Cerpen Dadang Ari Murtono (Suara Merdeka, 02 Juli 2017)
Akhirnya ia mati. Dan ia terkejut mendapati fakta betapa rasa kematian tidak semenyakitkan yang ia kira. Ia memang merasa tersiksa, tetapi itu lebih disebabkan oleh ketakutan menghadapi maut, dan bukan karena nyawa yang terbang dari jasad yang hina. Berulang kali ia mendengar orang-orang berbicara tentang kegelapan yang begitu pekat menyungkupi si bakal mayat ketika malaikat maut tiba dan mengelus kening. Mereka keliru. Maut datang bersama cahaya. Namun tidak ada sosok agung dengan sepasang sayap terentang yang mampu melingkupi semesta. Hanya cahaya. Tidak terlalu terang dan tidak terlalu redup. Cahaya yang biasa. Cahaya yang mengingatkan pada lampu belajar yang dikerudungi kain bali tipis. Ia mencium aroma ikan asin, alih-alih wangi kembang. Awalnya ia mengira itu halusinasi karena perut kosong sejak empat hari sebelumnya. Ia berupaya mengerjap-ngerjapkan mata. Namun matanya terasa berat. Ia pikir ia mengantuk. Namun ia tidak sekali pun menguap. Ia mencoba menggeleng-gelengkan kepala. Dan itu juga terasa sulit, seakan tak ada hal lain lebih sulit dari itu. Ia keheranan. Ia mendesis dan meludah, berupaya mengusir halusinasi yang mengganggu itu. Dan segera ia menyadari tenggorokannya sekering padang pasir. Pada waktu itulah cahaya yang sedang-sedang itu mendatangi. Sebentar saja. Ia bahkan belum sempat menyadari cahaya itu mirip cahaya lampu yang dikerudungi kain bali tipis.
Ah, alangkah sederhana kematian itu. Alangkah cepat peralihan dari hidup ke mati itu.
Dan di sinilah ia, di sebuah dunia asing, berenang-renang di kubangan hijau lengket yang menenteramkan. Ia tidak lagi merasakan perut melilit, ia tak lagi merasakan mata yang belek, ia tak lagi merasakan panggul yang luka. Tubuhnya terasa ringan dan perasaannya riang belaka. Ia menggerakkan tubuh yang terlumuri cairan lengket itu dan melihat bagaimana tubuhnya berkilau, seperti manik-manik tasbih hijau dari batu fosfor. Beberapa saat setelah menyadari ia telah jadi mendiang dan merasakan nikmat sebegitu luhur, yang tak pernah ia rasakan sepanjang hidup yang sederhana, ia menyesali satu hal; kenapa ia tidak mati sejak dulu. Namun ia buru-buru ingat wejangan seorang ustadz yang ia dengar ketika suatu kali, dulu sekali, murni karena kebetulan, ia terdampar di samping sebuah masjid ketika pengajian digelar untuk memperingati Isra Mikraj. Ustadz mengatakan menyesali takdir tuhan adalah perbuatan tidak baik. Dosa. Dan dosa, baik besar maupun kecil, adalah dosa. Buru-buru ia melenyapkan pikiran itu dengan menggoyang-goyangkan tubuh, menyaksikan kilau indah itu berlesatan ke sana-ke sini. Ia bahagia melihat hal itu. Ia tersenyum. Ia bersyukur masih bisa tersenyum. Ia hampir lupa kapan kali terakhir tersenyum sebelum hari kematian itu tiba.
