Cerpen Ayi Jufridar (Tribun Jabar, 22 Januari 2017)
TERIAKAN histeris terdengar tatkala Alya memasuki antrean tamu yang bergerak lambat untuk menyalami mempelai di panggung. Beberapa perempuan di depan dan belakang Alya memekik, tersuruk beberapa langkah hingga menubruk tamu lain di dekat mereka. Tas tangan salah seorang di antaranya terjatuh oleh sentakan rasa kaget. Bulu mata palsu bagian atas seorang perempuan bertubuh tambun juga nyaris copot saat tatapannya tertuju pada belati di dada Alya.
Belati bergagang hitam itu menancap kuat di dada Alya, menembus gaun warna senada. Alya bingung dengan reaksi orang-orang; mengapa mereka terlambat kaget? Padahal, belati itu sudah ada di sana, di dadanya, sejak ia berangkat dari rumah. Apakah karena gagangnya berwarna hitam sehingga tak terlalu mencolok? Atau perhatian pengunjung sedang tercurah sepenuhnya kepada mempelai, atau juga tengah sibuk berbincang sesama tamu sehingga tak mengindahkannya?
Alya tidak tahu pasti, dan tak berniat ingin tahu. Reaksinya sama saat merespons kritikan Mama sebelum mereka berangkat agar tidak mengenakan gaun serbahitam. “Kita ke pesta, bukan ke pemakaman.”
Hanya senyum tipis tersungging di bibir Alya. Sebegitu tipis hingga nyaris menyerupai ringisan di mata sang mama.
Suara pembawa acara dan musik yang mengalun lembut memenuhi ruangan membuat suara histeris itu hanya menggema di sekitar Alya. Sesaat keriuhan itu menyusut karena antrean harus terus bergerak. “Maju terus. Jangan membuat orang lain menunggu lebih lama….” Mama Alya mendorong lembut tubuh putrinya dengan ujung jari.
“Itu pisau beneran?” Perempuan yang tadi histeris menjulurkan kepalanya ke depan dada Alya.
“Ini bukan trik sulap, kan?” Lelaki di sebelah perempuan itu ikut-ikutan mendekat.
Leave a Reply