Cerpen Adi Zamzam (Kedaulatan Rakyat, 02 Juli 2017)
JIKA bukan karena bapaknya Budi, Tambakmulyo, Tambakrejo, Bandarharjo, hingga Bedono, takkan memiliki jembatan yang menghubungkannya dengan kampung-kampung seberang yang dipisahkan oleh sungai yang menyimpan banyak kenangan itu. Itulah alasan mengapa setahun lalu dengan sadar Budi mengubur cita-citanya untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Apalagi jika melihat kondisi fisik emaknya yang tak segesit dan secekatan dulu. Perempuan itu pernah jatuh dari ojek. Kaki kanannya patah dan membuatnya harus menginap beberapa malam di sebuah kos-kosan pengobatan alternatif.
“Bapakmulah yang jadi pentolannya. Lapor ke Bupati dan lalu meneruskannya ke Gubernur. Bahkan Pak Kades zaman itu tak seberani bapakmu.”
“Benarkah, Mak?” takjub Budi, sebab tahu bahwa konon bapaknya tak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
“Itulah sebabnya makam bapakmu berada di tempat yang paling pinggir begitu. Semua itu ulahnya Lurah Atmojo. Dia enggak suka kelekatan bapakmu dengan orang-orang kampung. Setiap ada program Pemerintah untuk desa, pasti bapakmu ikut cawe-cawe di dalamnya. Padahal bapakmu enggak punya niat ikut pencalonan kades. Lha bapakmu enggak punya bondho,” ujung cerita Emak tertelan riak sungai.
***
Bola cahaya keemasan tenggelam di ufuk barat. Laut seperti menelan pijar api raksasa. Suara blekok yang pulang ke sarang bersahut-sahutan. Tapi tidak dengan Budi. Langkahnya bersemangat sejak dari rumah. Ada kabar gembira yang hendak disampaikan di hadapan makam bapaknya.
Sayangnya semangat itu langsung menguap begitu kedua matanya menemukan tujuan akhir. Air sungai jelas telah naik lagi. Bebatuan yang tiga bulan silam telah ia tata sedemikian rupa demi membentengi sebuah gundukan tanah yang sudah mengeras, sudah terendam sepenuhnya. Angin senja tiba-tiba terasa begitu keras.
Budi pun gegas lari ke arah dua orang paruh baya yang berniat meninggalkan kompleks pekuburan.
“Yang Pak Tarjo bicarakan tadi benar adanya ya?” Budi berhasil menghadang langkah Pak Tarjo.
“Iya. Dari omong-omong dengan Pak Kades kemarin. Tanah kan harus beli. Lihat, kita sampai capek ngurug kuburan ini. Mau sampai kapan, kalau robnya enggak pernah minggat?” sambil menunjuk beberapa makam yang sudah terendam, termasuk makam bapaknya Budi.
Suasana seperti ini sebenarnya sudah terbayangkan sejak pertemuan dengan Lik Gunawan di Terboyo. Perihal Kali Sayung yang meluber ke mana-mana. Belum lagi dengan beberapa tempat di Semarang yang terendam rob. Terminal Terboyo tak bisa disinggahi. Jalan Kaligawe memerangkap ratusan kendaraan roda empat dalam antrean menjengkelkan. Tambakmulyo, Tambakrejo, Bandarharjo, hingga Bedono semakin tergenang. Konon, penyebabnya adalah bangunan-bangunan yang didirikan di kawasan yang semestinya menjadi tempat penampung rob.
Perkara itulah yang menarik kepulangan Budi hari ini. Meskipun emaknya tak suka.
“Kamu kan baru dua bulan di sana. Arif saja belum pulang. Dapat apa kamu kalau sebentar-sebentar pulang?” dengan terbatuk-batuk.
Budi diam. Ingin memahami emaknya. Mungkin perempuan ini menginginkan ia cepat kawin. Atau mungkin perempuan itu menginginkan ia lekas punya usaha sendiri. Tapi sayangnya Budi belum menemukan bayangan yang ia inginkan di masa depan. Keinginan Budi masih sebatas bisa cari uang dan berkirim kepada emaknya.
“Uang yang kau dapat lebih baik untuk mencukupi kebutuhanmu sendiri. Emak masih bisa cari duit sendiri,” suara emaknya kembali menguasai telinga.
Pandangan Budi masih ngungun, mendapati teras rumah yang tergenang air sungai. Sebagian kepalanya berisi hitung-hitungan perkiraan tanah yang dibutuhkan untuk meninggikan teras rumah. Mengikuti jejak para tetangganya yang sudah gigih duluan melawan rob.
“Emak tenang sajalah. Sebenarnya ada yang ingin Budi ceritakan,” Budi membuat jeda agar emaknya bisa menata emosi. “Kemarin Budi mendaftarkan diri jadi pemain sinetron.”
“Apa itu sinetron?”
“Bintang film.”
Perempuan paruh baya itu tiba-tiba saja tertegun. Kedua matanya berkaca-kaca. Lalu meluncurlah rentetan kalimat bernada getir dari bibir keringnya.
“Oalah Emak lebih senang kalau uangmu kau gunakan untuk sekolah atau modal usaha. Biar kamu jadi orang besar, tak dipandang remeh oleh semua mata,” ujarnya, seiring ingatan tentang suaminya yang tiba-tiba meruah memenuhi ruang kepala. Ada selarik kalimat dari almarhum suaminya yang mungkin takkan ia lupa seumur hidup. Selarik kalimat yang selalu membuatnya merasa cantik seperti kebanyakan perempuan yang bertubuh tinggi dan bagus. “Aku suka kamu. Kamu suka aku ndak? Kalau kita sama-sama suka dan mau nrimo kekurangan masing-masing, apa lagi yang mesti dirisaukan?”
“Emak ini ngomong apa sih?!” memotong kalimat emaknya dengan sengit. “Sudah ah, aku mau ke rumahnya Pak Carik, mau ngomong soal iuran beli tanah ,” segera membalikkan tubuh.
Sementara perempuan yang ditinggalkannya masih mematung, memandangi langkah-langkah anaknya dengan perasaan yang sulit ia namai. Sungguh, ia seperti melihat bayangannya sendiri. *q– o
Kalinyamatan – Jepara 2016.
Leave a Reply