Cerpen Hidar Amaruddin (Media Indonesia, 02 juli 2017)

Senja Itu Senja yang Tak Biasa ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
SEJAK kepergiannya senja itu, aku terdiam dalam sunyi. Dia pergi bersama seluruh janji. Tapi yang paling menyakitkan bagiku adalah alasan kepergiannya: dia bosan mendengarkan ceritaku tentang senja.
Dulu, kurasa, dia tertarik pada ceritaku yang selalu mengejutkan. Beragam imajinasi bercampur aduk. Dari awan yang dapat berbicara, malam yang sedang kedinginan, hingga senja yang selalu tersenyum kepadaku. Khusus senja, aku memang punya banyak waktu untuk menceritakannya. Kenapa? Sebab senja bagai penyemangat ketika tubuh mulai rapuh oleh rutinitas tak menentu. Dan dia, kekasihku itu, kurasa mendengarkan dengan sukacita.
Sampai pada suatu hari, ketika aku bercerita tentang senja yang tidak hanya tersenyum namun juga menahanku untuk berdua, tiba-tiba kekasihku menghantam meja.
“Cukup!”
“Kenapa? Bukankah kau suka dan selalu setia mendengarkan cerita-ceritaku?”
“Aku muak! Senja, senja, senja! Tak adakah hal lain yang lebih menarik selain senja?”
“Kurasa tidak, sebab senja selalu menampakkan senyumnya padaku.”
“Aku mengira kau akan lebih dewasa. Tapi tak pernah sekali pun kau bercerita tentang masa depan kita.”
“Aku hanya ingin berbagi dengan…..”
“Kau benar-benar tergila-gila pada senja. Aku tak bisa terima. Aku akan membuatmu benci kepadanya!”
“Aku tak akan bisa….”
“Sekarang pilih saja: aku atau senjamu yang selalu kau elu-elukan itu.”
“Kau kekasihku tetapi….”
“Kau terbuai oleh khayalanmu. Beribu kali aku dengar omong kosong itu. Aku tak sanggup lagi. Aku harus pergi!”
Dia pergi secepat denyut nadi. Pergi tepat ketika senja menampakkan diri. Tak hanya sakit yang kurasakan tapi juga benci. Ya, aku benci dia. Juga benci senja yang muncul dan memisahkan kami berdua.
***
Langit merah tak mampu menghangatkan relung hati. Aku putuskan pulang ke kampung halaman. Rasanya itu yang terbaik untukku sekarang. Begitu sampai di rumah, lekas-lekas kuketuk pintu. Ibu menyambut dengan senyum renyah tapi aku bergegas menuju kamar. Tak mau ibu melihat wajahku yang sedang menahan beribu tangisan membatu. Dari jendela, aku melihat langit jingga terhampar luas. Dan lagi-lagi, aku terseret pesona mimpi senja yang membawaku ke alam rindu.
Tak ada yang istimewa ketika di rumah. Ibu bertanya mengapa aku tiba-tiba pulang dengan wajah sayu. Ternyata aku belum bisa menghapus rasa sakit itu. Aku menghindar ketika Ibu sering menanyakan keadaanku. Bila ibu tahu bahwa aku sakit hati, air matanya pasti mengalir.
Sekarang aku selalu menghindar apabila senja mulai nampak. Lambat laun senja seperti menjelma menjadi sesosok lelaki. Aku tak mengenalnya. Tapi semakin hari, aku merasa dia kian nyata. Aku mencari buku-buku untuk memahami fenomena ini. Nihil. Apakah memang hanya aku yang mampu melihatnya?
Malam ini terasa lebih dingin. Hingga aku harus memakai selimut yang sangat tebal. Semakin aku tak mendapatkan jawaban. Ada apa dengan langit, ada apa pada senja, lalu siapakah lelaki itu?
Senja kian berulah. Rasa penasaran semakin menyelimuti. Aku heran, bila sore tiba, dadaku sesak. Sesak yang begitu dahsyat. Awalnya kukira ini hanya sakit biasa. Ketika melihat senja, terasa irisan-irisan tajam jauh di dalam hatiku. Sakitnya, di luar kepala.
