Cerpen, Syafaati Suryo

Memilih Cara Mati

0
(0)

Cerpen Syafaati Suryo (Media Indonesia, 09 Juli 2017)

Memilih Cara Mati ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia

Memilih Cara Mati ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia

RUANGAN empat kali empat meter di tepi lampu merah itu tak ubahnya bilik sauna yang memeras keringat akibat pendingin udara yang sedang rusak. Dua pemuda berseragam cokelat duduk di dalamnya sembari menyesap kopi dan mengunyah bakwan hangat. Handy talky yang digenggam salah satu pemuda sesekali berbunyi menyampaikan pesan atau kelakar-kelakar ringan. Dua pemuda itu membicarakan kematian.

“Aku rindu kampung halaman,” ujar Hendro tiba-tiba setelah meletakkan handy talky di atas meja.

“Ambil cuti dan pulanglah,” sahut Gofur.

“Ya, mungkin usai Lebaran nanti. Entahlah, tiba-tiba aku ingin sekali mengunjungi makam ibuku di kampung.”

Hendro, lelaki 26 tahun itu, kembali termangu. Mengingat peristiwa setahun lalu saat menemukan ibunya tak sadarkan diri di kamar mandi rumahnya di kampung. Darah segar mengucur dari kepala ibunya. Ibunya terjatuh setelah mendadak sakit kepala hebat ketika berjalan menuju kamar mandi. Ibunya terpeleset hingga membentur bak mandi.

“Oh, iya, kau sudah takziah ke rumah si Syarif belum?” tanya Hendro kemudian.

“Sudah malam tadi. Kasihan istrinya, lagi hamil muda.”

Gofur lantas menyandarkan punggung dan melipat kedua tangan di dada. Matanya menerawang memancarkan rasa empati pada kawan satu angkatannya yang tewas kala baku tembak dengan perampok. Salah apa Syarif? Begitu batinnya kerap bertanya.

“Begitulah risiko pekerjaan kita. Maut mengintai di mana-mana. Mau tak mau, kau harus siap jika esok hari ususmu terburai atau kepalamu pecah ditembak orang tak dikenal,” ucap Hendro. Ia lalu meneguk kopinya yang telah dingin dan nyaris tandas.

“Apa pun profesi kita, di mana pun kita berada, meski kau membangun benteng setinggi Burj Khalifa sekalipun, meski kau sedang bersantai di ruang tengah rumahmu, jika memang sudah waktunya, mati juga kau,” papar Gofur.

“Hmm, ngomong-ngomong, kalau seandainya bisa memilih, kau ingin mati dengan cara seperti apa, Fur?”

“Kau ini, siang hari berbicara soal kematian. Mengapa tidak membahas Liverpool yang sukses masuk Liga Champions usai melibas Middlesbrough saja? Atau Raisa yang kabarnya akan segera dipinang.”

“Hahaha. Entahlah… Aku hanya sedang membayangkan ingin mati di tempat tidur yang empuk. Di senja hari yang damai. Di sisi istriku. Dikelilingi anak-anak dan cucuku kelak,” Hendro memandangi jalanan dengan tatapan kosong. Lalu ia melirik ke sisi trotoar. Ada seorang pria berbalut jas abu-abu melangkah tergesa-gesa. Ada dua wanita muda asyik mengobrol sambil berjalan dan menggenggam es kopi. Ada dua rekannya sesama polisi tengah mengatur jalan.

Baca juga  Ichi, Ni, San… Kampai!

“Kau sedang ketakutan, ya? Tenanglah kawan. Kematian adalah sukacita. Kau bisa berjumpa dengan Ibumu di sana. Surga menanti orang-orang ikhlas dalam bekerja dan mengabdi pada masyarakat sepertimu.”

“Ah, kau, bisa saja. Jadi kapan kau akan melamar guru TK itu?”

