itu juga berarti ada ukuran-ukuran lain untuk kehidupan lain?
Maka begitulah, semua mulai tampak jelas. Semua kini, setelah kau jadi seorang kadi sama seperti orang berjenggot-berjambang dalam mimpi kanak-kanak itu, satu demi satu, lapis demi lapis, mulai terkelupas. Kupas pertama: bentuk tidak sama dengan isi. Kupas kedua: isi tidak serta-merta menunjukkan inti. Kupas ketiga: inti tidak muncul berupa wujud, melainkan maujud. Kupas keempat: tersebab maujud, semua adalah gerak. Kupas kelima: gerak adalah kadim. Kupas keenam … ah jangan, cukup dulu.
Bagaimana kau bisa sampai kepada kadim, pada saat kau hanya seorang kadi? Maka kau lalu surut ke kupas keempat dan, saat kali kedua orang berjenggot-berjambang itu masuk ke mimpi kanak-kanakmu, engkau melihat dirimu yang bocah dalam pemandangan ini: setiap ditatah dituntun Ibu mengajar cara berjalan, engkau merenggut menarik melepaskan tangan kembali tengkurap menghela perut-bergerak melata seperti ular.
Pikirmu, toh engkau telah bergerak. Riangmu, toh engkau telah beranjak. Gerak yang tak kalah cepat, dan bahkan sangat cepat, jauh lebih cepat dibandingkan gerak manusia yang berdiri berlari dengan kedua kaki. Begitulah engkau terus bergerak. Begitulah engkau menyangka terus beranjak.
Dan sialnya, si orang berjenggot-berjambang dalam mimpi kanak-kanakmu itu, di matamu, juga tampak bergerak seperti ular. Ular besar. Ular sangat besar yang, seperti kelak siapa pun tahu, memagut membelit dunia-menghubungkan Yunani dengan Eropa.
Tetapi untunglah ada makhluk itu, makhluk yang seumur-umur tak pernah berjenggot-berjambang; makhluk yang suka memasukkan pertanyaan-pertanyaan rumit ke kotak mainanmu; makhluk yang selalu menjagamu bahkan pada saat kau sedang tidur dan, tentu saja, tahu bahwa kau tengah terjebak terperangkap dalam mimpi kanak-kanak yang buruk.
Dan ia pun lalu membangunkanmu: menjulurkan tangan, tak bosan, mengajak belajar berjalan. Dan engkau lalu jadi ingat, pada malam orang bernama Ibnu Rusyd itu kali kedua masuk ke mimpi kanak-kanakmu, siangnya ada salah satu dari pertanyaan itu kembali dimasukkan Ibu ke kotak mainan. Pertanyaan itu: Kaugunakan ukuran-ukuran sendiri untuk hidupmu, tidakkah itu juga berarti ada ukuran-ukuran lain untuk kehidupan lain?
Empat, tentang Jalan Utama
Tak ada satu perasaan pun yang benar-benar bisa engkau rasakan dalam semua mimpi kanak-kanakmu. Riang hanya semacam getaran, sedih seolah hanya denyutan, dan cemas tak lebih cuma letupan. Tetapi, untuk mimpi kanak-kanak yang satu itu, apa yang kau rasakan tak pernah bisa engkau lupakan. Tak getar, tak denyut, dan jauh dari letupan, engkau bagai tenggelam bagai megap-megap dalam genangan.
“Genangan duka,” begitu orang itu berkata; orang yang seperti tak pergi-pergi. Atau yang seolah pergi tetapi selalu dan selalu kembali di sela-sela. Atau di antara mimpi-mimpi kanak-kanak lain yang bahkan mimpi tentang apa atau tengah bertemu dengan siapa pun kau tak lagi ingat sama sekali.
Orang itu, si “genangan duka” itu, di luar mimpi kau kenal sebagai seorang pangeran. Tetapi yang dalam mimpi kanak-kanakmu tak lain ialah seorang miskin, seorang jelata, seorang papa, yang menggigil dan jatuh demam hanya karena “empat penampakan”.