Kucoba mengingat kali terakhir aku mengalami hal seperti ini. Ah, ini rindu! Tapi pada siapa? Pada senja? Atau kepada sosok lelaki yang selalu hadir bersamanya? Khayal sekali. Jika memang benar, untuk apa rindu ini hadir? Apalagi aku tak pernah bertemu dengannya. Ibu pun makin khawatir. Beliau mengira aku dalam tekanan batin dan mengatakan sesuatu yang aneh padaku.
“Nduk, matamu memang bagai mutiara di tengah lautan malam. Namun ingat, terkadang tidak hanya mata yang bisa terpejam. Hati juga bisa terlelap dalam alunan mimpi.”
***
Di persimpangan perbatasan desa, terdapat sebuah taman kecil. Sepi sekali. Terakhir aku ke sana ketika ayahku masih ada. Sepuluh tahun sudah aku tak pernah menengoknya. Mungkin sedikit bernostalgia dapat menghilangkan rasa penatku. Dari kejauhan, kulihat seorang lelaki sedang membaca buku di bangku taman. Aneh juga. Jarang ada laki-laki yang sering menyendiri di tempat sehening ini.
Saat jarak makin dekat, ya, Tuhan! Dia lelaki senja itu!
Kalau rindu yang kurasa benar adanya, aku harus sadar bahwa ini nyata.
Aku hampiri dia. “Boleh aku duduk?”
“Bangku ini hanya untuk pengagum senja.”
“Sejak kapan ada aturan seperti itu?”
“Sejak dirimu membenci senja.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Senja yang menceritakannya padaku.”
“Aku tak membenci, juga tak menyukainya. Aku hanya ingin jawaban dari senja!” kataku, pura-pura.
“Kalau begitu, bacalah buku-buku ini. Semoga bisa membantumu.”
Bermula dari pertemuan singkat, aku dan dia pun akrab. Lewat media sosial kami sering bertukar cerita. Tiba-tiba, pada suatu senja, lelaki itu meneleponku dengan terbata-bata.
“A… a… ku….”
“Kalau sulit bicara, simpan saja.”
“Ak… ku… me….”
“Bicaralah lewat doa. Sampaikan keluh kesahmu itu kepada-Nya”
“A… aku mencintaimu”
Waktu berhenti. Napas memburu, jantung terguncang. Mataku berkaca-kaca.
Namun, aku tak menjawab. Aku butuh waktu. Beribu tahun kalau bisa. Luka ini sudah mendarah nadi. Jawaban yang selalu dia nantikan, tersimpan rapat di hati. Aku tak ingin terburu-buru, tak ingin terkejar olehnya. Apalagi sejak dia hadir, senja selalu saja membayangi bahkan berbicara padaku, “Buanglah kebencianmu!”
Beberapa hari kemudian kami memutuskan untuk bertemu kembali. Dia menyambutku dengan tangan yang hangat. Sejenak, aku takut. Wajahnya bersinar jingga keemasan. Dan selepas itu, akal sehatku runtuh. Aku yakin rindu yang menyiksa ini untuk dia. Perasaan itu kian mendesak, setiap aku menatap matanya.
Kemudian dan kemudian lagi, telah banyak waktu yang kami habiskan bersama. Pergi ke tempat-tempat senja tak akan bisa menemukan kami. “Selama ini senja telah menyembunyikanku. Ketika senja selalu menatapmu, hatiku terguncang sangat hebat,” katanya.
“Apa yang kamu rasakan?”
“Ada benci yang berselimut masa lalu, itu isi hatimu kan?”
“Ya. Aku menyalahkan senja yang telah mengizinkannya pergi dan meminta angin malam untuk menghempaskannya jauh dari dekapanku.”
“Itu hanya perasaan membutamu. Kekasihmu dipenuhi kebohongan dan senja memisahkan hati kalian.”
“Hanya karena dia sering berbohong bukan berarti….”
“Senja sangat menyayangimu sampai rela menurunkan aku untuk menemani saat-saat terjatuhmu ini.”