Wajah Gofur lantas memerah. Bibirnya merekah. Dua biji matanya berbinar-binar. “Nanti malam aku akan ke rumahnya untuk mengutarakan niat baikku. Doakan ya, Bro!”

Dan bulir-bulir keringat luruh di balik seragam cokelat keduanya. Enam tahun lalu, setamat pendidikan di Jawa Tengah, mereka mulai mengenakan seragam itu. Setiap hari semenjak hari itu, kembang kebanggaan tiada pernah layu di sekujur kalbu.

Sebab apa yang paling membanggakan selain cita-cita semenjak kecil yang kemudian nyata saat dewasa? Mimpi yang sederhana bagi sebagian orang, namun menurut keduanya lebih berharga dari memperoleh segenggam berlian. Betapa menyenangkan dapat bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan. Itulah kebahagiaan yang tak direka-reka. Apa adanya. Puas dengan hal-hal yang biasa-biasa saja. Bahkan mereka yang berlimpah harta pun belum tentu benar-benar bahagia.

Separuh rekan seprofesinya kerap mencibir. Menyematkan predikat sok idealis dan terlampau naif. Lantaran bersetia pada etika dan norma. Segala rupa suap enggan diterima. Meski harus rela membawa pulang gaji yang tiada besar setiap bulan.

Mereka pun manusia biasa. Kadang mengeluh juga. Pekerjaan mereka bukan tanpa risiko. Letih sudah barang tentu. Berjibaku di bawah panas terik atau derai hujan setiap waktu. Tekanan dari atasan maupun senior sudah jadi makanan baku.

Tapi setiap kali ingin mengeluh lebih jauh dan merasa lelah, mereka selalu ingat bahwa setiap tetes keringat adalah pahala dan harus menjadi berkah. Pun membanding-bandingkan hidup dengan orang lain adalah tindakan yang salah.

Mereka tak peduli pada dagelan politik di negerinya. Mereka hanya fokus mengatur lalu lintas, menangkap penjahat, menjaga segala aksi unjuk rasa atau membantu nenek-nenek menyeberang jalan. Mereka juga tak peduli pada berbagai aliran agama ataupun percekcokan yang membawa-bawa agama.

Baca juga  Naon

Azan zuhur pun mulai berkumandang. Seorang rekan mereka masuk ke dalam ruangan itu. Hendak menggantikan Hendro dan Gofur yang pamit pergi ke musola di belakang pusat perbelanjaan.

Keduanya pun mulai melangkah melintasi pintu. Sementara seorang laki-laki di seberang sana tak henti-hentinya mengamati mereka.

***

Enam jam sebelumnya, Gofur berdiri berhadap-hadapan dengan ibunya di selasar rumah. Lengan kirinya menggenggam sesuatu yang telah disimpannya sejak seminggu terakhir dengan amat waspada sebagaimana ia menjaga dirinya sendiri.

“Bu, doakan aku. Cincin ini akan aku persembahkan pada Siti malam nanti,” katanya memohon restu. Ia menunjukkan sebongkah cincin emas yang diletakkan pada kotak merah mungil itu kepada ibunya.

“Gadis seperti Siti pasti akan menerima pemuda sepertimu sebagai suaminya. Ibu saja bangga punya kamu,” tutur ibunya sambil tersenyum. Diusapnya pipi anak kesayangannya itu dengan cinta yang melimpah.

“Ah, ibu. Gofur kan cuma lulusan Bintara. Bukan calon Jenderal. Gofur bukan orang kaya, Siti anak orang berada. Gofur yatim sejak kecil, tak tampan dan tak punya apa-apa,” ucap Gofur memancarkan wajah lesu.

“Hush, yang diharuskan itu rendah hati, bukan rendah diri! Perempuan baik tidak silau pada hal-hal duniawi. Ibu percaya, Siti bukan perempuan yang menilai laki-laki dari rupa dan harta. Malah Ibu lihat, Siti sudah kesengsem tuh sama anak Ibu,” tutur ibunya yang selalu pandai membangkitkan kepercayaan dirinya. Menggelorakan api semangatnya.