Ingatan tentang sang ustadz, juga kilau hijau luhur dari tubuhnya, membawanya ke ajaran lain yang pernah ia dengar. Kali ini, ia tidak mampu mengingat di mana mendengar ajaran itu. Yang jelas, hanya orang-orang terpilih yang mengetahui hal setinggi dan seindah itu. Bahkan ia curiga mereka pernah bangkit dari kematian dan menyimpan ingatan tentang dunia penuh misteri itu. Bidadari-bidadari akan menyambut mereka yang layak, yang mati mulia, dan bidadari-bidadari itu akan menunjukkan jalan menuju surga tuhan yang kekal. Ia menunggu. Terdorong oleh hal itu, jantungnya berdegup kencang. Ia tak sabar melihat sejumlah bidadari, tak perlu tujuh atau tujuh puluh dua, cukup satu, syukur-syukur dua atau lebih, ia akan sangat berbahagia. Ia bahkan menurunkan standar dengan tidak terlalu mengharapkan bidadari cantik. Bidadari berwajah buruk pun akan ia terima. Dan ia juga tidak terlalu muluk-muluk dengan kemungkinan bidadari berkaki dua dan bersayap dan selamanya perawan dan muda. Bidadari berkaki empat, berekor pendek, kulit cokelat, dan lidah menjulur yang selalu meneteskan liur serta tua dan tidak perawan pun akan ia sambut dengan kegembiraan tak terperi.
Ia mati dalam keadaan perjaka. Mengingat hal itu, ia kembali disungkupi kesedihan.
Ia kembali menggerak-gerakkan tubuh, menciptakan permainan warna hijau dari tubuhnya, untuk menyingkirkan kesedihan. Tuhan telah mematikannya, memindah dari dunia menyakitkan ke semesta semenyenangkan ini, dan alangkah durhaka ia sebagai makhluk bila masih juga bersedih. Ia menunggu. Namun sampai beberapa saat tak ada tanda-tanda akan ada makhluk lain datang dan mengaku bidadari. Ia mendengus. Ia mendesis. Ia kembali meludah. Ia menggerak-gerakkan badan kembali, berupaya meluruskan kaki, bukan karena pegal, melainkan lebih karena kebiasaan ketika hidup. Pada waktu itulah ia mengetahui ruangan itu bukanlah semesta luas tak terbatas di mana ia akan bisa berlari sepuas-puasnya, melompat setinggi-tingginya, atau menggali tanah sedalam-dalamnya. Kakinya gagal lurus seperti ia inginkan. Sebuah dinding lembut menghalangi. Dinding berwarna merah. Dan berdenyut. Ia menjejak dinding itu, dan dinding itu ternyata begitu lentur. Ia memandang ke depan, mengulurkan cakar-cakar yang kotor, dan mendapati dinding yang sama lembut di depan. Ia menyentuh dinding itu. Sama lenturnya.
Tak ada cara lain. Ia kembali meringkuk. Menghikmati posisi diri dan menenggelamkan diri dalam lamunan. Ia berupaya merakit ulang ingatan terakhir di dunia fana. Dunia yang ia benci. Seseorang telah melukai panggulnya. Ia tak tahu apa kesalahannya hingga mesti menderita semacam itu. Namun bukankah di sana, di dunia yang menyedihkan itu, orang-orang kerap melakukan sesuatu tanpa perlu alasan terlebih dahulu? Ia kembali mendengus. Ia mengira air liur akan menetes dari bibirnya yang tebal. Ia tak tahu apakah benar-benar ada air liur menetes dari bibirnya. Dan ia tak peduli. Ia hanya terkenang betapa menyedihkan memanggul luka dalam di panggul yang selalu meneteskan darah pada hari pertama, dan berganti nanah pada hari selanjutnya, selama tiga hari, dan sejauh berkilometer-kilometer. Ia merasa bulunya bergidik mengingat cara orang-orang memandangnya; antara jijik dan takut tertular luka serta boroknya. Mereka mengusir. Beberapa dengan suara sshhh dan lebih banyak dengan lemparan batu.