“Lalu siapakah engkau?”
“Aku makhluk yang tercipta dari biasbias jingga cahaya senja.”
“Memang ada hal seperti itu? Haruskah aku memercayaimu?”
“Terserah padamu. Tetapi ada satu pantangan yang tidak boleh aku langgar ketika bersamamu.”
“Apa itu?”
“Aku tidak boleh berdua denganmu ketika senja mulai menampakkan diri di langit.” kata lelaki itu sambil menatapku, berkaca-kaca, seakan mengisyaratkan pertemuan kami tak akan lebih lama lagi.
Aku ragu pada segala yang dia ucapkan. Yang terpenting sekarang aku berdua dengannya, bahkan ketika senja. Aku ingin menanyakan sesuatu tapi tak jadi. Genggaman tangannya terlalu kuat, mengajakku memandang pesona langit jingga.Aku merasa senja sore ini lebih hangat dari biasanya.
“Senja sangat mengasihi orang-orang di sekitarnya,” kata lelaki itu dengan genggaman yang kian menguat.
“Apa maksudmu? Senja memang selalu menampakkan diri di langit, itu sudah takdirnya.”
“Apakah kau tak menyadari, senja selalu menitipkan orang-orang yang dia kasihi pada para malaikat untuk melindungi kehidupan mereka?”
“Jika benar ia mengasihi, lalu siapa kekasihnya?”
“Seluruh manusia!”
“Termasuk aku? Lalu mengapa senja selalu menertawaiku?”
“Senja bermaksud menghiburmu karena ada sesuatu yang mengganjal di benaknya.”
“Apa itu?”
“Sudah kubilang, kebencian yang selama ini telah menenggelamkan hati kecilmu.”
Aku mulai ingat bahwa hidupku dulu selalu dihiasi oleh senja. Selalu ada waktu bagi senja untuk tersenyum kepadaku. Menuntunku ketika aku sedang buta melangkah. Bagaimana aku bisa membenci makhluk-Nya? Bahkan kepada senja yang diam-diam selalu mendoakan kebahagiaanku.
Setelah itu, aku lebih bersemangat menjalani hidup. Setiap senja membayangiku, aku tak membencinya lagi. Selain karena lelaki yang sudah ia minta untuk menemaniku, rasa sakit ketika melihat senja telah sirna.
Kini lelaki itu selalu menungguku di taman ketika senja. Setiap hari. Aku tak pernah sabar menanti.Tak bosan aku menatap wajahnya yang begitu cerah seperti langit senja.
***
Sore ini aku menunda pertemuanku dengannya. Kuputuskan untuk pulang sejenak dan menceritakan kebahagiaan ini kepada ibu agar beliau tahu bahwa anak gadisnya kini tak lagi sayu. Sudah kembali berbinar seperti senja. Saat tiba di rumah, aku berteriak memanggil Ibu. Tepat di depan pintu, beliau memelukku.
Beberapa waktu kemudian, ibu yang melihatku sedang tersenyum sendiri sambil menatap senja berkata, “Kau pasti sedang melihat sesosok lelaki yang hadir bersama senja itu kan, Nduk?”
“Kok ibu tahu?”
“Ayahmu memang sudah tiada. Tapi kau tahu mengapa ibu tak pernah bersedih?”
Aku menggeleng.
“Karena ayahmu dulu juga diturunkan oleh senja pada ibu. Senja memintanya untuk menjaga ibu. Ya, lelaki itu ayahmu.”
“Meskipun begitu, ayah tetap meninggalkan ibu dan menyerah pada usia.”
“Ayah tak pernah meninggalkan ibu. Sampai senja sore ini pun, ibu masih bisa melihatnya di langit bersama senja. Itulah mengapa senja itu senja yang tak biasa. Bagi ibu, juga bagimu….”
Hidar Amaruddin lahir di Kudus, 16 Desember 1995. Cerpen dan puisinya tersiar di sejumlah media.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected]
marianoparlindungan
Bagus kak,kunjungi blog aku ya,,,masih belajar juga