Oleh Setta SS (Eramuslim, 31 Agustus 2011)
I
ADALAH Da’tsur, seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Jabir r.a., seorang Arab badui. Sekembali Rasulullah Saw. dari perang Dzatir Riqa’, beliau berhenti di sebuah hutan yang banyak pohon durinya, berteduh di bawah pohon. Datanglah Da’tsur, menghunus pedangnya di hadapan Rasulullah Saw.
“Hai, Muhammad, siapakah yang akan menolongmu dari (tebasan) pedangku ini?”
“Allah!”
Seketika Da’tsur gentar dan gemetaran. Dan pedangnya terjatuh.
Rasulullah Saw. mengambil pedang Da’tsur dan balik mengacungkan pedang itu ke lehernya.
“Sekarang siapa yang akan menyelamatkan nyawamu dari sabetan mata pedang ini?”
II
UMAR bin Khattab berkisah. Saat berkecamuk perang Tabuk, Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk mendermakan harta. Kebetulan aku memiliki harta, dan aku bertekad untuk bisa melampaui kedermawanan Abu Bakar. Maka, aku datang kepada Rasulullah Saw. untuk menginfakkan separuh dari harta milikku.
“Apakah engkau menyisakan harta untuk keluargamu?”
“Ya, wahai Nabi Allah.”
Tidak lama berselang. Abu Bakar datang membawa hartanya.
“Wahai Abu Bakar, apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?”
“Aku hanya sisakan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka,” jawab Abu Bakar.
III
DARI Madinah menuju Mekah, pada suatu hari, Abdullah bin Dinar dan Khalifah Umar bin Khattab. Di salah satu jalan, keduanya berhenti untuk istirahat. Di kejauhan, tampak seorang pemuda penggembala kambing turun dari gunung mengiringi kambing-kambingnya yang banyak.
“Wahai penggembala, juallah kepadaku seekor kambing dari gembalaanmu itu,” bujuk Khalifah Umar, mengujinya, setelah jarak mereka dekat.
“Kambing-kambing ini bukan milikku, namun milik majikanku.”
“Tidak akan tahu tuanmu jika hanya hilang satu ekor. Katakan saja pada majikanmu bahwa kambingnya dimakan serigala!”
Pemuda gembala itu diam. Lama. Lalu bertanya tegas, “Kalau begitu, di manakah Allah?”
IV
SENIN malam, 22 Agustus 2011. Bapak teman sekamar saya di kamar nomer 3003 sebuah hotel di Jalan Gajah Mada, Semarang, berpamitan hendak ke tempat saudaranya dan bermalam di rumahnya. Sendirianlah saya.
Di kamar luas itu, tersedia fasilitas sambungan internet full 86.400 detik per hari dengan kecepatan akses 100 MB per second dan TV kabel aneka channel dari dalam dan luar negeri. Lengkaplah sudah. Saya sejatinya bebas menekan tombol channel TV mana pun yang sedang menayangkan acara apa pun yang saya kehendaki. Atau mengakses situs internet apa pun yang saya maui dengan laptop yang saya bawa. Sebuah pilihan kebebasan perilaku dalam kesendirian?
V
MAKA, buah ranum pesantren Ramadhan tak lain adalah saripati ketiga kilasan kisah dahsyat pertama di atas. Kontinuitas dzikrullah, pengorbanan tanpa batas, dan al-ihsan—kau menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya, dan jika kau tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka kau membayangkan bahwa Allah selalu melihat setiap gerak-gerikmu.
Semoga, pasca Ramadhan kali ini, terjadi kenaikan signifikan tingkat keimanan per kapita di sekitar kita. Amin. (*)
.
.Jakarta Selatan, 29 Agustus 2011 13:11 WIB
Leave a Reply