Ia tak tahu apa yang keliru dari dirinya. Ia tak pernah meminta terlahir dalam kondisi atau wujud seperti itu. Bila boleh memilih, tentu ia akan memilih bentuk dan kondisi lain. Ia bahkan tak tahu, atau lebih tepatnya tak ingat, siapa ibu atau bapaknya. Ingatan pertama adalah tumpukan sampah di pinggir Kali Brantas. Di sana, ia mengais apa pun yang bisa dimakan. Satu yang ia syukuri dari keadaannya, karena kondisinya, ia tak membutuhkan pakaian. Pasti akan lebih repot kalau ia membutuhkan pakaian, seperti seorang anak yang suatu hari mengejutkan tiba-tiba, menangkapnya dari belakang, membelai-belai, memberinya kehangatan dan kasih sayang. Anak itu, yang oleh orang-orang dipanggil Anur, gelandangan bertubuh penuh panu, memberinya nama Budi. Lengkapnya Budi Anjing. Untuk sesaat, ia mengira ia telah menemukan saudara. Bersama, dalam bayangannya, mereka akan mengarungi kekejaman dunia, bertahan menjadi penyintas, dan hidup berbahagia selama-lamanya.
Namun ia keliru. Ia memiliki indra penciuman yang baik. Dan suatu kali, setelah beberapa pertanda kecil yang ia abaikan, ia mengerti Anur menyimpan niat buruk. Hanya persoalan waktu sebelum niat itu diwujudkan. Barangkali menunggu berat badannya meningkat. Bocah itu ingin menyembelihnya, memakannya. Ia tak mengerti bagaimana manusia bisa setega itu. Memakan saudara mereka. Dengan kepanikan tak terkira, ia lari. Ia lari dan lari. Ia berjanji tidak lagi menemui Anur. Ia gagal menceritakan ulang, bahkan mengenang untuk diri sendiri, bagaimana indra penciumannya bisa mengendus niat buruk itu, sama halnya ia tak mampu lagi menelusuri detail adegan kecil yang membawanya sampai pada kesimpulan itu. Namun ia tahu. Ia yakin ia tahu.
Ia tidak lagi ingat berapa lama atau berapa jauh berlari. Hingga tiba hari nahas saat penciuman tajamnya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Mungkin pengaruh pilek akibat cuaca buruk dan ia tidur di pinggir jalan, tanpa penghangat, tanpa peneduh. Ia gagal mencium bahaya yang mengancam dan mesti menanggung luka dalam di panggul.
Namun luka itu sudah tak ada kini. Dan itu cukup membuatnya bahagia. Nyeri itu lenyap, berikut rasa lapar dan pemandangan buruk dari dunia yang buruk. Ia ingin berenang-renang dalam cairan hijau itu. Namun ia segera ingat berada dalam sebuah ruangan sempit. Ia hanya bisa meringkuk. Namun ia tak merasa pegal. Dan kemudian ia menyadari kakinya bukan lagi kaki yang ia kenal. Dua kaki belakangnya berubah ukuran dan bentuk dan tak lagi berbulu. Oh, badannya juga tak berbulu. Kaki depannya juga berubah menjadi sepasang tangan. Ya, tangan yang hampir sama dengan tangan Anur yang pernah memeluknya, tetapi kemudian menakutkannya dengan sebatang tongkat pembunuh anjing, tangan yang pernah digunakan orang-orang untuk mengusirnya dengan lemparan batu, tangan yang pernah digunakan seseorang untuk membuat luka dalam di panggulnya. Ia melihat semacam tali terulur memanjang dari pusar dan terpaut dengan salah satu dinding lembut itu. Apa ini? Ia tak mengerti. Ia kembali mengamati tubuhnya, memindai sekelilingnya. Ia terkejut betapa banyak kekeliruan ia derita. Cairan yang membungkus tubuhnya, alih-alih hijau, ternyata bening belaka. Dan meski lengket, tidak terlalu kental. Malah cenderung encer.
Ia merenung. Cukup lama. Sebelum kemudian berteriak. Ia meronta. Ia membenci tangannya. Ia membenci wujudnya yang sekarang. Ia takut akan terlahir kembali sebagai manusia dan akan menggunakan tangannya untuk menyakiti anjing-anjing. Tidak. Tidak. Ia tidak mau. Ia meronta. Ia terus meronta. (44)
– Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Buku ceritanya yang sudah terbit Wisata Buang Cinta (2013) dan Adakah Bagian dari Cinta yang Belum Pernah Menyakitimu (2015). Buku puisinya Ludruk Kedua (2016). Kini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.
Leave a Reply