Empat penampakan itu, di luar mimpi kanak-kanakmu, dalam dunia nyata, adalah sesuatu yang sungguh sangat biasa: seorang tua, orang sakit, sesosok mayat, dan orang suci. Tetapi, dalam mimpi kanak-kanakmu itu, entah kenapa pula, engkau lalu menangis, meraung-raung, terbangun, tidur dan mimpi lagi, menangis lagi, meraung-raung lagi, tidur lagi, mimpi lagi, menangis lagi meraung-raung lagi …
Bahkan terus menangis, terus meraung-raung, pada mimpi di mana orang itu menjelma jadi sosok entah siapa yang bukan dirinya. Bahkan terus menangis meraung-raung pada mimpi di mana orang itu menjelma jadi sosok entah siapa yang diciptakan orang-orang ribuan tahun lalu. Sosok yang menguasai daratan, menguasai lautan, yang memisahkan bumi dari sorga; sosok teragung, adi-insani, yang menjaga kesuburan, kehidupan kekal, menguasai dunia orang mati, penyelamat segala mara segala bahaya, penyembuh segala yang sakit.
Engkau tetap tahu dan bisa mengenali sosok itu seperti apa pun ia beralih rupa, tak lain, karena batu tapakan di kedua kakinya. Batu tapakan itu selalu ada, tak lain pula, karena bila kakinya langsung menjejak mencecah sesuatu, maka segala atau setiap apa pun yang dijejak dicecah itu akan hancur-menjelma jadi debu.
Dan di suatu mimpi kanak-kanak lain, seperti orang itu, kau pun jatuh demam. Bukan karena “empat penampakan”, melainkan karena apa yang disebut orang itu sebagai “jalan utama berunsur delapan”.
Tetapi begitulah, setelah kau masuk ke jalan itu, sebuah jalan tua yang sudah terbentang sejak ribuan tahun lalu; setelah kau mengenal delapan unsur itu, unsur yang jauh lebih tua dari segala unsur kimia dan segenap turunannya di sekolah remajamu, engkau pun lalu sembuh. Dan bukan hanya sembuh. Karena, setelahnya pula, kau tak menangis lagi. Tak menangis lagi tak meraung-raung lagi.
Lima, tentang Godaan
Di luar semua hal aneh dan mengherankan, apakah yang paling tak masuk akal dari mimpi kanak-kanakmu? Sebelum mengabaikan atau tergoda untuk tak memberikan jawaban, engkau berkata: masuklah ke dalam mimpiku, maka pertanyaan itu akan hilang dari kepalamu. Atau: berdirilah kau di sini, di tempatku berdiri, karena pertanyaan itu lahir di sana, di tempat engkau berada.
Dan begitulah semua tak bisa dilihat dari masuk akal atau tidak. Apa yang ada di dunia nyata, bisa menjelma jadi tak ada, atau sebaliknya. Apa yang kau sebut mimpi kanak-kanak, bisa jadi adalah mimpi dewasa, atau, jangan-jangan, sebenarnya, adalah mimpi tanpa usia.
Maka begitulah, dalam suatu mimpi kanak-kanakmu, kau lihat orang yang bernama Hawking itu, dengan wajah sangat polos seperti kanak-kanak, ataukah sebenarnya sangat serius seperti orang dewasa, enteng berkata, “Kita, akhirnya, menemukan sesuatu yang tidak memiliki penyebab karena tak ada waktu untuk suatu penyebab berada di dalamnya.”
Kita, akhirnya, menemukan sesuatu yang tak masuk akal karena tidak ada waktu untuk sesuatu yang masuk akal berada di dalamnya. Sangat sederhana.
Gus tf Sakai lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatera Barat. Buku kumpulan cerpennya antara lain Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (2004) meraih SEA Write Award dari Kerajaan Thailand dan Perantau (2007) meraih Khatulistiwa Literary Award. Ia juga dikenal sebagai penyair.
Leave a Reply