“Percayalah, doa ibu selalu menyertaimu.”

Gofur merangkul tubuh wanita ringkih itu dengan erat. Gofur merasakan ada rembesan air yang terasa hangat mengalir di saku bajunya. Ibunya tak pernah mengalami gejolak haru sesentimental pagi itu. Sementara enam jam sebelumnya di rumah Hendro, seperti biasa, istrinya yang cantik menghidangkan segelas susu cokelat dan setangkup roti tawar. Hari itu istrinya memilih selai kacang sebagai olesan. Hendro pun menikmati menu sarapannya seraya menyimak berita korupsi di televisi.

Saat layar televisi tengah menayangkan iklan sabun mandi, maka dengan penuh hati-hati, istrinya memulai percakapan. “Mas, kemarin Pak Dodo datang kemari.”

Gerakan mulut Hendro pun sontak melambat. Nafsu makannya seketika lenyap.

“Ya, aku usahakan lunas pekan depan,” sahut Hendro.

“Mengapa tak kita jual saja cincin pernikahan kita? Harta berharga kita satu-satunya,” tanya istrinya.

Baca juga  Via Dolorosa sang Bhikkhu

“Jangan. Jangan pernah kau jual cincin pernikahan kita jika tidak betul-betul mendesak. Uang lima juta rupiah masih bisa aku cari.”

“Baiklah,” istrinya lalu tersenyum, menampakkan dua buah lesung pipinya. “Ya sudah, kau jangan sampai stres memikirkan hal ini ya. Habiskan rotinya,” lanjut istrinya. Lalu dibelainya wajah Hendro dengan lembut. Keduanya bersitatap. Saling melempar pesan yang entah apa dalam diam, laksana telepati. Satu ciuman mendarat di bibir Hendro.

Sebelum keluar rumah, Hendro meraih anak satu-satunya yang masih berusia delapan bulan dari ranjang di kamarnya. Dalam dekapannya, ia mengecup pipi anak yang amat dicintainya itu. Bayi yang tampan dan menggemaskan. Satu bulan lalu, anak itu baru saja menjalani operasi kelainan jantung.

“Semoga kelak kau bisa jadi Jenderal,” bisik Hendro di telinga anaknya.

***

Lelaki berkaus hitam di seberang pos kian mendekat. Gofur meniliknya. Sekonyong-konyong, tengkuknya merinding. Telapak tangannya dingin. Perasaan apa ini? Begitu kata hatinya.

Hendro melempar pandangan ke arah trotoar. Ia tak sengaja melihat seorang wanita renta yang rasa-rasanya tak asing bagi Hendro. Ya, Hendro amat mengenali wajah itu.

“Ibu?” ucap Hendro lirih.

Waktu pun terasa begitu cepat berlalu. Semua menjadi kabur. Benar kata Hendro, bisa saja usus Gofur terburai. Seperti saat itu, di jalanan aspal siang itu. Sementara salah satu kaki Hendro terpisah dari tubuhnya.

Asap hitam pekat membubung di udara. Api menjilat-jilat bangunan pos polisi itu. Bunyi sirine menggema. Darah di mana-mana. Daging manusia serupa daging sapi di pasar yang telah terpotong-potong. Berserakan. Manusia berteriak dan berlarian. Tangis memecah langit. Semua mengutuk siapa pun pelaku dan apa pun motif teror hari itu.

Keesokan harinya, pangkat mereka dinaikkan satu tingkat dari Brigadir Polisi Satu menjadi Brigadir Polisi Anumerta. Gubernur menjanjikan beasiswa pada anak Hendo agar kelak bisa jadi Jenderal. Siti menangis tersengal-sengal.

 

Kesehariannya Syafaati Suryo merupakan jurnalis di salah satu televisi swasta. Sejumlah cerpennya sudah diterbitkan di media massa.

 

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected]

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!